Ali Kini Ingin Kembali
Milisi asing yang pernah bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah kini ditahan di Irak dan Suriah. Mereka berharap segera dibebaskan dan dijemput pemerintah negara asal.
Mohammad Ali (28) meninggalkan Kanada pada 2014 untuk bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS). Setelah kelompok teroris itu kalah, ia menyalahkan Pemerintah Kanada karena tidak menjemputnya dari penjara di Suriah.
Di Kanada, Ali pernah bekerja di industri perminyakan. Karena itu, selama empat bulan pertama sejak bergabung dengan NIIS, ia bekerja di pabrik penyulingan yang dikelola kelompok teror tersebut. Di sela-sela waktu kerja di penyulingan, ia menggunakan media sosial untuk mengajak lebih banyak orang bergabung dengan NIIS. Ia menggunakan nama Abu Turab al-Kanadi.
Dari penyulingan, ia dipindah menjadi milisi. Ia mengaku tidak pernah menembak warga sipil. Namun, tidak ada bukti pendukung untuk memverifikasi aktivitasnya selama bergabung dengan NIIS.
Selama bergabung dengan NIIS, ia bertemu perempuan Kanada. Seperti Ali, perempuan itu meninggalkan Kanada untuk bergabung dengan NIIS. Ali dan perempuan yang tidak dijelaskan identitasnya itu kemudian menikah dan mereka punya dua anak.
Pada akhir 2016, kala NIIS mulai kalah dan milisi asing makin kerap diabaikan, Ali mulai meragukan keputusannya bergabung dengan kelompok teror itu. Apalagi, seorang temannya yang berasal dari Belanda dihukum mati oleh NIIS. ”Orang asing merasa, mereka ditinggalkan. Mereka digunakan dan diabaikan,” ujarnya.
Ali memutuskan membayar sindikat penyelundup manusia untuk mengirim istri dan anaknya ke Turki sekitar sembilan bulan lalu. Ia dan keluarganya tengah dalam perjalanan menuju Turki ketika ditangkap milisi Kurdi Suriah, SDF. Bersama Amerika Serikat, milisi SDF memerangi NIIS di Suriah dan Irak.
Sejak ditangkap SDF, ia masuk ke pusat detensi dan berpisah dari keluarganya sampai sekarang. Kini, ia ditahan di Hasakeh, kota Suriah yang dekat dengan perbatasan Irak dan Turki. Ia berkali-kali diinterogasi orang-orang AS. ”Setiap kali saya dibawa untuk interogasi atau wawancara, saya berharap (ada perwakilan) dari Pemerintah Kanada. Seseorang yang bisa menjelaskan kondisi saya dan memberi saya sedikit harapan. Sampai sekarang, tidak ada. Saya tak punya tempat lain untuk dituju. Bagaimana mereka membiarkan saya seperti ini?” katanya.
Kementerian Luar Negeri Kanada pernah menyatakan berkomunikasi dengan kelompok Kurdi yang menahan milisi asing. Namun, tak ada pembicaraan soal repatriasi orang Kanada yang ditangkap Kurdi karena bergabung dengan NIIS.
Langkah Kanada berbeda dengan sejumlah negara. Indonesia menjemput puluhan WNI yang pernah bergabung dengan NIIS. Sebagian di antara mereka adalah korban iming-iming NIIS. Kini sebagian di antara mereka dipenjara atau berada dalam rumah pembinaan sosial.
Hukuman
Milisi asing yang ditahan SDF tak tahu apakah akan disidang di Suriah atau dikembalikan ke negara asal. Di Irak, milisi asing yang pernah bergabung dengan NIIS sudah mulai diadili. Hal itu pernah terjadi pada warga Perancis, Lahcene Gueboudj (58). Ia ditangkap di Suriah lalu dibawa ke Irak. Kini, ia sedang menjalani proses persidangan.
Di Irak, milisi NIIS dikenai hukuman keras berupa pidana mati atau penjara seumur hidup. Hukuman itu sudah dijatuhkan kepada ratusan warga asing, termasuk 100 perempuan, yang pernah jadi anggota NIIS.
Perancis, negara asal Gueboudj, menolak mengurus warganya yang bergabung dengan NIIS. Paris ingin warganya yang ditangkap karena bergabung dengan NIIS untuk diadili di Suriah atau Irak. Sikap itu didasari kekhawatiran para milisi itu malah melancarkan aneka serangan atas nama NIIS di Perancis begitu mereka selesai dihukum di Perancis. Selama ini, Perancis adalah salah satu negara Eropa yang paling kerap jadi sasaran serangan NIIS.
Sebagian warga Perancis mendukung itu. Mereka antara lain korban teror Mohamed Merah, yang menembaki sejumlah orang di Touluse pada 2012. Salah seorang keluarga korban insiden itu, Albert Chennouf-Meyer, menyurati Presiden Emmanuel Macron. Lewat suratnya, Meyer meminta Macron menjauhkan milisi NIIS dari Perancis.
”Bapak Presiden, dalam beberapa pekan mendatang, Anda akan memulangkan 130 milisi Perancis. Darah anak kami ada di tangan mereka. Saya berniat menggunakan seluruh kekuatan saya untuk melawan keputusan kriminal ini,” ujarnya.
Sebaliknya, keluarga milisi NIIS asal Perancis tentu ingin mereka dipulangkan. Perwakilan keluarga milisi NIIS, Veronique Roy, khawatir dengan pemindahan milisi asing dari Suriah ke Irak. Dalam hukum Irak, siapa pun yang dituduh terlibat kelompok teror bisa dihukum mati.
Roy dan keluarga milisi NIIS meminta pemerintah negara asal milisi itu bertanggung jawab. Untuk Roy, ia meminta Perancis tak mengabaikan masalah itu. (AP/AFP/RAZ)