Jika harian Kompas menurunkan berita tentang perlunya mitigasi bencana (gempa dan tsunami) di sela-sela berita politik, setidaknya hal itu bertujuan ganda.
Pertama, agar pikiran kita tidak jenuh. Kedua, gempa dan tsunami itu bahayanya riil, bisa datang kapan pun, dan juga dalam skala yang sulit dibayangkan.
Tujuan pemberitaan bukan dalam konteks menakut-nakuti, melainkan agar kita semakin sadar dan waspada tentang bahayanya. Ibaratnya, ancaman gempa dahsyat merupakan a clear and present danger.
Seperti kita baca beritanya Senin (11/2/2019), dewasa ini ada delapan zona bahaya gempa yang sewaktu-waktu bisa melepas energi yang menurut proses keseimbangan alam hal biasa, tetapi berpotensi menghancurkan. Mengutip ahli gempa bumi dari ITB, Irwan Meilano, di antara zona tektonik yang menyimpan energi (untuk satu waktu dilepaskan) adalah subduksi di Selat Sunda dan selatan Jawa Barat, subduksi besar (megathrust) Mentawai, sesar darat Sumatera di segmen Aceh Besar-Banda Aceh, Laut Maluku, Laut Banda, dan sejumlah sesar darat di Sulawesi dan Papua.
Beberapa hal ingin kita garis bawahi. Pertama, meskipun skala gempa yang bersumber di sesar darat biasanya lebih kecil dibandingkan dengan megathrust Mentawai, dampaknya bisa sangat merusak karena ada di wilayah padat penduduk. Atas dasar itu, sebagaimana disampaikan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, melakukan pemantauan khusus terhadap kedelapan zona bahaya gempa di Indonesia. Di antara pertimbangannya, di zona-zona tersebut relatif jarang terjadi gempa, tetapi justru karena itu simpanan energinya masih besar.
Perhatian khusus juga disampaikan ahli gempa LIPI, Danny Hilaman Natawidjaja. Ia sampaikan, zona subduksi Selat Sunda hingga selatan Bali sudah mendekati siklusnya. Danny tidak menyebutkan waktunya. Namun, dia pernah memaparkan kemungkinan gempa besar di Aceh tahun 2004 yang mendekati siklusnya, yang sekitar 300 tahun.
Namun, Danny juga meminta kita memperhatikan zona gempa di Indonesia timur yang dalam sejarah pernah memicu tsunami besar di Ambon. Hal ini ada urgensinya karena pengetahuan kita terhadap kondisi di timur lebih sedikit dibandingkan dengan di wilayah barat.
Kita tertarik pada bagaimana para ahli membaca situasi yang tidak kasatmata ini. Di satu sisi digunakan teknologi mutakhir GPS (global positioning system) yang dengan ketelitian tinggi mendeteksi perubahan tata wajah permukaan bumi akibat pergerakan sesar. Di sisi lain mereka meneliti masa silam lapisan kerak bumi (paleogeologi) atau paleotsunami yang meneliti tsunami masa lalu.
Wacana semacam ini kiranya memacu generasi muda untuk terjun mendalami ilmu-ilmu ini. Namun, yang lebih urgen mempersiapkan diri khususnya menghadapi ancaman megathrust Mentawai dan di sekitar Selat Sunda.
Mengingat kerugian akibat bencana, moril ataupun materiil, bisa amat besar, tak ada kelirunya juga jika salah satu dimensi debat pilpres mencakup pula isu mitigasi bencana.