Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita kerap ditanya tentang kebijakan impor sejumlah komoditas pangan hingga ketersediaan bahan baku industri. Tidak hanya wartawan, calon wakil presiden nomor urut 2, Sandiaga Uno, pun beberapa kali bertanya tentang arah kebijakan itu.
Saat menghadiri Musyawarah Provinsi VII Kamar Dagang dan Industri Indonesia Jawa Barat di Cirebon, Kamis (7/2/2019), Enggartiasto menjawab kritikan itu dengan santai. ”Saya mengenal Pak Sandi (Sandiaga). Dia yunior saya di Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia),” ujarnya di hadapan sejumlah awak media.
Menurut Enggartiasto, impor dan ekspor dalam perdagangan internasional merupakan hal biasa. ”Dia (Sandiaga) dalam melakukan kegiatan usahanya juga ada ekspor dan impor. Enggak ada yang sensitif. Kita, kan, dagang,” lanjut pria asal Cirebon ini.
Menurut dia, saat ini, untuk industri tertentu mustahil tidak ada impor di Indonesia. Sebab, bahan bakunya memang tersedia di luar negeri. Di sisi lain, ekspor tidak dapat ditingkatkan jika impor bahan baku tidak dilakukan.
Dia mencontohkan, saat ini, Indonesia mengimpor kedelai hingga 98,3 persen dari kebutuhan konsumsi komoditas tersebut. Kebutuhan kedelai per tahun bisa mencapai lebih dari 2,5 juta ton. Sebagian besar bahan baku tempe dan tahu tersebut berasal dari Amerika Serikat.
”Kenapa impor? Tanah dan cuaca di negara itu lebih mendukung dibandingkan tanah dalam negeri,” ujarnya.
Meski demikian, produksi kedelai dalam negeri berdasarkan catatan Kementerian Pertanian terus meningkat. Tahun 2018, produksi diperkirakan mencapai 982.598 ton atau meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, 538.728 ton (Kompas, 5/12/2018).
Kasus serupa terjadi pada industri tekstil dan produk tekstil. Tahun lalu, industri padat karya di Jabar tersebut mengimpor kapas senilai 359,6 juta dollar AS atau naik hingga 78,5 persen dibandingkan tahun lalu.
”Jika impor bahan baku tersebut dihapuskan, apakah Jabar bisa hidup?” ujarnya.
Enggartiasto mengklaim, meskipun mengimpor sejumlah komoditas dan bahan baku industri tertentu, Indonesia masih mengalami surplus perdagangan untuk beberapa negara. Tahun lalu, Indonesia mengalami surplus dari India (8.761,8 juta dollar AS), Amerika Serikat (8,564,6 juta dollar AS), Filipina (5.873,6 juta dollar AS), Belanda (2.625 juta dollar AS), dan Pakistan (1.743,5 juta dollar AS). Meskipun demikian, dari lima negara tersebut, hanya Filipina yang mengalami kenaikan surplus neraca ekspor-impor dibandingkan tahun lalu.
Menurut Enggartiasto, pihaknya telah meminta kalangan dunia usaha agar menggunakan produk dalam negeri selama bisa diproduksi di Tanah Air dan harganya kompetitif dibandingkan produk luar negeri.
”Namun, saya tidak bisa melarang (untuk mengimpor) karena ada ketentuan WTO (World Trade Organization/Organisasi Perdagangan Dunia) yang telah mengaturnya,” ujarnya.
Pemerintah seharusnya tetap memprioritaskan penggunaan bahan baku lokal jika ingin membangun kemandirian bangsa.
Untuk itu, pihaknya terus berupaya meningkatkan perdagangan Indonesia melalui perundingan internasional. Tahun ini, dia menargetkan penyelesaian 12 perundingan internasional, seperti Indonesian-Europan Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) dan ASEAN Trade in Service Agreement (ATISA).
Pengamat ekonomi politik internasional dari Universitas Bosowa, Makassar, Zulkhair Burhan, menilai, pemerintah seharusnya memprioritaskan penggunaan bahan baku lokal jika ingin membangun kemandirian bangsa. Apalagi jika komoditas tersebut dapat diproduksi oleh petani. Sektor pertanian, lanjutnya, menjadi yang utama.
Menurut dia, selama ini terjadi perdebatan antara ketahanan pangan yang memastikan pangan tersedia terlepas apakah itu impor atau tidak dan kedaulatan pangan yang berdasarkan produksi dalam negeri. ”Ini soal komitmen politik pemerintah. Terkait perdagangan internasional, pemerintah dapat meninjau ulang kerja sama itu seberapa besar dampaknya pada perdagangan nasional,” ujar Zulkhair.
Mengutip buku Berebut Makan, Politik Baru Pangan karya Paul McMahon (2017), perang masa depan adalah bagaimana memberi makan 9 miliar mulut pada 2050. Yang mencengangkan, AS menjadi pengekspor bahan pangan terbesar meskipun penduduknya yang bekerja di sektor pertanian kurang dari 3 persen. Pelanggan terbanyak mereka adalah negara-negara miskin yang lebih dari tiga perempat masyarakatnya bekerja di sektor pertanian.
Kira-kira, Indonesia berada di posisi mana nantinya?