Pemerintah Perlu Kaji Ulang Kebijakan Penyaluran Stok Beras Bulog
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana mengalihkan bantuan sosial beras sejahtera ke bantuan pangan nontunai. Akibatnya, mekanisme penyaluran stok cadangan beras pemerintah yang dikelola Perum Bulog akan berkurang satu kanal.
Dalam mengelola cadangan beras pemerintah (CBP), pemerintah menugaskan Bulog dalam hal pengadaan di hulu. Hilirnya, Komisioner Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan, Bulog mendapatkan penugasan penyaluran CBP melalui dua kanal, yakni mekanisme operasi pasar (OP) dan bantuan sosial beras sejahtera (bansos rastra).
Dengan adanya peralihan penyaluran bansos rastra menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT), kanal yang optimal dalam menggelontorkan stok hanya OP. ”Dalam hal ini, pemerintah mesti merumuskan kebijakan yang melindungi Perum Bulog dalam mengelola disposal stock,” ujar Alamsyah saat dihubungi, Selasa (12/2/2019).
Berkurangnya kanal penyaluran CBP Bulog tersebut berimbas pada bertambahnya stok yang ada di gudang Bulog. Alamsyah berpendapat, semakin lama beras disimpan di gudang, kualitasnya akan semakin menurun sehingga nilai ekonominya berkurang.
Padahal, sebagai stabilitator harga beras, pengadaan dan pemasukan CBP ke gudang Bulog terus berjalan. Apabila tidak diantisipasi dengan adanya kebijakan disposal stock, Alamsyah mengatakan, Perum Bulog berpotensi merugi.
Oleh karena itu, Alamsyah menilai, pemerintah penting terlibat dalam merumuskan kebijakan pengelolaan disposal stock oleh Perum Bulog lewat instrumen hukum di tingkat menteri, menteri koordinator, atau presiden. ”Misalnya, saat Perum Bulog memutuskan memusnahkan CBP sebagai bentuk pengelolaan disposal stock, jangan sampai digolongkan sebagai tindak pemusnahan aset negara,” katanya.
Adapun saat ini regulasi yang terkait dengan disposal stock adalah Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan CBP. Permentan tersebut menyatakan, pelepasan CBP dilakukan jika telah melampaui batas waktu simpan minimal 4 bulan. Pelepasan CBP dilakukan melalui penjualan, pengolahan, penukaran, atau hibah.
Dalam melepas CBP, Perum Bulog harus membuat permohonan kepada menteri terkait. Setelah itu, surveyor akan datang ke gudang Bulog dan memverifikasi permohonan tersebut. Jika terverifikasi, menteri terkait mengajukan usulan pelepasan CBP untuk dibahas di rapat koordinasi terbatas (rakortas) di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Meskipun demikian, Alamsyah berpendapat, Permentan Nomor 38 Tahun 2018 tersebut hanya cocok menjadi payung hukum sementara. ”Aturan ini belum memuat proses hilirisasi serta kriteria, prasyarat, dan dampak nilai ekonomi untuk pemusnahan secara terperinci. Selain itu, pengambilan keputusan masih di tingkat rakortas sehingga dalam pelaksanaan keputusannya masih berpotensi menimbulkan keraguan bagi pihak-pihak terkait,” tuturnya.
Senada dengan Alamsyah, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa berpendapat, pemerintah tidak dapat lepas tangan perihal disposal stock CBP yang dikelola Perum Bulog. Menurut dia, pengadaan beras dari hulu ke hilir turut menjadi tanggung jawab pemerintah.
Dwi mengatakan, pemerintah seharusnya tak hanya menuntut Perum Bulog dalam mengadakan CBP untuk stabilisasi harga. ”Saat ini, pengadaan CBP yang ada di gudang Bulog sudah menimbulkan dampak psikologis pasar terhadap harga beras. Namun, stok tersebut kini berpotensi mengalami penumpukan berlebih akibat kanal penyalurannya berkurang. Penumpukan ini berisiko pada kerugian. Oleh karena itu, pemerintah perlu turun tangan,” tuturnya.
Sejak Januari hingga April 2019 nanti, Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan, pihaknya ditugaskan pemerintah untuk menyalurkan bansos rastra sebesar 213.000 ton kepada 5,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM) yang tersebar di 295 kabupaten. Setelah itu, bansos rastra beralih ke BPNT.
Perum Bulog masih mendapatkan peran untuk menyalurkan beras dalam kerangka BPNT, tetapi bersama dengan pihak penyalur beras lainnya. ”Kami berkoordinasi dengan Kementerian Sosial dan himpunan bank negara yang turut bertanggung jawab terhadap BPNT, kalau (beras dari) Bulog dibutuhkan,” kata Tri.
Artinya, jika jumlah beras di tempat penyaluran kepada KPM (seperti e-warong) tidak cukup, Perum Bulog yang mengamankan. Oleh karena itu, Tri mengharapkan adanya kepastian kanal penyaluran lainnya berdasarkan penugasan pemerintah.
Perum Bulog mencatat, sepanjang 2018, sebanyak 1,2 juta ton CBP disalurkan untuk bansos rastra. Stok CBP awal tahun 2019 berada di angka 2,1 juta ton, sedangkan target pengadaan dari penyerapan beras dalam negeri sebesar 1,8 juta ton. Tri mengatakan, kapasitas gudang Perum Bulog saat ini 3,9 juta ton.
Bisnis Bulog
Melihat tertutupnya kanal penyaluran CBP melalui bansos rastra, Tri mengatakan, Perum Bulog tengah mengkaji model bisnis baru. Model penyaluran dan pengelolaan ini akan berorientasi pada komersial.
Sebagai badan usaha, Alamsyah menyarankan Perum Bulog memperkuat bisnis logistik pangan. Hal ini menuntut Perum Bulog menanamkan modalnya untuk pabrik penggilingan beras modern, gudang, dan pengeringan.
Sebagai badan usaha, Perum Bulog disarankan memperkuat bisnis logistik pangan.
Langkah ini juga turut memperkuat bisnis beras premium Perum Bulog yang saat ini sudah berjalan. ”Dengan demikian, Perum Bulog berpotensi jadi pemain bisnis komoditas pangan utama di Indonesia,” ucap Alamsyah.
Secara umum, Dwi menilai, peralihan bansos rastra ke BPNT menjadi transformasi kultur bisnis Perum Bulog. Selama ini, fungsi Perum Bulog sebagai stabilisator harga beras lebih terlihat dibandingkan fungsi bisnisnya.
Terkait dengan rencana ekspor beras, Dwi berpendapat, realisasinya hampir mustahil lantaran perbedaan harga. Berdasarkan data yang dihimpunnya, harga beras premium di tingkat internasional sekitar Rp 5.600 per kilogram, sedangkan harga di Indonesia di atas Rp 10.500 per kg.