JAKARTA, KOMPAS - Masyarakat di Kepulauan Mentawai mulai menyiapkan hunian di tempat tinggi sebagai antisipasi terhadap gempa dan tsunami yang bisa datang sewaktu-waktu. Mereka juga telah melakukan simulasi evakuasi mandiri dengan skenario tsunami tiba dalam hitungan menit hingga skala desa. Hal ini bisa jadi inspirasi bagi daerah lain yang menghadapi risiko serupa.
"Sebanyak 1.476 warga dari 9 dusun di Desa Pasakiat Taileleu, Pulau Siberut telah mengikuti simulasi evakuasi mandiri pada Minggu (10/2/2019) siang. Dari simulasi ini, seluruh warga bisa tiba di titik evakuasi di perbukitan dalam kisaran 4 - 11 menit. Ini untuk mengantisipasi tsunami dengan estimasi kedatangan 5 - 10 menit setelah gempa," kata peneliti Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen) Rahma Hanifa, yang dihubungi dari Jakarta, Selasa (12/2).
Rahma merupakan salah satu akademisi yang selama sepekan terakhir berada di Kepulauan Mentawai untuk membantu menyiapkan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi gempa dan tsunami. Tim ini dibentuk oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) serta para penggiat kebencanaan.
Rahma mengatakan, ancaman gempa bumi dari patahan raksasa di segmen Mentawai dinilai semakin dekat menyusul dengan serangkaian gempa bumi di pinggiran zona ini pada tanggal 2 dan 5 Februari 2019. Sekalipun demikian, hingga saat ini gempa bumi belum bisa dipastikan akan terjadi.
Dekatnya pusat gempa dengan daratan di Kepulauan Mentawai membuat tsunami bisa datang sekitar lima menit setelah gempa. Oleh karena itu, evakuasi mandiri dengan menjadikan guncangan gempa sebagai sinyal untuk menjauh dari pantai menjadi pilihan paling memungkinkan untuk masyarakat di Mentawai.
"Guncangan gempa yang bisa jadi alarm bahaya bagi masyarakat bisa sangat keras dan membuat orang sulit berdiri, pola mengayun, dan dapat berguncang terus menerus selama 1 - 5 menit. Tsunami bisa datang saat guncangan masih berlangsung. Oleh karena itu, masyarakat sebaiknya evakuasi tanpa menunggu guncangan reda," kata Rahma.
Fery Irawan dari Direktorat Pemberdayaan Masyarakat BNPB mengatakan, simulasi di Desa Pasakiat Taileleleu ini berlangsung di tengah hujan deras. Namun, seluruh warga termasuk lanjut usia, anak-anak, hingga balita turut serta.
Menurut Fery, yang juga harus disiapkan adalah membangun kesiapan masyarakat untuk bertahan hidup setelah tsunami, mengingat keterisoliran Pulau Siberut. Secara tradisional masyarakat tradisional di Kepulauan Mentawai sebenarnya subsisten dengan pangan lokal berupa sagu dan keladi. Namun, belakangan mereka telah mengalami perubahan pola makan dan belakangan tergantung pada kiriman beras dari luar daerah.
"Antusiasme warga Taileleu untuk menerima risiko bencana dan berlatih menghadapinya bisa menjadi pembelajaran dan inspirasi bagi daerah lain yang juga menghadapi ancaman serupa. Sekarang tinggal bagaimana menjaga agar pengetahuan dan latihan ini berkelanjutan," kata Irina Rafliana dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Kepala Desa Pasakiat Taileleu Johari mengatakan, latihan evakuasi mandiri ini akan dilakukan rutin. Hal ini karena masyarakat telah menyadari risiko bencana di daerahnya. "Kami juga akan menggunakan sebagian dana desa untuk kegiatan pengurangan risiko bencana," kata dia.
Irina mengatakan, sebagian masyarakat di Kepulauan Mentawai juga telah membangun rumah-rumah sementara di atas perbukitan. Mereka juga menyimpan logistik yang sewaktu-waktu dibutuhkan jika terjadi bencana di rumah-rumah sementara. Selain ditemukan di Desa Pasakita Tailelue, hal ini misalnya ditemukan di Desa Saibi Samukop, Siberut Tengah dan Desa Malakoppa di Pagai Selatan.