Bank Indonesia Purwokerto Gulirkan Sejuta Kopi untuk Konservasi
Oleh
MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
BANJARNEGARA, KOMPAS — Kantor Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto menggulirkan program pengembangan produk unggulan daerah (local economic development ) kopi untuk meningkatkan kesejahteraan petani serta konservasi lingkungan. Satu juta tanaman kopi akan dikembangkan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, yang sebagian besar kawasannya rawan longsor.
”Kopi dipilih sebagai tanaman konservasi karena nilainya cukup tinggi. Kebutuhan kopi secara nasional dan internasional belum mencukupi. Semoga ini memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat di Banjarnegara. Kopi juga memiliki akar tunggang yang cukup dalam, sekitar 3 meter, sehingga diharapkan mampu menahan erosi longsor,” kata Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto Agus Chusaini, Senin (11/2/2019), di Desa Babadan, Kecamatan Pagentan, Banjarnegara.
Mengutip data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Banjarnegara, lanjut Agus, selama tujuh tahun terakhir telah terjadi 367 kali kejadian tanah longsor yang merenggut korban jiwa 113 orang. ”Sebanyak 13 dari 20 kecamatan di Kabupaten Banjarnegara ini termasuk rawan longsor,” kata Agus.
Luas lahan kopi di Banjarnegara untuk kopi arabika 549,62 hektar dan kopi robusta seluas 1.854,83 hektar. Produksi kopi robusta rata-rata 865 ton dalam satu kali panen atau 755 kilogram per hektar, sementara produksi kopi arabika rata-rata 201 ton sekali panen atau 805 kilogram per hektar. ”Kami berharap nanti kopi-kopi berikutnya bisa meningkat hasilnya karena memang dilakukan dengan pola tanam yang baik. Semoga hasil kopi ke depan bisa ditingkatkan sampai 1.000-1.200 kilogram per hektar,” lanjutnya.
Sejak awal 2018, Bank Indonesia telah memberikan pelatihan budidaya kopi bagi petani dan penyuluh pertanian di Kecamatan Pagentan, Pejawaran, Karangkobar, Batur, dan Wanayasa. Selain itu, 39.600 bibit kopi telah dibagikan kepada empat kelompok di Kecamatan Pagentan serta Wanayasa dengan luasan 24 hektar. Bank Indonesia juga mendorong penguatan kelembagaan koperasi produksi kopi, memberi bantuan mesin pascapanen, serta melatih pengolahan pascapanen.
Kepala Desa Babadan Wahyu Setiawati menyampaikan, luas lahan pertanian di desanya yang berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl) mencapai 400 hektar. Dari jumlah itu, sekitar 70 hektar ditanami kopi dengan jumlah petani kopi sebanyak 185 orang. Geliat menanam kopi di desanya mulai muncul pada 2011 dan terus berkembang hingga saat ini. Sisa lahan lainnya ditanami sayur-mayur, seperti kol dan cabai.
”Dengan kontur yang berbukit di Babadan ini, bencana longsor bisa diantisipasi dengan tanaman kopi. Erosi di aliran Sungai Tulis bisa berkurang. Dulu, 2005, pernah terjadi longsor di daerah Sikopel dan ada empat orang meninggal,” kata Wahyu.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Desa Babadan Turno menuturkan, di desanya ada sekitar 150.000 tanaman kopi jenis arabika. Pada 2018, Koperasi Sikopel Mitreka Satata telah mengelola 5 ton green bean (biji kopi). ”Kami membeli dari petani jenis ceri atau petik merah Rp 12.000 per kilogram. Untuk penjualan jenis green bean Rp 100.000 per kilogram dan untuk roasted serta bubuk siap seduh Rp 300.000 per kilogram,” katanya.
Kopi arabika dengan merek Java Bismo dari Desa Babadan, ujar Turno, telah dipasarkan ke daerah Banjarnegara, Wonosobo, Purwokerto, Yogyakarta, Jakarta, dan Semarang. ”Kopi ini punya karakter tersendiri yang tidak ditemukan di daerah lain. Aromanya dominan gula jawa dan bodinya kuat,” katanya.
Sugiman Darsono (41), petani kopi Desa Babadan, menyampaikan, menanam kopi jauh lebih menguntungkan dibandingkan menanam sayur-mayur karena harga kopi relatif stabil dibandingkan harga sayur yang fluktuatif. Dari 700 tanaman kopi yang dimilikinya di lahan sekitar 0,3 hektar, setahun ia bisa mendapatkan 2 ton kopi dan rata-rata pendapatannya per bulan Rp 2 juta dari 15-20 kilogram green bean.
”Kalau tanam sayur, misalnya cabai dan kubis, itu musiman. Dalam setahun siklusnya 2 sampai 3 kali tanam sayur. Per musim kalau hasilnya bagus bisa dapat Rp 1 juta-Rp 2 juta. Tetapi, kalau sedang panen raya tidak laku dan bisa rugi karena harganya turun. Kalau kopi, harganya stabil,” kata Sugiman.