MLA dan Perpajakan Kita
Satu lagi langkah maju terayun. Indonesia dan Konfederasi Swiss baru saja menandatangani Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik. Perjanjian ini layak disambut hangat sebagai bentuk komitmen yang kuat akan transparansi, terlebih Swiss secara simbolis merupakan benteng kerahasiaan keuangan yang kokoh.
Meski membuka peluang bagi penuntasan kasus dan perburuan harta hasil kejahatan di masa lalu, pencapaian ini penting diletakkan sebagai tantangan untuk mengelola masa depan, khususnya perpajakan. Lantas apa makna Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik atau Mutual Legal Assistance Agreement (MLA) ini bagi perpajakan Indonesia pasca-amnesti pajak, khususnya berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 yang mengatur akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan?
Substansi dan konteks
Ketentuan tentang MLA mengatur cukup komprehensif hal dan kondisi yang dapat dimintakan bantuan timbal balik. Menurut UU No 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, bantuan timbal balik merupakan permintaan bantuan.
Permintaan bantuan ini berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk mengidentifikasi dan mencari orang, melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan, perampasan hasil tindak pidana, memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan dengan tindak pidana, melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita, dan mencari kekayaan yang dapat dilepaskan sehubungan dengan tindak pidana.
Bahkan MLA Indonesia-Swiss menganut prinsip retroaktif sehingga memungkinkan digunakan untuk tindak pidana yang terjadi sebelum perjanjian ditandatangani. Lantas apa implikasinya?
Sudah lazim diketahui, penghindaran pajak merupakan problem global yang sedang diperangi secara masif. Berbagai daya upaya diretas, mulai dari kerja sama antarnegara, inisiatif kelembagaan internasional dan regional, hingga langkah-langkah unilateral yang tak jarang membuat limbung tata perpajakan internasional. Toh, keberadaan suaka pajak (tax havens) tetap menarik.
Gabriel Zucman (2015), seorang ahli tentang suaka pajak terkemuka, mengungkapkan bahwa setidaknya 5,6 triliun dollar AS atau 10 persen dari produk domestik bruto (PDB) global ditempatkan di suaka pajak. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD, 2007) juga memperkirakan 5-7 triliun dollar AS kekayaan rumah tangga disimpan di luar negeri. Komposisinya, 10-19 persen ditempatkan di suaka pajak di Amerika, 20-32 persen di suaka pajak di Asia, dan 32-39 persen ditampung di suaka pajak di Eropa. Swiss menjadi tujuan favorit karena tak kurang dari 2,6 triliun dollar AS atau 45 persen dana offshore diraup meski jumlah ini terus menurun setelah terbukanya beberapa skandal penghindaran pajak di perbankan Swiss sejak 2001, menjadi hanya sekitar 28 persen.
Lebih lanjut, Zucman mencatat beberapa negara yang penduduknya memiliki porsi besar simpanan di Swiss adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Spanyol, Perancis, Belgia, Argentina, Venezuela, Mesir, dan Jordania. Sementara Denmark, Norwegia, Swedia, Jepang, Korea, India, dan China memiliki porsi relatif kecil. Penduduk di negara-negara di luar itu cenderung memanfaatkan suaka pajak di luar Swiss, terutama di Amerika, Eropa, dan Asia.
Untuk Indonesia sendiri hal ini setidaknya terkonfirmasi dengan data amnesti pajak. Berdasarkan data negara asal deklarasi harta luar negeri dan repatriasi yang mencapai Rp 1.100 triliun, tercatat Singapura menempati urutan pertama dengan Rp 825 triliun, British Virgin Islands Rp 82 triliun, Hong Kong Rp 73 triliun, Cayman Islands Rp 70 triliun, dan Australia Rp 43 triliun.
Cukup mengherankan, Swiss tidak termasuk lima besar negara asal deklarasi dan repatriasi. Data bocoran skandal pajak Panama Papers dan Paradise Papers juga menunjukkan bahwa sebagian besar orang Indonesia menyimpan dana dan memanfaatkan Bahama, British Virgin Islands, dan Cayman Islands. Data Swissleaks yang merupakan bocoran HSBC Swiss hanya mengungkap simpanan senilai 143 juta dollar AS milik 74 warga negara Indonesia.
Memperjelas arah
Lalu, apa arti penting MLA dengan Swiss bagi perpajakan Indonesia dan tindakan apa yang harus dilakukan? Prinsip retroaktif dalam MLA sangat berkaitan dengan UU No 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang membuka akses terhadap harta yang diperoleh sejak 1 Januari 1985.
Maka, beberapa tindakan konkret harus segera diambil. Pertama, memastikan akurasi. Akurasi jumlah kekayaan orang Indonesia di Swiss perlu dipastikan terlebih dahulu guna menghindari simpang siur dan optimisme berlebihan, apalagi tak semua penggunaan suaka pajak adalah kejahatan. Jika merujuk pada penelitian Tax Justice Network (2010), jumlah kekayaan orang Indonesia di luar negeri mencapai 331 miliar dollar AS atau sekitar Rp 4.600 triliun. Apabila dikurangi dengan Rp 1.100 triliun harta yang sudah diikutsertakan dalam amnesti pajak, berarti masih ada sekitar Rp 3.500 triliun harta yang disimpan di luar negeri.
Secara indikatif, jika menggunakan estimasi Zucman, maka ada sekitar Rp 980 triliun. Global Financial Integrity (2014), sebuah lembaga investigasi keuangan, menengarai setidaknya 10,9 miliar dollar AS aliran dana ilegal keluar dari Indonesia setiap tahun. Kalkulasi ini dapat dijadikan titik tolak pemetaan dan tindak lanjut.
Kedua, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian segera melakukan penandingan data dan profiling yang bersumber dari Panama Papers, Paradise Papers, Swissleaks, dan informasi dari Automatic Exchange of Information (Otomatisasi Keterbukaan Informasi/AEoI) dengan data amnesti pajak dan Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak.
Jika terdapat selisih, Ditjen Pajak dapat menggunakan Pasal 18 UU Pengampunan Pajak dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 165/ PMK.03/2017 untuk menindaklanjuti. Wajib pajak dapat diimbau untuk memanfaatkan pengungkapan aset sukarela dengan tarif final (PAS Final). Jika tidak memanfaatkan, Ditjen Pajak dapat melakukan pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan. Pada titik inilah MLA menjadi relevan dan signifikan karena hanya akan efektif jika terjadi pelanggaran hukum pidana dan terdapat proses hukum.
Ketiga, untuk memperkuat penegakan hukum, segera setelah MLA diratifikasi menjadi UU oleh DPR, dapat dimanfaatkan dengan menindaklanjuti kerja sama dengan Pemerintah Swiss. Koordinasi dan sinergi kelembagaan penting dilakukan sejak awal terutama untuk mengidentifikasi adanya tindak pidana lain, seperti korupsi atau pencucian uang, bahkan apabila sudah ada putusan pengadilan yang inkracht akan mempermudah tindak lanjut. Ketiga jenis tindak pidana ini saling erat terkait dan memiliki kecenderungan menggunakan modus yang sama, yaitu memanfaatkan keberadaan negara suaka pajak. Gugus tugas yang efektif dan memiliki daya terobos harus segera dibentuk.
MLA Indonesia dengan Swiss tentu merupakan langkah maju meskipun untuk mewujudkan pengejaran aset ilegal tak semudah membalik telapak tangan. Lebih penting adalah menempatkannya sebagai batu penjuru bagi komitmen transparansi tanpa pandang bulu di masa mendatang. Seluruh bangunan kebijakan, aturan, dan sistem administrasi dilandasi transparansi dan akuntabilitas. Penghindaran pajak yang mengabaikan etika publik dan melanggar hukum harus menjadi musuh publik karena menggerogoti daya untuk mencapai kemajuan.
Selanjutnya, MLA ini adalah batu uji dari serangkaian hambatan sinergi di masa lalu. Tidak boleh justru menjadi sandungan karena menambah birokrasi dan hantu baru bernama koordinasi. Meski harus dibuktikan, sangat mungkin Swiss masih jadi lumbung penimbunan harta orang Indonesia yang kemungkinan mengalami dilema memulangkan harta selama amnesti pajak karena khawatir tiadanya jaminan perlindungan di masa mendatang.
Perang baru saja dimulai, dan kita punya dua senjata baru: AEoI dan MLA. Alih-alih berpuas diri dengan penandatanganan MLA ini, konsistensi dan
komitmen pemerintah diuji sehingga langkah awal ini terayun pasti. Tak sekadar jatuh dalam retorika angka-angka, uji nyali yang sesungguhnya adalah
kesediaan menanggalkan ego sektoral untuk bersinergi demi kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia. Kiranya ini menjadi kegelisahan berkepanjangan dan mimpi buruk bagi para pengemplang dan penumpang gelap pembangunan.
Yustinus Prastowo Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Jakarta