Helena F Nababan/J Galuh Bimantara/Dhanang David Aritonang
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengelolaan air bersih di Jakarta dalam 20 tahun terakhir tetap belum beres meski dipegang dua perusahaan swasta mitra PAM Jaya. Ketua DPRD DKI meminta supaya DKI bersikap tegas mengambil alih pengelolaan.
Prasetio Edi Marsudi, Ketua DPRD DKI Jakarta, Senin (11/2/2019), menegaskan, DKI Jakarta seharusnya mengelola sendiri air bersih untuk warga. Ia menyatakan, dalam 20 tahun terakhir, kerja sama pengelolaan dan pendistribusian air di Jakarta oleh PAM Jaya dan dua mitra swasta, yaitu PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra), tidak maksimal.
Itu dilihat dari cakupan layanan dan jaringan perpipaan yang baru mencapai 59,4 persen pada 2017. Padahal, dalam perjanjian kerja sama (PKS) antara ketiganya yang berlangsung mulai 1998 sampai dengan 2030 atau 25 tahun, ditargetkan dalam kurun waktu itu cakupan mencapai 82 persen.
Sementara, saat PKS dimulai pada 1998, situasi cakupan layanan di Jakarta oleh PAM Jaya mencapai 44,5 persen. Artinya, dalam 17 tahun terakhir, penambahan cakupan layanan oleh dua mitra swasta 14,9 persen.
Prasetio menegaskan, pengambilalihan harus segera, bahkan jika perlu, kontrak diputus saat ini juga meski akan berkonsekuensi pada kewajiban pemprov membayar penalti. ”Kalaupun penalti, ya, sudah tidak apa-apa kita bayar. Tidak usah takut banget. Toh, daripada uang kita silpa (sisa lebih penggunaan anggaran),” katanya.
Sementara Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam konferensi pers terkait evaluasi tim tata kelola air mengatakan, pemprov memang akan mengambil alih. Namun, langkah itu akan didahului dengan pembahasan antara PAM Jaya dan tim tata kelola air dengan Aetra dan Palyja untuk mencapai kesepakatan bersama.
Tim evaluasi tata kelola air merupakan tim yang dibentuk Anies Baswedan setelah ada keputusan MA pada 2017 atas gugatan masyarakat. MA memutuskan supaya swastanisasi air di Jakarta dihentikan.
Untuk memutuskan swastanisasi itulah, tim dibentuk dan bekerja selama enam bulan yang masa tugasnya berakhir 10 Februari 2019. Pertama tim melakukan evaluasi atas kinerja PAM dan dua mitra swasta kemudian memberi rekomendasi.
Dalam konferensi pers Senin siang kemarin, Anies menyatakan, Pemprov DKI hendak mengambil alih pengelolaan air di Jakarta. ”Langkah pengambilalihan menjadi penting. Tujuannya adalah mengoreksi kebijakan perjanjian yang dibuat pada masa Orde Baru tahun 1997. Dan kita tahu selama 20 tahun perjanjian ini pelayanan air bersih di Ibu Kota tidak berkembang sesuai dengan harapan,” katanya.
Layanan oleh swasta itu, menurut Anies, bermasalah. Sebab, karena swasta memiliki hak eksklusivitas dalam investasi dan pengelolaan, pemerintah tidak memiliki wewenang untuk meningkatkan pelayanan pengelolaan air.
Dalam PKS tersebut juga disebutkan negara memberikan jaminan keuntungan 22 persen kepada dua mitra swasta. Pada 5 Juni 2012, Aetra dan PAM Jaya merevisi perjanjian denhan master agreement untuk menurunkan tingkat IRR dari 22 persen menjadi 15,8 persen. Disebutkan juga, apabila ini tidak terbayarkan pada akhir perjanjian, tidak akan menuntut pemenuhan pembayaran. Penyesuaian itu tidak terjadi di Palyja.
Anies melanjutkan, dari kajian komprehensif tim evaluasi, ada tiga pilihan kebijakan. Namun, pemprov memilih melakukan satu pilihan dari tiga pilihan kebijakan itu.
Nila Ardhianie, Direktur Amrta Institute yang juga Tim Evaluasi Tata Kelola Air Jakarta, menjelaskan, dari kajian yang dilakukan, tim menyimpulkan bahwa memang perjanjian kerja sama yang ditandatangani 6 Juni 1997 itu memang tidak seimbang. Jadi perjanjiannya bukan perjanjian yang adil, jadi berat sebelah. Cukup banyak hal yang memberatkan PAM Jaya dan juga pada akhirnya nanti pemprov, masyarakat, juga pemerintah pusat sebetulnya.
Itu sebabnya, pemprov perlu melakukan pengambilalihan pengelolaan PAM Jaya.
Anies melanjutkan, terkait pengambilalihan itu, ia menugasi Direktur Utama PAM Jaya dan tim tata kelola untuk memulai pembahasan dengan dua mitra swasta itu. Dalam waktu sebulan ke depan, ia meminta Dirut PAM Jaya dan tim tata kelola untuk menyusun head of agreement sebelum ada kesepakatan.
”Jadi itu nanti mengatur agendanya apa saja, yang diatur apa saja, yang akan dibicarakan apa saja. Sehingga ada kesepakatan atau road map. Kesepakatan atau road map ini bisa kita pegang sama-sama sebagai komitmen bersama bahwa di sini kita akan membahas A, B, C, D, E, F, G. Gitu kira-kira. Jadi kesepakatan agenda utama,” papar Anies.
Priyatno Bambang Hernowo, Direktur Utama PAM Jaya, menjelaskan, untuk penyusunan head of agreement tersebut bisa jadi nanti akan memunculkan revisi dalam perjanjian kerja sama.
Terpisah, Direktur Operasional Aetra Lintong Hutasoit belum mau menanggapi langkah DKI. Adapun Lydia Astriningworo, Corporate Communication and Social Responsibility Division Head Palyja, belum merespons permintaan konfirmasi Kompas.
Prasetio lebih lanjut berkomentar, pembahasan-pembahasan pengambilalihan seperti yang hendak dilakukan Anies itu akan memperpanjang proses. Sebelumnya upaya serupa sudah pernah dilakukan. Proses yang dimaksud adalah mulai dari penyertaan modal kepada PAM Jaya untuk memulai pengambilalihan, tetapi kemudian tidak berjalan.
Lalu PAM Jaya saat masih dipimpin Erlan Hidayat juga sempat memulai restrukturisasi PKS pengelolaan air minum di Jakarta. Proses sudah dimulai September 2017 dan dijadwalkan tuntas Maret 2018.
Namun, saat perjanjian restrukturisasi PKS hendak dilakukan di pekan terakhir Maret 2018, lalu dibatalkan Anies dengan alasan ia belum menerima surat terkait itu.