Masa Depan di Segitiga Emas
MAJALENGKA, KOMPAS— Tiga daerah di Jawa Barat, yang diproyeksikan sebagai kawasan segitiga emas, berpotensi menjadi benteng industri dan produk tekstil. Keberadaan sejumlah infrastruktur yang akan dan telah dibangun serta upah minimum yang kompetitif dapat menjadi pemikat utama.
Daerah itu adalah Kabupaten Majalengka yang kini memiliki Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB), Kabupaten Subang yang bakal memiliki Pelabuhan Patimban, dan Kabupaten Cirebon yang sedang menyiapkan lahan seluas 10.000 hektar untuk kawasan industri.
Upah minimum kota/kabupaten (UMK) di tiga daerah itu terbilang kompetitif, antara Rp 1,79 juta dan Rp 2,73 juta. Semua keunggulan itu diharapkan mampu mencegah migrasi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang kini marak dari Jawa Barat ke Jawa Tengah.
Data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar, lima perusahaan garmen sudah pindah ke Jateng. Perusahaan itu adalah Libra Permana di Kabupaten Bogor, Sungintex (Kota Bekasi), Sahabat Unggul Internasional (Kota Bogor), Lucky Abadi (Kota Depok), dan Dream Sentosa (Karawang).
”Masa depan ekonomi Jabar ada di segitiga emas. Kami sedang membahas desain tata ruangnya, semester ini. Kawasan itu akan kami usulkan jadi kawasan ekonomi khusus (KEK),” ujar Gubernur Jabar Ridwan Kamil di Cirebon. Dengan status KEK, dana APBN dipastikan turun untuk kawasan itu. Perizinan juga bisa lebih ringkas.
Dari tiga daerah itu, Majalengka paling siap. Pemda setempat telah menyiapkan kluster industri TPT. Data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Majalengka 2017 menyebutkan, luas kluster itu 125 hektar di Kecamatan Kertajati.
Kluster itu berjarak sekitar 7 kilometer dari BIJB. Di sekitarnya terdapat kawasan industri dengan dukungan bandara (aerocity) seluas 3.480 hektar. Kluster itu dapat diakses lewat Jalan Tol Cikopo-Palimanan melalui Gerbang Tol Kertajati.
Tahun depan, BIJB akan terhubung dengan Jalan Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu). BIJB juga akan terkoneksi dengan jalur kereta api menuju Pelabuhan Patimban di Subang.
Dirancang berkapasitas 7,5 juta TEUs, Patimban akan meringankan beban Tanjung Priok, Jakarta. Jika Pelabuhan Patimban selesai tahun 2027, sekitar 50 persen aktivitas di Tanjung Priok diperkirakan akan beralih ke Patimban.
Kapling industri
Pemkab Majalengka mengalokasikan lahan 321 hektar untuk kapling industri di Kecamatan Palasah, sekitar 8 kilometer dari pusat pemerintahan Majalengka. Daerah itu telah menyiapkan Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor 11 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Dalam perda disiapkan lahan 12.500 hektar untuk kawasan industri, antara lain untuk industri TPT, agro, kimia, logam, mesin, transportasi, dan telematika.
”Majalengka siap jadi relokasi industri TPT,” ujar Kepala Bidang Pengembangan Penanaman Modal DPMPTSP Majalengka, Ridwan M Ramdhani.
Saat ini telah berdiri 10 pabrik TPT di Majalengka. Pabrik itu tersebar di Kecamatan Sumberjaya, Kasokandel, Dawuan, dan Jatiwangi. Pabrik TPT menyerap lebih dari 21.000 tenaga kerja. Tak hanya asal Majalengka, pekerja juga berasal dari Cirebon hingga Sumedang.
PT LYG Garment Indonesia membangun pabrik di lahan seluas 14.686 meter persegi di Desa Gunungsari, Kasokandel, Mei 2018. Sejumlah pabrik juga terus menambah kapasitas. PT Leetex Garment Indonesia di Dawuan yang berdiri pada 2010, misalnya, menambah gudang dan asrama di lahan seluas 13.655 meter persegi, Juli 2017.
”Ke depan, ekspansi industri TPT diprediksi akan terus bertambah. Kami telah menyiapkan kawasan industri. Investor tidak perlu pusing mencari lokasi,” ujar Ridwan.
Rumah masa depan
Ketua Apindo Jabar Deddy Wijaya mengatakan, kawasan segitiga emas adalah tempat paling tepat menjadi rumah masa depan TPT Jabar. Jika semua infrastruktur transportasi terbangun, beban biaya produksi industri bisa lebih rendah.
”Lahan di sana lebih murah. Jika di Karawang, Bekasi, atau Bandung pengusaha hanya bisa membeli 1 hektar lahan, di timur Jabar bisa mendapat 4 hektar,” kata Deddy.
Besaran UMK juga menjadi keuntungan lain. UMK Majalengka Rp 1,79 juta, paling tinggi di Subang Rp 2,73 juta. Ini lebih kompetitif bagi industri dibandingkan UMK di Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bekasi yang di atas Rp 4 juta. Besaran UMK Majalengka bahkan lebih rendah dari Kota dan Kabupaten Semarang, serta Kabupaten Jepara di Jateng, yang jadi relokasi pengusaha tekstil Jabar.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jabar Jusak Sulaiman menekankan kesiapan infrastruktur dan tenaga kerja di kawasan segitiga emas. Selain lahan pabrik, ketersediaan air, pengolahan limbah, dan tenaga kerja terampil harus ada. ”Tantangan utama adalah ketersediaan tenaga kerja terampil. Di Majalengka, misalnya, tenaga kerja masih didominasi sektor pertanian,” ujarnya.
Saat dihubungi, Senin, di Jakarta, Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi Kamar Dagang dan Industri Indonesia Sanny Iskandar mengatakan, keputusan pelaku industri sektor padat karya untuk berinvestasi atau merelokasi pabrik ke suatu daerah mempertimbangkan berbagai faktor. Salah satunya, selisih tingkat upah minimum antarwilayah.
”Faktor lain adalah kemampuan dan keseriusan pimpinan daerah dalam mengembangkan investasi industri manufaktur di wilayahnya,” katanya. Hal itu terkait kemudahan perizinan, dukungan keamanan, serta pembangunan sarana prasarana bagi kegiatan industri.
Daerah yang masih diminati antara lain koridor Subang, Garut, Majalengka, Indramayu, dan Cirebon di Jawa Barat; Sayung, Demak, Boyolali, dan Kendal di Jawa Tengah; serta daerah Malang dan sekitarnya di Jawa Timur.
Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Kadin Indonesia Anton J Supit, harus ada keseriusan pemerintah untuk melihat bahwa industri padat karya itu penting. Langkah berikutnya, memperbaiki iklim investasi, termasuk kepastian hukum, kebijakan kementerian teknis, dan isu ketenagakerjaan. ”Diharapkan ada reformasi ketenagakerjaan, antara lain revisi UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan,” katanya.
(SEM/IKI/TAM/RTG/CAS)