A Prasetyantoko, Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
·5 menit baca
Pertumbuhan ekonomi 2018 mencatatkan kinerja terbaik sejak empat tahun terakhir, yakni 5,17 persen. Namun, di tahun politik ini, kinerja ini justru memicu kontroversi. Pertama, meski lebih baik dari 2017, namun tak sebesar target pemerintah yang sebesar 5,4 persen. Bahkan, lebih rendah dari target yang sudah direvisi sebesar 5,2 persen. Kedua, angka pertumbuhan itu terlalu konservatif dibandingkan dengan janji politik Presiden Joko Widodo sewaktu kampanye 2014 sebesar 7 persen. Terlepas dari muatan politik, harus diakui kita memang tengah terjebak dalam pola pertumbuhan moderat, sulit melesat lebih tinggi lagi.
Kita pernah mengalami puncak pertumbuhan ekonomi pada 2011 sebesar 6,5 persen. Setelah itu, pola pertumbuhan cenderung turun, menjadi 6,2 persen pada 2012 dan 5,8 persen pada 2013. Faktor utamanya, ledakan harga komoditas berakhir. Pelambatan pertumbuhan ekonomi terus berlanjut, pada 2014 menjadi 5,01 persen dan pada 2015 turun lagi menjadi 4,88 persen. Setelah itu, terjadi pembalikan arah pertumbuhan menjadi 5,03 persen pada 2015, naik lagi menjadi 5,07 pada 2017, dan 5,17 persen pada 2018. Pola pertumbuhan telah kembali naik meski perlahan.
Bagaimana kita keluar dari jebakan pertumbuhan moderat ini? Pertama, pertumbuhan perekonomian domestik tak bisa dilepaskan dari pola pertumbuhan global. Seperti kita tahu, pertumbuhan global memasuki fase penurunan. Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan global 2019 dari 3 persen menjadi 2,9 persen. Sementara, Dana Moneter Internasional memperkirakan pertumbuhan global tahun ini 3,5 persen atau turun dari kinerja 2018 yang sekitar 3,7 persen.
Implikasinya pada perekonomian kita, peran ekspor makin mengkerut. Pada 2018, kontribusi ekspor sebagai sumber pertumbuhan menjadi negatif 0,99 persen. Jika dilihat pertumbuhannya terhadap tahun sebelumnya, terjadi kenaikan 6,48 persen. Pada periode yang sama, impor tumbuh 12,4 persen.
Dengan kata lain, kita memerlukan lebih banyak faktor produksi dari luar negeri untuk menggerakkan perekonomian kita. Defisit transaksi berjalan menjadi salah satu persoalan akut yang harus diobati. Perekonomian kita hanya bisa melesat jika masalah defisit transaksi berjalan diselesaikan, dengan cara meningkatkan kapasitas ekspor nonmigas ke pasar nontradisional.
Kedua, perekonomian kita masih sangat bertumpu pada konsumsi domestik. Pada 2018, kontribusi konsumsi pada perekonomian mencapai 56,01 persen. Idealnya, perekonomian lebih banyak disokong investasi karena akan meningkatkan kapasitas produksi nasional serta pendapatan per kapita. Itulah salah satu agenda pokok pemerintahan ke depan, mengundang invetasi asing langsung lebih banyak. Pembangunan infrastruktur dan mengatur kelembagaan dunia usaha domestik melalui deregulasi peraturan merupakan langkah penting yang harus dilanjutkan.
Meski demikian, dalam perekonomian, satu faktor tak bisa didorong tanpa memperhitungkan faktor lainnya dalam kerangka keseimbangan umum. Upaya kita mendorong infrastruktur, selain terkendali pembiayaan, juga membebani impor kita. Hal ini karena banyak bahan baku yang tak tersedia di dalam negeri. Begitu juga dalam mendorong investasi sektor manufaktur, masih banyak bahan baku dan bahan penolong yang impor.
Dalam rangka menggerakkan investasi, khususnya pada sektor manufaktur, harus memperhatikan beberapa hal, seperti memprioritaskan sektor berorientasi ekspor serta berupaya membangun industri menengah yang menghasilkan bahan baku dan bahan penolong. Tak mudah menggerakkan sektor ini karena biaya investasi yang sangat mahal serta marjin keuntungan yang kecil. Di sinilah insentif pajak serta relaksasi peraturan (izin) menjadi penting diberikan pada industri sektor menengah ini.
Pelambatan pertumbuhan ekonomi global akibat perseteruan Amerika Serikat dan China memberi peluang karena banyak perusahaan berbasis di China akan merelokasi usaha untuk menghindari penerapan tarif ketika masuk ke pasar AS. Sejauh ini, Vietnam dan Thailand termasuk yang berhasil menarik relokasi tersebut. Dengan upaya yang sistematis, kita juga berpotensi menarik relokasi beberapa lini produk yang sesuai dengan rantai pasok produksi di Indonesia.
Dengan demikian, kita berpeluang meningkatkan investasi asing langsung, meski langit perekonomian global semakin mendung.
Ketiga, kontribusi sektor industri pengolahan harus terus ditingkatkan. Pada 2018, kontribusi sektor pengolahan di perekonomian sebesar 19,86 persen atau tertinggi dibandingkan dengan sektor lain. Disusul sektor perdagangan dengan kontribusi 13,02 persen, pertanian 12,81 persen, dan kontruksi 10,53 persen.
Meski begitu, pertumbuhan sektor manufaktur cenderung turun, yang pada 2014 mencapai 4,64 persen, namun pada 2018 menjadi 4,27 persen. Akan tetapi, tanpa upaya sistematis dalam strategi industrialisasi yang terarah, peran industri manufaktur tidak akan maksimal.
Pada periode 2010-2015, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,63 persen dan pada 2016-2018 hanya tumbuh rata-rata 5,09 persen. Tentu saja untuk memacu pertumbuhan harus bersifat gradual, tak bisa melesat begitu cepat, mengingat ada begitu banyak persoalan stuktural yang menjadi kendala dan harus diurai satu per satu. Meski begitu, jebakan pertumbuhan moderat harus dihindari agar tak mengalami stagnasi. Stagnasi pertumbuhan ekonomi akan menghambat kita mengalami transisi menjadi negara maju. Meski pendapatan per kapita 2018 telah naik peringkat, masuk pada kelompok negara berpenghasilan menengah atas, namun jika stagnasi pertumbuhan tak diselesaikan, kita akan terperangkap di kelompok negara berpenghasilan menengah.
Pembangunan infrastruktur hanya prasyarat dasar, masih ada persoalan sumber daya manusia untuk memacu pertumbuhan industri manufaktur, terutama yang berorientasi ekspor. Tak ada jalan pintas, harus konsisten dan berkesinambungan. Siapa pun yang terpilih menjadi presiden pada pemilu tahun ini harus mampu mengurai jebakan pertumbuhan agar bisa tumbuh lebih baik. Tanpa upaya menyeluruh, menyentuh aspek struktural, kinerja perekonomian menjadi “cepat panas”, tak berkualitas, dan tak berkesinambungan.