Pemetaan dan Pemberdayaan Jadi Kunci Optimalisasi Sektor Kelautan
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemanfaatan dan pengelolaan hasil laut Indonesia belum maksimal. Sejumlah kalangan menilai, pemetaan, pemberdayaan masyarakat serta pembangunan menjadi kunci dalam memberi nilai tambah ekonomi. Maka, siapa pun yang terpilih dalam pemilihan presiden 2019, harus kembali menaruh fokus untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
“Kami mencatat selama tahun 2018, hasil pengelolaan laut Indonesia hanya mampu berkontribusi sekitar 30 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini terbilang rendah jika dibandingkan dengan negara lain yang luas lautnya lebih kecil dari Indonesia, yaitu Jepang, Korea Selatan, dan Vietnam,” kata Ketua Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar dalam diskusi publik tentang Menakar Komitmen Capres 2019-2024 bertemakan "Masihkah Laut menjadi Poros Maritim Bangsa?" di Jakarta, Selasa (12/2/2019).
Padahal, potensi nilai ekonomi dari kelautan mencapai hingga 1,5 triliun dollar AS per tahun atau 1,5 kali PDB. Selain itu, berpotensi menciptakan lapangan kerja bagi 45 juta orang atau 35 persen total angkatan kerja. (Kompas, 8 Januari 2019)
Lebih lanjut, Bustar menyampaikan, melalui diskusi ini diharapkan adanya komitmen yang kuat dari kedua pasangan capres-cawapres untuk melindungi laut dan masyarakat pesisir.
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi ini, yaitu Ketua Tim Kebijakan Kelautan Nasional, Son Diamar; Kepala Divisi Program Kebijakan dan Ekonomi Kelautan Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Ekonomi Kelautan IPB, Yudi Wahyudin; Dewan Presidium Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Sukarman; serta Influencer dari Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma\'ruf Amin, Rusdinal Salim.
Pemetaan
Dalam program aksi ekonomi maritim dari kedua pasangan capres-cawapres, salah satunya menyebut tentang pemetaan wilayah laut. Son mengatakan, hal ini penting sebab pengelolaan wilayah dan tata ruang laut masih menjadi persoalan.
Program aksi ekonomi pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin salah satunya akan menegakkan kedaulatan, termasuk penuntasan batas wilayah laut dengan negara-negara tetangga, menjaga wilayah laut dari setiap rongrongan kedaulatan, pemberantasan illegal fishing dan berbagai kegiatan ilegal lainnya. Sementara pasangan Prabowo-Sandi menyatakan, akan membuat peta maritim nasional.
“Dalam penetapan batas wilayah laut, penting untuk menetapkan batas laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif. Selain itu, pengelolaan tata ruang laut berarti memanfaatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” papar Son.
KIARA mencatat, sejak 2015 sampai dengan akhir 2018, telah ada empat belas provinsi di Indonesia yang telah memiliki Peraturan Daerah terkait Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi (RZWP3K-P).
Dalam penetapan batas wilayah laut, penting untuk menetapkan batas laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif
Menurut Sukarman, pembuatan perda ini dapat menjadi pintu masuk bagi pemodal untuk mengeksploitasi wilayah pesisir. Selain itu, melemahkan posisi masyarakat pesisir dan nelayan yang sejatinya adalah pemegang hak konstitusi dari sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Perda ini sejalan dengan izin, pengeloaan, dan zonasi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kelemahannya, aturan ini menimbulkan perdebatan tata ruang dan zonasi pesisir.
“Sebab, secara fakta, abrasi, rob sudah sampai pada kampung nelayan. Kalau kemudian terjadi semacam itu, maka tambak yang seharusnya masuk wilayah daratan menjadi masuk wilayah pesisir. Itu menjadi pintu masuk atau celah bagi para pemodal untuk mengeksploitasi wilayah pesisir,” papar Sukarman.
Kasus ini pernah terjadi di wilayah pesisir Kota Semarang dengan panjang pantai 22,71 kilometer. Dengan adanya perda ini, Sukarman mengatakan, pemilik modal berhasil menguasai 60 persen wilayah pesisir, sementara masyarakat hanya 40 persennya.
“Kami menilai pemerintah masih mementingkan semangat industri perikanan, bukan semangat memberikan hak akses terhadap sumber daya laut bagi masyarakat pesisir dan nelayan,” ujar Sukarman.
Nilai tambah
Melihat keadaan ini, Sukarman menegaskan, guna melindungi perekonomian masyarakat pesisir dan nelayan, maka pemerintah harus memprioritaskan dan mempertahankan ruang-ruang kantong produk perikanan. “Pemberdayaan masyarakat lokal menjadi kunci utama dalam memberi nilai tambah bagi produk perikanan,” ujarnya.
Terkait hal ini, program aksi ekonomi maritim dari pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin mengatakan, pembangunan ekonomi kelautan bertujuan untuk meningkatkan daya saing, pertumbuhan ekonomi berkualitas, dan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan. Sementara pasangan Prabowo-Sandi menyatakan, akan membangun pusat pertumbuhan ekonomi kelautan berbasis pulau kecil dan kota pantai.
Dalam kesempatan yang sama, Yudi menyampaikan hal senada. Menurutnya, ketika pemberdayaan dijadikan sebagai ujung tombak, maka produksi akan hadir dari masyarakat sendiri. Selain itu, akan menghasilkan pendapatan ekonomi kelautan yang lebih tinggi.
“Misalnya rumput laut, turunan produknya kan banyak. Maka, jangan rumput laut dijual langsung tanpa ada proses pengolahan. Pemerintah perlu menghadirkan industri yang sesuai dengan kapasitas mereka. Salah satunya, bisa dibuat menjadi keripik sehingga ada nilai tambah lokal,” ujar Yudi.
Ketika sudah ada industri lokal, maka persoalan berikutnya terkait dengan infrastruktur kelautan. Dalam hal ini, fasilitas yang dibutuhkan adalah pelabuhan, tentu pelabuhan yang dibangun adalah pelabuhan yang menjadi pusat. Namun, harus ada konektivitas lain hingga ke daerah terpencil untuk mencapai industri lokal.
“Sebab, laut adalah masa depan bangsa untuk kesejahteraan masyarakat bukan semata kesejahteraan pengusaha atau pemodal. Untuk mencapainya, maka perlu membangun industri berbasis lokal yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat,” tutur Yudi.