J Galuh Bimantara/Helena F Nababan/Dhanang David Aritonang
·4 menit baca
Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum akhirnya menyelesaikan kerja selama setengah tahun untuk menghasilkan rekomendasi bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Rekomendasi terpilih dari tiga opsi yang diidentifikasi tim.
Tiga opsi tersebut adalah membiarkan kontrak selesai sampai dengan waktu berakhirnya tahun 2023, pemutusan kontrak kerja sama saat ini juga, dan pengambilalihan pengelolaan melalui tindakan perdata. Opsi terakhir disarankan Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum kepada Pemprov DKI dan itu jugalah yang dijalankan.
”Opsi itulah yang kami ikuti, jadi kami akan jalankan sesuai rekomendasi tim,” kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Senin (11/2/2019), saat mengumumkan keputusan pemprov soal pengelolaan air minum DKI.
Namun, bentuk realisasi opsi ketiga masih akan dipilih lagi yang paling cocok. Pilihannya, antara lain, membeli mayoritas saham swasta operator layanan air minum, menghentikan kerja sama sesuai perjanjian kerja sama (PKS), dan pengambilalihan pengelolaan sebagian.
Dalam pengelolaan air di Jakarta, sebanyak dua perusahaan bermitra dengan perusahaan daerah air minum DKI, PAM Jaya, melalui PKS 1998. Di dalam PKS itu kedua mitra swasta mendapat hak eksklusif mengelola dan mendistribusikan air minum ke warga di Ibu Kota. PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) mendapat bagian di wilayah barat Jakarta, sedangkan PT Aetra Air Jakarta (Aetra) di wilayah timur. Pembagi wilayah kerja keduanya adalah Kali Ciliwung.
Anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum dari Unsur Profesional, Tatak Ujiyati, menjelaskan, pertimbangan untung-rugi yang membuat tim mengerucut pada opsi ketiga. Jika membiarkan kontrak selesai sesuai kontrak dalam perjanjian kerja sama, pemprov tidak perlu mengeluarkan biaya atas pengambilalihan.
Namun, PAM Jaya, pemprov, dan pemerintah pusat punya beban keuangan jika status quo berlanjut sampai 2023 karena adanya jaminan keuntungan bagi kedua perusahaan dari Gubernur DKI dan Menteri Keuangan pada Desember 1997, terlepas dari baik-buruknya capaian kinerja perusahaan. Tingkat internal rate of return (IRR) yang sudah disepakati bagi keduanya 22 persen.
Untungnya, Aetra mau ”membantu” PAM Jaya dan pemprov mengurangi beban tersebut lewat revisi perjanjian dengan master agreement pada Juni 2012 antara PAM Jaya dan Aetra agar Aetra mau menurunkan tingkat IRR dari 22 persen menjadi 15,8 persen. Bahkan, jika masih ada kekurangan pembayaran jaminan keuntungan di akhir kontrak, Aetra tidak akan menuntut pembayaran.
Sayang, Palyja belum bersedia merevisi perjanjian soal jaminan keuntungan itu. ”Hingga 2023, dengan Palyja kita harus menanggung Rp 6,7 triliun,” kata Tatak.
Kerugian lainnya, menurut sesama anggota tim, Nila Ardhianie, target cakupan layanan 82 persen pada akhir 2023 akan sulit tercapai dengan meninjau capaian pelayanan oleh swasta selama 20 tahun terakhir. Pemerintah Provinsi DKI dan PAM Jaya pun sangat kesulitan memasukkan dana untuk membantu peningkatan pelayanan mengingat itu tanggung jawab swasta.
”Karena waktunya sudah tinggal empat tahun, kecil kemungkinan swasta mau berinvestasi dalam jumlah besar,” ujarnya.
Sementara itu, jika pemprov memilih opsi memutus kontrak secara sepihak saat ini juga, pemprov harus menanggung biaya terminasi yang besar seperti tercantum dalam PKS, yaitu Rp 1 triliun lebih. Meski demikian, biaya terminasi tersebut sebenarnya lebih kecil dibanding pilihan membeli saham Palyja dan Aetra dalam pengambilalihan melalui tindakan perdata.
Nila menuturkan, merujuk nilai pembelian saham pada 2017, nilai saham Palyja Rp 650 miliar, sedangkan saham Aetra Rp 1,2 triliun. Namun, pilihan ini berat karena Aetra juga punya utang lebih dari Rp 2 triliun. Utang tersebut akan beralih ke PAM Jaya jika menjadi pemilik 100 persen saham Aetra.
Meski demikian, menurut Nila, pemilihan opsi pemutusan kontrak secara sepihak berpotensi berdampak negatif pada iklim bisnis di Jakarta dan Indonesia. Karena itu, meski dari kajian awal beban keuangan pemutusan kontrak secara sepihak lebih kecil, opsi pengambilalihan lewat tindakan perdata tetap yang direkomendasikan.
Dengan begitu, masyarakat Jakarta masih harus bersabar lagi menanti realisasi pengambilalihan pengelolaan air. Itu karena dengan mengambil opsi ketiga, pemprov melalui PAM Jaya dan Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum yang diperpanjang tugasnya mesti melakukan negosiasi dengan dua mitra swasta itu.
Bambang Hernowo, Direktur Utama PAM Jaya, menjelaskan, sebagai bagian dari langkah pengambilalihan itu, dalam sebulan ke depan PAM Jaya mesti melakukan pembahasan dengan Aetra dan Palyja. Pembahasan akan meliputi poin-poin dalam PKS yang mesti direvisi. Juga langkah-langkah apa yang mesti dilakukan dan akan dimasukkan dalam head of agreement.