Pernah mengalami kesulitan membeli buku membuat Tarmizi Erfandi kreatif menciptakan OTEBE Smart. Dengan teknologi augmented-reality, OTEBE Smart membuat buku pendidikan dan pengetahuan anak lebih menarik dibaca dan murah dibeli.
Tarmizi lahir di Ambon pada 19 Maret 1995. Ia mengenyam pendidikan di Politeknik Elektronika Negeri Surabaya. Ia ingat betul betapa susahnya membeli buku saat ia duduk di bangku SD di Ambon. ”Beli buku ongkos kirimnya mahal sekali. Harganya tiga kali lipat dibandingkan beli di Surabaya,” katanya saat mengikuti pameran Wirausaha Muda Mandiri di Mall of Gajayana, Malang.
Keprihatinannya tentang sulitnya akses buku kian bertambah setelah ia mendapati fakta bahwa minat baca di Indonesia sangat rendah. Informasi itu ia dapatkan saat mengikuti talk show Najwa Shihab yang menjadi Duta Baca Indonesia.
Berbekal ilmu yang ia tekuni, Tarmizi pun membuat OTEBE. OTEBE menggunakan teknologi augmented-reality (AR), yakni teknologi yang menggabungkan benda maya dua dimensi dan atau tiga dimensi dari kertas, lalu memproyeksikan benda-benda maya tersebut di telepon seluler (ponsel).
Teknologi ini bukan hal baru, tetapi belum banyak digunakan. Ia tinggal memodifikasi berbagai hal yang diperlukan sesuai dengan produk yang ingin dihasilkan. ”Teknologi ini simpel, semua orang bisa buat, yang susah itu idenya, mau diapakan,” kata Tarmizi.
Tarmizi pun menerapkannya di buku. Ia berharap, segala kesulitan mengakses buku bisa terkurangi. ”Kenapa saya memilih buku karena buku adalah jendela pengetahuan, lebih awet dibandingkan mainan, dan dengan cara ini, belajar lebih menyenangkan,” katanya.
OTEBE menggunakan teknologi AR, yakni teknologi yang menggabungkan benda maya dua dimensi dan atau tiga dimensi dari kertas, lalu memproyeksikan benda-benda maya tersebut di ponsel.
Buku anak-anak menjadi pilihannya karena anak-anak lebih suka hal yang interaktif. Alat yang digunakan tak harus mahal. Tinggal sediakan gawai berbasis Android (tak perlu gawai canggih atau mahal), unduh aplikasi di Play Store, lalu tembakkan di buku yang ia buat. Kemudian, akan muncul gambar bergerak, suara, dan program interaktif. Anak-anak tak hanya melihat, tetapi juga berinteraksi.
Khusus untuk buku anak, narasi tidak muncul, karena itu harus dibacakan. Tujuannya, agar tetap ada interaksi antara anak dan ibu, ayah, atau guru.
Pengembangan OTEBE baru ia lakukan di Android karena gawai Android lebih murah dan secara umum lebih banyak dipakai orang.
Saat ini ada lima judul buku anak-anak, antara lain seri kemandirian dan kesehatan, misalnya cuci tangan dan gosok gigi. Sebanyak 3-5 judul buku lagi disiapkan. Ke depan, ia juga akan mengembangkan buku untuk anak SMP, SMA, dan kuliah. Untuk mereka, AR akan punya narasi.
Pengalaman kerja
Dunia penerbitan memang menjadi bagian yang memberi andil bagi Tarmizi untuk menciptakan OTEBE. Ia pernah bekerja atau magang di penerbitan Media Cerdas di Surabaya dan membuat buku dengan teknologi AR. Ketika itu, hanya berupa tiga dimensi dan belum interaktif. Penerbit tersebut suka, tetapi tidak ada kelanjutannya.
Seusai magang, ia balik ke kampus dan membuat tugas akhir robot kapal selam. Waktu itu, ada peristiwa pesawat AirAsia yang jatuh ke laut. Setelah lulus, ia membaca informasi pada tahun 2016 tentang Najwa Shihab yang jadi duta buku nasional. Di situ ia mendapat informasi tentang tingkat minat baca di Indonesia yang rendah sekali. Tarmizi terpikir untuk membuat buku plus AR yang pernah dibuatnya.
Proyek buku AR itu pun mulai diseriusi. Tarmizi mendapatkan bantuan dari beberapa kawan, termasuk kakaknya yang bekerja di penerbitan buku selama sepuluh tahun. Saat ini timnya sudah ada 15 orang. Mereka menangani pengembangan, lini buku, ilustrasi, pengeditan, dan sebagainya.
Tarmizi membayangkan, dengan AR, gambar jantung tak lagi dua dimensi.
Kemudian, mulailah ia ikut lomba-lomba melalui komunitas. Ia lolos seleksi regional di Jawa Timur, lalu seleksi Wirausaha Muda Mandiri 2018 di tingkat universitas se-Bandung, kemudian finalis nasional.
Ia optimistis dengan teknologi ini. Jika dikembangkan lebih jauh, buku dan AR akan menjadi kekuatan baru di dunia pendidikan. Tarmizi membayangkan, dengan AR, gambar jantung tak lagi dua dimensi. Pelajar bisa melihat detail jantung dengan lengkap.
”Bagaimana jantung berdetak, bagaimana darah mengalir di seluruh tubuh. Ini memungkinkan dibuat AR-nya. Pelajaran teknik seperti pesawat dan kapal pun bisa seperti itu. Ini akan membuat proses belajar jadi lebih menyenangkan,” tutur Tarmizi.
Ongkos buku
Kendala yang dihadapi timnya saat ini adalah ongkos buku. Ia sangat ingin mencetak buku semurah mungkin agar sebaran buku bisa lebih luas dan semua bisa menjangkaunya. Saat ini biaya untuk satu judul buku sekitar Rp 35 juta untuk cetak 2.000 eksemplar. Setiap buku harganya menjadi Rp 40.000. Tarmizi menilai harga itu masih tinggi. ”Harga itu masih kami nilai mahal karena misi kami bikin buku murah,” ucapnya.
Ia pernah mendapat hadiah dari Program Pengusaha Pemula Berbasis Teknologi (PPBT) dari Dikti senilai Rp 450 juta. Hadiah itu dia pakai untuk riset dan pengembangan.
Tarmizi pun berniat menggandeng akademisi dan praktisi untuk mengembangkan buku-buku yang ia buat lebih lanjut. Ia juga berkeinginan membuat buku untuk anak berkebutuhan khusus. ”Kebetulan kami punya tim IT anak berkebutuhan khusus (autis). Dia akan kami dorong untuk membuat buku bagi mereka yang berkebutuhan khusus,” katanya.