JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah untuk mengatur keberadaan ojek dalam jaringan diapresiasi masyarakat. Namun, perumusan aturan mesti melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk konsumen pengguna, yang jumlahnya jauh lebih besar daripada pengemudi ojek daring.
”Selama ini, fokus pemerintah terasa lebih condong untuk mendengarkan suara pengemudi. Padahal, pemangku kepentingan terbesar adalah konsumen. Namun, hingga kini suara konsumen belum didengar,” kata Ketua Tim Peneliti Research Institute for Socio-Economic Development (RISED) Rumayya Batubara di Jakarta, Senin (11/2/2019).
Rumayya mencontohkan, mengenai usulan kenaikan tarif, pemerintah hanya mengambil pendapat dari pengemudi yang ingin tarif dinaikkan.
Hasil survei yang dilakukan RISED menunjukkan, permintaan konsumen terhadap jasa ojek daring bisa turun 71,12 persen jika tarif dinaikkan. Dari 2.001 pengguna ojek daring yang disurvei selama dua minggu pada bulan Januari 2019, sebanyak 22,99 persen responden tidak bersedia tarif dinaikkan.
Survei yang dilakukan di 10 provinsi dan 17 kabupaten/kota itu juga menunjukkan, ada 48,13 persen konsumen yang bersedia tarif dinaikkan, tetapi kurang dari Rp 5.000 per hari. Sementara 28,88 persen konsumen bersedia tarif dinaikkan Rp 5.000-Rp 30.000 per hari.
”Dengan adanya responden yang tidak bersedia naik tarif, ditambah responden yang hanya mau naik kurang dari Rp 5.000 per hari, apabila kenaikannya lebih dari itu, ojek daring berpotensi kehilangan penumpang hingga 71,12 persen,” ujarnya.
Saat ini, tarif maksimal ojek daring mencapai Rp 2.200 per kilometer (km), sedangkan usulan yang berkembang, tarif naik menjadi Rp 3.100 per km. Dengan demikian, ada kenaikan Rp 900 per km atau 40,9 persen.
Jika rata-rata konsumen menggunakan ojek daring sejauh 8,8 km per hari, tambahan biaya pengeluaran menjadi Rp 7.920 per hari. Angka ini jauh melebihi harapan responden.
Bisa diterima
Ekonomi Universitas Indonesia, Fithra Faisal, mengatakan, kenaikan tarif bisa diterima sepanjang berdasarkan kajian-kajian solid yang melibatkan banyak pihak. Pengguna ojek daring tidak semuanya berasal dari kelompok mampu, bahkan lebih condong ke menengah ke bawah. Pada kelompok ini, harga sangat sensitif. Jika harga naik, konsumen akan mencari alternatif yang lain, seperti mengurangi perjalanan atau beralih ke moda transportasi lain.
”Pada akhirnya, yang akan dirugikan juga adalah pengemudi. Efek lanjutannya, yang akan terkena imbasnya ada 17 usaha, seperti restoran, perawatan kendaraan, pariwisata,dan angkutan umum,” kata Fithra.
Dari survei diketahui, 40,98 persen responden menggunakan ojek daring untuk ke stasiun atau terminal. Artinya, keberadaan ojek daring juga menjadi penopang atau pengumpan bagi angkutan umum.
Mantan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Zumrotin K Susilo mengatakan, kenaikan tarif ojek daring yang wajar seharusnya tidak lebih dari 20 persen. Namun, yang lebih penting, penyedia layanan ojek daring memberikan jaminan kesejahteraan bagi mitra pengemudinya.
”Selama ini, mereka sudah diberi keuntungan yang sangat besar oleh pengemudi. Jadi, sudah waktunya mereka mengembalikannya kepada pengemudi, misalnya dengan memberikan asuransi perlindungan bagi pengemudi. Peningkatan kesejahteraan mitra jangan dibebankan sepenuhnya dengan kenaikan tarif,” kata Zumrotin.
Dia mengatakan, seharusnya Kementerian Ketenagakerjaan mengatur hubungan penyedia layanan dengan pengemudi. Walaupun pengemudi disebut mitra, pada kenyataannya pengemudi berada di bawah provider.
”Jangan dibebankan kepada Kementerian Perhubungan. Ini urusan ketenagakerjaan. Ada 2 juta pengemudi ojek daring dan itu adalah tenaga kerja. Kementerian Ketenagakerjaan harus ikut melindungi mereka,” ujarnya.