JAKARTA, KOMPAS — Hoaks berkonten politik diprediksi akan mendominasi peredaran misinformasi dan disinformasi di media sosial menjelang Pemilu 2019. Oleh karena itu, literasi digital dan upaya penjernihan informasi perlu terus digencarkan untuk menekan dampak negatif disinformasi.
Ketua Komite Litbang Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Santi Indra Astuti menuturkan, Mafindo mulai memetakan hoaks berkonten politik pada semester kedua 2018 seiring dimulainya tahapan Pemilu 2019. Intensitas penyebaran hoaks, kata Santi, semakin terasa di media sosial pascapenetapan nomor urut calon presiden-calon wakil presiden pada September 2018.
Berdasarkan hasil kajian tim pengecekan fakta Mafindo, selama 2018 terdapat 997 hoaks yang beredar di masyarakat. Dari jumlah tersebut, 488 hoaks bertema politik. Setiap bulan, politik menjadi konten hoaks paling banyak ditemukan, setidaknya mencapai 26 hoaks.
Hoaks politik paling banyak beredar pada September, yakni mencapai 69 konten. Santi menyatakan, hal itu berkaitan dengan peristiwa politik, yakni penetapan nomor urut peserta Pilpres 2019. Atas dasar itu, katanya, kontestasi Pemilu 2019 telah memacu kehadiran hoaks bernuansa politik.
Ia mengungkapkan, target hoaks dominan ialah pemerintah dan kontestan pilpres. Konten hoaks itu bertema dukungan, pencitraan negatif, dan delegitimasi pemerintah.
”Gambaran itu memperlihatkan kesamaan peredaran hoaks dengan situasi sosial-politik di masyarakat. Kondisi pilpres membuat kedua pendukung capres-cawapres sama-sama mencari pengaruh dan berupaya menaikkan popularitas dengan saling mendiskreditkan pihak yang berseberangan,” ujar Santi, Senin (11/2/2019), saat dihubungi dari Jakarta.
Tidak hanya konten politik, pada masa kampanye Pemilu 2019, konten agama juga digiring menjadi komoditas politik. Santi mencontohkan, Oktober lalu, hoaks agama menyentuh titik tertinggi dengan 19 konten. Peningkatan jumlah itu tidak lepas dari isu pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid pada upacara peringatan Hari Santri di Limbangan, Garut, Jawa Barat.
”Peristiwa agama menghadirkan efek bola saljunya besar karena banyak rangkaian misinformasi dan disinformasi yang hadir. Ada yang dikaitkan dengan komunitas, dalil agama, tokoh agama, hingga afiliasi politik tokoh atau organisasi keagamaan tertentu,” katanya.
Penyebaran
Meskipun temuan hoaks oleh Mafindo paling banyak ada di platform Facebook, dengan jumlah 429 hoaks pada 2018, Santi mengingatkan, para pemangku kepentingan harus mengantisipasi kehadiran fenomena dark social. Dark social ialah kegiatan berbagi konten di kanal privat, seperti WhatsApp dan Line.
Sejauh ini, 114 konten hoaks telah disebarkan melalui WhatsApp. Menurut Santi, penyebaran hoaks di aplikasi pesan lebih sulit diantisipasi karena grup komunitas cenderung tertutup dan tidak terdeteksi.
”Para penyebar hoaks sudah memahami bahwa mereka telah dipantau di Facebook. Jadi, mereka lebih suka membuat grup pesan tertutup,” katanya.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Ferdinandus Setu mengungkapkan, selama 2018, pihaknya menerima 733 aduan konten hoaks di WhatsApp. Laporan itu mendominasi dari total 1.440 laporan konten negatif yang diterima dari masyarakat.
Oleh karena itu, Santi berharap, anggota grup pesan tertutup yang paham mengenai disinformasi harus menjadi penetral. Langkah itu bisa dilakukan melalui pemberian klarifikasi apabila ada hoaks yang disebarkan anggota lain di grup itu.
Selain itu, ia menambahkan, pihaknya merekomendasikan edukasi literasi digital yang perlu dilakukan seluruh pihak, terutama instansi atau lembaga pemangku kepentingan terkait dengan menggandeng komunitas.
Pendiri Kelas Muda Digital (Kemudi), Afra Suci Ramadhon, menekankan, tanggung jawab pendidikan melalui literasi digital juga perlu dilakukan oleh penyedia layanan media sosial, seperti Facebook, dengan menyasar seluruh pengguna. Upaya itu untuk mengimbangi langkah Facebook yang menghapus ratusan akun dan halaman yang terindikasi menyebarkan hoaks selama 2018.