Bumi Memanas, Cuaca Ekstrem Meningkat
Suhu bumi yang terus memanas telah berdampak pada lingkungan, salah satunya memicu peningkatan cuaca ekstrem. Curah hujan meningkat di sejumlah daerah.
JAKARTA, KOMPAS - Suhu bumi terus meningkat dan mencapai titik tertinggi yang terekam sejak era modern. Tahun 2018 sudah lebih panas satu derajat celcius dibandingkan tahun 1900-an. Peningkatan suhu global ini telah memicu berbagai perubahan lingkungan, salah satunya berupa peningkatan skala dan intensitas cuaca ekstrem.
Data yang dirilis Badan Meteorologi Dunia (WMO) pekan ini menyebutkan, tahun 2015, 2016, 2017, dan 2018 sebagai empat tahun terpanas yang pernah tercatat. Tahun 2016 tercatat sebagai yang terpanas dengan peningkatan suhu atmosfer rata-rata sebesar 1,2 derajat celcius dibandingkan masa pra-Revolusi Industri, atau 1850 -1900. Rekor suhu terpanas saat itu, selain oleh laju pemanasan global juga bersamaan dengan terjadinya El Nino.
Berikutnya, suhu pada tahun 2015 dan 2017 suhu atmosfer sama-asma 1,1 derajat celcius lebih panas lebih panas dibandingkan 1850-1900. Sedangkan tahun 2018 suhu global mencapai 1 derajat lebih panas jika dibandingkan dengan data yang sama.
“Perubahan term suhu jangka panjang jauh lebih penting dibandingkan rangking tiap tahun, dan tren itu sedang terjadi," kata Sektertaris Jenderal WMO Petteri Taalas. “Sebanyak 20 tahun terpanas terekam dalam 22 tahun terakhir. Tingkat pemanasan selama empat tahun terakhir sangat luar biasa, baik di daratan maupun di lautan.”
Di Indonesia, peningkatan suhu saat ini bahkan sudah lebih tinggi dibandingkan rata-rata global. Kajian peneliti iklim yang juga Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Siswanto terhadap tren suhu di Jakarta sejak tahun 1866 hingga 2012 menunjukkan, peningkatan suhu mencapai 1,6 derajat celcius.
Di Indonesia, peningkatan suhu saat ini bahkan sudah lebih tinggi dibandingkan rata-rata global. Kajian terhadap tren suhu di Jakarta sejak tahun 1866 hingga 2012 menunjukkan, peningkatan suhu mencapai 1,6 derajat celcius.
"Sebelum tahun 1966, suhu rata-rata di Jakarta sebenarnya 0,6 derajat celcius lebih dingin dibandingkan temperatur global. Namun, setelah itu suhu kita cenderung lebih panas dari rata-rata global. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh dinamika lokal, seperti berkurangnya vegetasi dan pertumbuhan kota yang pesat," kata Siswanto di Jakarta, Senin (11/2/2019).
Analisis dengan skala kawasan lebih kecil menunjukkan, be berapa daerah seperti Tanjung Priok penambahan suhu maksimalnya meningkat rata-rata 0,3 derajat celcius tiap 10 tahun.
Picu cuaca ekstrem
Peningkatan suhu global telah memicu peningkatan cuaca ekstrem. Tak ada negara yang luput dari cuaca ekstrem yang memicu peningkatan bencana hidrometerologi seperti banjir, kekeringan, badai, hingga kebakaran lahan.
Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNISDR) berdasarkan data Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED), sepanjang 2018 bencana hidrometerologi berdampak terhadap 57,3 juta jiwa secara global.
"Cuaca ekstrem telah berdampak di banyak negara dan jutaan orang, dan menghancurkan ekonomi dan ekosistem di tahun 2018,” kata Taalas. “Inilah kenyataan yang harus kita hadapi. Pengurangan emisi gas rumah kaca dan adaptasi iklim harus menjadi prioritas global.”
Memasuki awal tahun 2019 ini, WMO juga mencatat pola cuaca ekstrem. Suhu dingin mencapai -53,9 derajat celcius di Minnesota, Amerika Serikat pada 30 Januari melampaui rekor terdingin di negeri ini selama seratus tahun terakhir.
Laporan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), suhu di 50 negara bagian mencapai rekor terdingin yang pernah tercatat dalam puluhan tahun terakhir. Namun, pada saat bersamaan, Alaska dan sebagian Antartika menghangat melampaui rata-ratanya.
Amerika Selatan, seperti dilaporkan Meteo Cile, juga dilanda panas ekstrem. Pusat cuaca di Ibukota Santiago mencatat rekor panas tertinggi 38,3 derajat celcius pada 26 Januari, bahkan di bagian tengah Cile suhu mencapai 40 derajat celcius. Demikian halnya Argentina bagian selatan mengalami panas ekstrem.
Panas tinggi artinya juga tingginya penguapan. Bagian utara Argentina dilanda hujan dengan intensitas tertinggi di negara ini, yaitu mencapai 224 milimeter (mm) per hari pada 8 Januari.
Di Indonesia, tren cuaca ekstrem juga meningkat, ditandai dengan peningkatan frekuensi dan skala bencana hidrometeorologi. Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, di Jakarta, Senin (11/2/2019) mengatakan, bencana hidrometeorologi telah menewaskan 105 orang di Indonesia dari Januari hingga dasarian pertama di bulan Februari.
Di Indonesia, tren cuaca ekstrem juga meningkat, ditandai dengan peningkatan frekuensi dan skala bencana hidrometeorologi.
Di antara jumlah ini sebanyak 90 orang meninggal karena banjir, 12 orang karena longsor, 2 orang karena puting beliung, dan 1 orang karena kebakran hutan dan lahan. Bencana hidrometerologi ini juga merusak 6.290 rumah, 92 bangunan pendidikan, 44 bangunan ibadah, dan 8 bangunna kesehatan.
"Sebanyak 98 persen bencana tahun 2019 ini dipicu hidrometerologi dan banjir di Sulawesi Selatan sejauh ini yang paling banyak menimbulkan korban jiwa," kata Sutopo.
Pencatatan curah hujan saat itu menunjukkan hingga lebih dari 300 milimeter per hari di sejumlah lokasi di Sulawesi Selatan. Intensitas hujan ini tergolong sangat tinggi.
Kajian peneliti iklim BMKG Supari, untuk disertasinya menemukan adanya perubahan pola hujan. Secara umum, daerah di utara katulistiwa rata-rata cenderung semakin basah, sedangkan di selatannya cenderung kering.
Secara umum, daerah di utara katulistiwa rata-rata cenderung semakin basah, sedangkan di selatannya cenderung kering.
"Pulau Jawa itu kecenderungannya mengering. Dan tren ini bersambung sampai masa depan, berdasar hasil pemodelan perubahan iklim," kata dia.
Kajian dari tim gabungan sejumlah negara, termasuk dari peneliti BMKG Supari, yang dipublikasikan dalam jurnal Asia-Pacific Network (APN) for Global Change Research pada 22 Agustus 2018 memproyeksikan, perubahan pola penguapan yang berpengaruh terhadap pola hujan di Asia Tenggara.
Jika laju pemanasan global sebesar 2 derajat celsius seperti yang terjadi saat ini, pada tahun 2031-2051 sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami penurunan curah hujan secara signifikan untuk rata-rata tahunnya, dan sebaliknya wilayah Indochina akan mengalami hujan lebih banyak.
Sedangkan kajian Siswanto dengan data 100 tahun menemukan, sekalipun rata-rata curah hujan tahunan relatif sama, bahkan menurun, namun frekuensi hujan ekstrem justru meningkat. "Sekitar 10 persen intensitas hujan tertinggi di Jakarta, misalnya yang di atas 130 mm per hari, telah meningkat 14 persen akibat penambahan suhu per 1 derajat celcius," kata dia.
Sekalipun rata-rata curah hujan tahunan relatif sama, bahkan menurun, namun frekuensi hujan ekstrem justru meningkat.
Peningkatan intensitas hujan ekstrem ini hampir sama dengan yang terjadi di Hongkong. Sedangkan di Belanda, penambahan suhu 1 derajat celcius menambah 7 persen hujan ekstrem. "Ini kemungkinan dipengaruhi posisinya, negara yang dekat Katulistiwa peningkatan hujan ekstremnya kemungkinan lebih tinggi," kata dia.
Menurut Siswanto, hujan lebat berdurasi pendek (antara 1-3 jam) di Jakarta telah meningkat signifikan secara statistik. Sedangkan hujan berdurasi menengah (4-6 jam), dan druasi lama (> 6 jam), juga meningkat, meskipun belum terlalu tinggi," kata dia.
Menurut Siswanto, dampak perubahan cuaca yang diakibatkan oleh peningkatan suhu global ini bisa diilustrasikan dengan menambah panas kompor dengan volume air yang sama. Hal ini menyebabkan siklus hidrologi menjadi semakin cepat dan gejolaknya semakin ekstrem.
"Pertukaran molekul air di dalam ketel semakin cepat. Demikian pula bumi kita. Kalau uap air tetap, sedangkan suhu terus menghangat, maka menyebabkan perputaran siklus hidrologi semakin cepat. Ini berdampak pada cuaca ekstrem," kata dia.
Dosen ilmu lingkungan Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa, yang juga anggota Paris Committee on Capacity Building wakil dari kawasan Asia-Pasifik, mengingatkan, kompleksitas dampak dari peningkatan suhu bumi ini amat tinggi. “Dari sisi bencana saja tahun 2018 sudah sekitar 2.000 bencana hidrometeorologi,” ujar. Jumlah bencana hidrometeorologi tersebut empat kali lipat dari jumlah kejadian pada tahun 2015.
Menurut dia, dampak peningkatan suhu dan perubahan iklim juga telah terjadi di sektor pangan karena kekeringan atau banjir, dan bisa berdampak pula pada keanekaragaman hayati, juga persoalan hama, dan sebagainya.