Taati Putusan MK Tidak Bisa Dipidana
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa MK merupakan penafsir tunggal konstitusi serta putusannya bersifat final dan mengikat.
Terkait dengan hal itu, langkah institusi atau warga negara untuk menaati putusan MK tidak bisa dinyatakan sebagai tindakan yang melanggar ketentuan pidana.
”Begitu MK memutuskan suatu norma UU bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka semua perbuatan hukum yang menggunakan norma UU itu sebagai dasarnya adalah tidak berdasar hukum,” kata juru bicara MK yang juga hakim konstitusi, I Dewa Gede Palguna, Minggu (10/2/2019), di Jakarta.
Putusan MK yang bersifat final ini kembali ditegaskan MK dalam putusannya Nomor 98/PUU-XVI/2018, yang dibacakan pada 30 Januari 2019 lalu. Putusan itu diajukan terkait uji materi Pasal 57 UU No 8/ 2011 tentang MK yang dimohon oleh Muhammad Hafidz. Pasal itu menyatakan, suatu ketentuan di UU tak lagi punya kekuatan hukum jika dinyatakan oleh putusan MK bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam permohonan uji materi, Muhammad Hafidz menyebutkan, langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) berpegang pada putusan MK No 30/PUU-XVI/2018, yang intinya mengatur bahwa calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tidak boleh berprofesi atau berasal dari pengurus partai politik.
Namun, kini KPU diancam untuk dipidana apabila tidak menaati putusan Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
KPU telah dilaporkan ke Kepolisian Daerah Metro Jaya oleh kuasa hukum Oesman Sapta Odang karena dianggap mengabaikan putusan PTUN yang memerintahkan agar KPU mencantumkan nama Oesman di dalam daftar calon tetap anggota DPD tahun 2019.
Putusan PTUN itu dikeluarkan setelah MA menyatakan Peraturan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 bertentangan dengan UU yang lebih tinggi. MA menyatakan, larangan bagi pengurus parpol untuk jadi caleg DPD, sebagaimana diputuskan MK, tidak berlaku pada Pemilu 2019, tetapi pada pemilu selanjutnya.
Penafsir konstitusi
Menurut Palguna, pihak yang menaati konstitusi dengan cara merujuk putusan MK sebagai dasar untuk mengambil keputusan tak dapat dinilai melakukan tindak pidana.
”Bagaimana bisa kita membangun penalaran bahwa institusi (atau warga) yang menaati konstitusi dianggap melakukan tindak pidana?” katanya.
MK dalam putusannya juga menegaskan, tidak ada lembaga negara selain MK yang berwenang memberi penafsiran lain terhadap konstitusi. Itulah sebabnya, Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menegaskan sifat final putusan MK.
Selanjutnya, Pasal 47 UU MK menegaskan mengenai kapan sifat final dan mengikat itu mulai berlaku, yaitu sejak putusan selesai diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Rahmdanil, mengatakan, putusan MK itu wajib diikuti oleh semua warga negara dan institusi di Tanah Air.
”Putusan pengadilan lain yang berbeda atau tidak sesuai dengan putusan MK, dengan demikian, dipandang sebagai tidak berpedoman pada tafsir konstitusi. Sebab, MK adalah penafsir tunggal konstitusi,” katanya.
KPU bisa menggunakan putusan MK itu untuk menjelaskan duduk soalnya kepada pihak kepolisian mengenai dasar hukum sikap mereka. Penegak hukum pun diharapkan tidak menutup mata atas adanya putusan MK tersebut.
”Penegak hukum tak punya alasan memidanakan KPU karena KPU melaksanakan konstitusi,” ujarnya.
Saat ini polisi masih menyelidiki laporan yang diajukan tim kuasa hukum Oesman Sapta Odang. Anggota KPU, Ilham Saputra, mengatakan, baru dua anggota KPU yang diperiksa, yakni Ketua KPU Arief Budiman dan Pramono Ubaid Tanthowi.
Kuasa hukum Oesman, Herman A Kadir, mengatakan, pihaknya menunggu penuntasan kasus tersebut oleh kepolisian. (REK)