Kartel Maskapai dan Monopoli Avtur Sampai ke Telinga Presiden
U kompasid
JAKARTA, KOMPAS - Masalah harga tiket yang tinggi akhirnya menjadi jelas sampai ke telinga Presiden Joko Widodo. Terbentuknya kartel perusahaan penerbangan dan monopoli avtur dinilai sebagai dua sebab melambatnya dunia pariwisata Indonesia sejak awal tahun 2019 ini.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menyampaikan keluhan-keluhan para pengusaha dalam acara Gala Dinner Peringatan HUT ke-50 Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) di Jakarta, Senin (11/2/2019). Presiden Joko Widodo yang hadir jam 20.50 di acara ini, didampingi Menteri Pariwisata Arief Yahya, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Hanief Dhakiri, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Menurut Hariyadi, perkembangan sektor pariwisata Indonesia cukup baik. Investasi pariwisata tumbuh 20 persen dari 2013-2017 dengan 70 persen investasi sektor pariwisata adalag investasi bidang hotel dan restoran. Jumlah kamar hotel di Indonesia lebih dari 625.000, terbesar di Asean.
“Pariwisata kita berpotensi besar tapi kurang optimal pengelolaannya,” tutur Hariyadi.
Paket promo hemat - kombinasi harga rendah kamar hotel dan harga rendah tur kurang dapat dilaksanakan karena promosi lemah. Pasar mancanegara pun tak terlalu mengetahui promo ini kendati branding ‘wonderful indonesia’ cukup kuat di luar negeri. Selain itu, potensi MICE (meeting, incentives, conference, and exhibition) juga kurang tergarap optimal.
Masalah yang saat ini benar-benar menghantam dunia pariwisata adalah melambungnya harga tiket pesawat udara sejak Januari 2019. Hal ini dipicu maskapai Garuda Indonesia yang menghilangkan tiket promo yang mencapai 50 persen dari kapasitas tempat duduk. Semua tiket dibandrol harga normal sehingga harga tiket rata-rata naik 40 persen.
Maskapai swasta lain pun menerapkan bagasi berbayar. Hal ini membuat harga tiket maskapai Lion naik 40 persen.
Bergabungnya Sriwijaya Air dengan manajemen Garuda dan Citilink membuat di Indonesia hanya ada dua kelompok besar yang menguasai maskapai penerbangan, yakni kelompok Garuda Indonesia dan kelompok Lion.
“Sehingga sebetulnya kondisi ini sudah membentuk kartel dan merugikan masyarakat untuk mendapatkan harga tiket yang kompetitif,” tutur Hariyadi.
Bila ditanyakan pada maskapai penerbangan alasan harga tiket tinggi, maskapai akan menyebutkan harga avtur tinggi sebagai alasan. Harga avtur Indonesia lebih tinggi 20 persen dari harga internasional. Akibatnya, harga tiket maskapai luar lebih rendah dan masyarakat lebih memilih berlibur keluar negeri. Devisa negara pun ikut keluar.
Kondisi ini membuat berkurangnya perjalanan domestik masyarakat yang berimbas pada penurunan hunian hotel 20-40 persen. Omzet toko oleh-oleh penampung produk UMKM juga ikut turun. Mata rantai penyedia di hotel dan restoran seperti petani sayur, peternak ayam, UMKM dan lainnya pun ikut kena imbas masalah ini.
“Peran pemerintah untuk mengatasi ini diperlukan. Peran Pertamina yang memonopoli penjualan avtur sebaiknya diakhiri dengan memberi ruang pada perusahaan lain untuk menjual avtur dengan harga lebih kompetitif dan memberi izin perusahaan penerbangan baru atau perusahaan penerbangan regional untuk mencegah terjadinya kartel,” tutur Hariyadi.
Mengenai tiket pesawat mahal tersebut, Presiden Jokowi mengaku baru memahami masalah monopoli avtur tersebut.
“Saya terus terang kaget dan baru tahu dari Pak Chairul Tanjung mengenai avtur. Ternyata avtur yang dijual di Soekarno Hatta dimonopoli oleh Pertamina sendiri,” tuturnya.
Jokowi pun mengatakan segera mengundang Direktur Utama Pertamina, Selasa pagi esok untuk meminta supaya harga avtur sama dengan harga internasional. Bila hal itu tak bisa dilaksanakan, Presiden akan membuka ruang untuk perusahaan lain sebagai penyedia avtur. Dengan demikian, akan terjadi kompetisi. “Pilihan-pilihannya hanya itu,” ujar Presiden.
Seusai acara, Presiden menyampaikan dia meyakini banyak perusahaan akan mau menjadi penyedia avtur.
“Karena monopoli, harganya jadi tidak kompetitif. Bandingkan harga avtur di situ dengan yang dekat-dekat kita, terpaut 30 persen. Itu yang harus dibenahi. Kalau harganya sama dengan negara lain, ada daya saing. Kalau ini diterus-teruskan pengaruhnya ke harga tiket pesawat, karena harga avtur itu menyangkut 40% dari cost yang ada di tiket pesawat,” tutur Presiden.