J Galuh Bimantara/Helena F Nababan/Dhanang David Aritonang
·4 menit baca
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menegaskan akan mengambil alih proses pengelolaan air dari pihak swasta. Selama ini, kinerja swasta tidak juga bisa memenuhi target sesuai kesepakatan awal.
JAKARTA, KOMPAS — Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, sejak tahun 1998 hingga 2017 tidak ada peningkatan pelayanan signifikan yang dilakukan oleh pihak swasta, yaitu Aetra dan Palyja. Berdasarkan data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pada tahun 1998, cakupan layanan pengelolaan air sebesar 44,5 persen, sedangkan pada tahun 2017 baru mencapai 59,4 persen.
”Padahal, targetnya pada akhir 2023 seharusnya sebesar 82 persen. Dengan jangka waktu yang tinggal sebentar lagi, hampir mustahil pihak swasta akan melakukan investasi untuk meningkatkan cakupan layanan,” ujarnya di Balai Kota, Jakarta, Senin (11/02/2018).
Anies mengatakan, sejak pihak swasta mengambil alih pengelolaan air pada tahun 1998, Pemprov DKI tidak memiliki wewenang untuk meningkatkan pelayanan pengelolaan air. Menurut dia, jika hingga 2023 pengelolaan air ini tidak diambil alih Pemprov DKI, rakyat dan negara akan dirugikan.
”Oleh sebab itu, telah ada Tim Tata Kelola Air yang telah bekerja selama enam bulan untuk mempersiapkan pengambil alihan ini. Nantinya air akan dikelola oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Jaya,” ucapnya.
Menurut dia, ada sejumlah opsi yang disiapkan Pemprov DKI Jakarta untuk mengambil alih pengelolaan air, yaitu dengan cara perdata.
Anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum dari Unsur Profesional Nila Ardhianie mengatakan, tim sudah bekerja selama enam bulan. Berdasarkan kajian komprehensif dengan mempertimbangkan aspek hukum, ekonomi, dan keberlanjutan pelayanan, tim mengidentifikasi terdapat tiga opsi kebijakan.
Pertama, membiarkan kontrak selesai sesuai perjanjian kerja sama, yaitu hingga tahun 2023. Konsekuensinya, target cakupan 82 persen pada akhir 2023 akan sulit tercapai dengan meninjau capaian pelayanan oleh swasta selama 20 tahun terakhir.
”Karena waktunya sudah tinggal empat tahun, kecil kemungkinan swasta mau berinvestasi dalam jumlah besar,” ujar Nila.
Selain itu, karena kontrak masih berjalan, Pemprov DKI Jakarta dan PAM Jaya tidak bisa memasukkan dana untuk membantu peningkatan pelayanan mengingat itu tanggung jawab swasta.
Pilihan kedua, pemutusan kontrak secara sepihak. Menurut Nila, kebijakan ini berpotensi mengganggu iklim bisnis di Jakarta dan Indonesia.
Ketiga, pengambilalihan melalui tindakan-tindakan perdata. Tim merekomendasikan opsi ini karena dinilai lebih realistis. Oleh karena itu, Pemprov DKI memilih cara ketiga.
Anggota Tim Tata Kelola Air DKI Jakarta, Tatak Ujiyati, mengatakan, saat ini kajian tim masih sebatas untuk mengambil alih pengelolaan. Pihaknya belum memperhitungkan sampai harga tarif air yang harus dibayarkan masyarakat.
”Selain itu, dalam proses ambil alih ini, kami juga perlu memperhitungkan prosedur mana saja yang kerugiannya paling sedikit, seperti biaya penalti apabila kita putus kontrak di tengah jalan, atau biaya pembelian saham milik swasta, ini masih harus dikaji,” katanya.
Tatak menjelaskan, saat ini Pemprov DKI terkendala untuk menambah air baku serta memperluas jaringan dan perpipaan karena wewenang pengelolaan air masih dipegang oleh swasta.
”Kami sudah dua kali mengajukan penanaman modal daerah dan dipertanyakan oleh DPRD karena kewenangan pengelolaan air tidak ada di Pemprov sehingga pengajuan ditolak,” ujarnya.
Tim evaluasi tata kelola air merupakan tim yang dibentuk Anies Baswedan setelah ada keputusan dari Mahkaman Agung (MA) pada 2017 atas gugatan masyarakat. MA memutuskan supaya swastanisasi air di Jakarta dihentikan.Untuk memutuskan swastanisasi itulah, tim dibentuk dan bekerja selama enam bulan. Masa tugas mereka berakhir pada 10 Februari 2019. Pertama, tim melakukan evaluasi atas kinerja PAM dan dua mitra swasta, kemudian memberi rekomendasi.
Dukungan DPRD
Prasetio Edi Marsudi, Ketua DPRD DKI Jakarta, mengatakan, pengambilalihan harus segera. Jika perlu, kontrak diputus saat ini juga meski akan berkonsekuensi pada kewajiban DKI membayar penalti.
”Kalaupun penalti, ya, sudah tidak apa-apa kami bayar. Tidak usah takut banget. Daripada uang kami silpa (sisa lebih penggunaan anggaran),” katanya.
Secara terpisah, Lintong Hutasoit, Direktur Operasional Aetra, belum mau menanggapi keputusan Pemprov DKI Jakarta. Lydia Astriningworo, Corporate Communication and Social Responsibility Division Head Palyja, juga bersikap sama, merespons saat dihubungi, tetapi tidak menjawab permintaan konfirmasi dari Kompas.
Prasetio lebih lanjut berkomentar, pembahasan-pembahasan pengambilalihan seperti yang hendak dilakukan Anies itu akan memperpanjang proses. Sebelumnya upaya serupa sudah pernah dilakukan.
Upaya yang dimaksud Prasetio adalah rencana ada penyertaan modal kepada PAM Jaya untuk memulai pengambilalihan, tetapi tidak berjalan. Lalu, PAM Jaya saat masih dipimpin Erlan Hidayat sempat memulai proses restrukturisasi perjanjian kerja sama (PKS) pengelolaan air minum di Jakarta. Proses sudah dimulai September 2017 dan dijadwalkan tuntas Maret 2018.
Kala itu, perjanjian restrukturisasi PKS hendak dilakukan pada pekan terakhir Maret 2018. Akan tetapi, rencana ini dibatalkan dengan alasan Gubernur DKI Jakarta belum menerima surat terkait restrukturisasi PKS tersebut.