Jumlah Investor Teknologi Finansial Pendanaan Tumbuh Pesat
Oleh
Ayu Pratiwi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Industri teknologi finansial atau tekfin pendanaan (peer to peer lending/P2P) bertumbuh pesat dalam dua tahun terakhir. Jumlah investor atau pemberi pinjaman pun melonjak. Tidak hanya investor individu atau perusahaan, kini bank juga mulai tertarik menggunakan teknologi fintek untuk menyalurkan pinjamannya.
Mengutip data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pendiri dan CEO Investree, Adrian Gunadi, menjelaskan dari 2016-2018, jumlah pemberi pinjaman di Jawa yang menggunakan layanan fintek yang terdaftar dan diizinkan oleh OJK meningkat lebih dari 12 kali lipat. Pada Desember 2016, tercatat 12.498 investor di Jawa yang menggunakan layanan fintek. Pada Desember 2018, angka itu meningkat pesat menjadi 155.229 orang.
Selain itu, nilai pinjaman yang disalurkan selama periode itu meningkat lebih dari 75 kali lipat di Jawa. Hingga Desember 2016, total pinjaman yang disalurkan mencapai Rp 260 miliar. Angka itu kemudian meroket menjadi Rp 19,6 triliun pada Desember 2018. Kenaikan signifikan, dari segi jumlah investor dan nilai pinjaman yang disalurkan, juga terjadi di luar Jawa.
Adrian menjelaskan, sebagian besar investor sebelumnya adalah individu. "Sejak enam bulan terakhir, mulai ada segmen institusi perbankan dan multifinance. Tidak hanya bank kecil, tetapi juga bank besar. Mereka kerja sama dengan fintek untuk bisa menyalurkan pembiayaan ke segmen retail dan kecil, yang ongkosnya relatif mahal bagi bank," ujarnya ketika berkunjung ke kantor Harian Kompas di Jakarta, Selasa (12/2/2019).
Adrian hadir bersama sejumlah pendiri perusahaan penyelenggara tekfin, yang juga merupakan anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI). Mereka diterima oleh Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy.
Menurut Adrian, di Indonesia, kolaborasi antara tekfin dan bank cukup bagus. Tren tersebut berbeda di sejumlah negara lain, dengan tekfin lebih dianggap sebagai kompetitor bank.
Di Indonesia, pasar yang bisa digarap oleh penyelenggara tekfin cukup besar. "Di Indonesia, ada credit gap sebesar 80 miliar dollar AS (atau Rp 1.124 triliun). Itu adalah jumlah kebutuhan finansial yang belum bisa dipenuhi oleh sektor formal, seperti perbankan dan multifinance. Hal tersebut mendorong tumbuhnya informal lending," ucapnya.
Sejak enam bulan terakhir, mulai ada segmen institusi perbankan dan multifinance. Tidak hanya bank kecil, tetapi juga bank besar. Mereka kerja sama dengan tekfin untuk bisa menyalurkan pembiayaan ke segmen retail dan kecil
Pertumbuhan tekfin selama dua tahun disertai dengan kinerja pengelolaan yang cukup bagus. Adrian mengatakan, jumlah non performing loan (NPL) atau kredit bermasalah sekitar 1,4 persen. Angka itu lebih rendah dibandingkan NPL perbankan. Per Desember 2018, OJK mengungkapkan, NPL perbankan sebesar 2,2 persen secara gross.
Peluang masih besar
Mengingat jumlah pinjaman yang disalurkan tekfin di wilayah Jawa per Desember 2018 sebesar Rp 19,6 triliun, berarti masih ada potensi sangat besar dari total 80 miliar dollar AS yang belum tergarap. Dengan demikian, peluang industri fintek untuk tumbuh masih sangat besar. Peminjam atau debitor, bukan hanya pelaku UMKM, tetapi juga individu dengan keperluan lain, seperti untuk membiayai pendidikan anak mereka.
Masing-masing penyedia layanan tekfin memiliki target pasar yang cukup spesifik. Misalnya, Investree menargetkan pelaku usaha UKM bersifat business to business (B2B) dan Modalku menargetkan pelaku usaha UKM bersifat business to customer (B2C). Adapula Danacita yang menyediakan pinjaman kepada pelajar yang ingin mencicil biaya pendidikannya dan Tokomodal yang menargetkan pelaku usaha warung. Hingga Desember 2018, ada 88 perusahaan tekfin yang terdaftar dan diizinkan oleh OJK.
Mengenal risiko
Menanggapi kasus pada Desember 2018, saat masyarakat mengeluhkan cara penagihan sejumlah perusahaan tekfin yang tidak beretika, Adrian menyampaikan, perusahaan perlu mengadopsi cara penagihan yang sama diterapkan oleh bank. "Apabila ada penyelenggara yang nakal, masyarakat dapat mengadu ke posko pengaduan yang disediakan AFPI," katanya.
Ia mengaku, perusahaan tekfin tidak bisa menjamin, investor akan betul-betul memperoleh dananya kembali. Untuk itu, investor masih perlu diedukasi untuk sadar akan risiko investasinya . Profit yang diperoleh dari tekfin bisa lebih besar dari profit deposito, namun risikonya juga lebih besar.
Adrian mengungkapkan, pinjaman dengan profit tinggi lebih laku dibanding profit yang lebih rendah. "Masyarakat Indonesia cenderung risk taker. Peminjam perlu diedukasi tentang profil risiko dan tidak hanya melihat dari sisi profitnya," ucapnya.