SIDOARJO, KOMPAS - Produksi rumput laut di wilayah pesisir Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur anjlok hingga 50 persen selama musim hujan. Kondisi air cenderung tawar sehingga pertumbuhan rumput laut kurang optimal. Hal ini diperparah dengan ancaman banjir rob.
Penyuluh Perikanan Kecamatan Jabon, Agus Triyono mengatakan banyak faktor yang menghambat pengembangan rumput laut di wilayahnya. Selain keterbatasan pengetahuan nelayan dan petambak, juga kondisi lingkungan, terutama salinitas air yang kerap berubah sehingga menganggu pertumbuhan tanaman.
“Rumput laut jenis Gracilaria sp yang dibudidayakan petambak Sidoarjo perlu air payau dengan kadar garam 20-30 persen. Dalam kondisi kadar garam terlalu rendah atau terlalu tinggi, tanaman tidak bisa tumbuh baik,” ujar Agus, Selasa (12/2/2019).
Petambak rumput laut Desa Kupang, Kecamatan Jabon, Mustofa mengatakan, saat musim hujan seperti saat ini, kondisi air tambak cenderung tawar. Pertumbuhan rumput laut pun kurang maksimal sehingga hasil panen minim. Dalam kondisi normal, satu hektar tambak bisa menghasilkan 56 ton rumput laut basah atau sekitar 7 ton rumput laut kering.
“Namun, saat ini, penurunan hasil panen bisa sampai 50 persen. Apalagi sempat terjadi banjir rob yang disebabkan oleh pasang air laut beberapa waktu lalu,” kata Mustofa.
Saat ini, penurunan hasil panen bisa sampai 50 persen. Apalagi sempat terjadi banjir rob yang disebabkan oleh pasang air laut beberapa waktu lalu
Kendala lain yang dihadapi pembudidaya rumput laut pada musim hujan seperti ini adalah pengeringan. Minimnya sinar matahari menyebabkan petani kesulitan mengeringkan rumput laut hasil panen. Akibatnya, rumput laut yang dijual berkadar air tinggi sehingga harganya kurang bagus di pasar.
Sebagai gambaran, rumput laut dengan kualitas bagus harganya bisa mencapai Rp 7.000 per kg. Adapun rumput laut dengan kadar air di atas 20 persen harganya hanya Rp 4.000 per kg. Pemerintah pusat telah memberikan bantuan mesin pengering, tetapi hasilnya kurang maksimal. Selain itu, kapasitas mesin pengering sangat terbatas sehingga tidak berbanding lurus dengan hasil panen.
Kondisi tersebut sangat disayangkan karena budidaya rumput laut potensial dikembangkan sebagai penopang ekonomi masyarakat nelayan dan petambak. Dari sedikitnya 2.300 hektar lahan tambak yang prospektif ditanami rumput laut, baru 900-an hektar dimanfaatkan.
Di Kecamatan Jabon, terdapat tiga desa yang potensial untuk budidaya rumput laut yakni Kupang, Kedungpandan, dan Permisan. Potensi tambak di Desa Kupang seluas 1.200 hektar (ha), sedangkan Kedungpandan 1.100 ha, dan Permisan 40 ha.
Adapun luas area budidaya rumput laut di Desa Kupang mencapai 720 ha, Kedungpandang seluas 150 ha, dan Desa Permisan 40 ha. Jumlah petambak dan nelayan yang membudidayakan sebanyak 400 orang dengan teknik budidaya tradisional.
Budidaya rumput laut dilakukan dalam tambak bandeng dan udang vaname. Petambak hanya sekali menebar benih rumput laut. Setelah berusia 1,5-2 tahun, rumput laut bisa dipanen setiap 1,5-2 bulan sekali. Cara pemanenan pun mudah karena tinggal dipotong dan rumput laut akan tumbuh lagi.
Untuk pemasaran, pembudidaya rumput laut biasanya menjual hasil panen yang telah dikeringkan kepada pengepul atau melalui kelompok tani. Selanjutnya, para pengepul menjual ke pabrik pengolahan rumput laut di Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Pasuruan, maupun Kota Surabaya.
Usaha pengolahan rumput laut kering skala rumah tangga mulai dirintis oleh kelompok ibu-ibu petambak di Desa Kupang. Namun skala usahanya masih kecil sehingga serapan terhadap produk petani juga masih rendah. Apalagi, produksi rumput laut kering saat musim kemarau bisa mencapai 600 ton per bulan.
Apabila petambak bisa membudidayakan tiga komoditas ini secara bersama-sama, hasil yang diperoleh akan mampu meningkatkan taraf ekonomi.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sidoarjo Muhammad Sholeh mengatakan pihaknya terus mengedukasi petambak dan nelayan tentang budidaya rumput laut agar mereka bisa mendiversifikasi usaha untuk meningkatkan kesejahteraan.
Rumput laut bisa dipanen lebih cepat dengan risiko gagal panen rendah. Sementara bandeng butuh waktu enam bulan. Untuk udang vaname, masa panennya harus menunggu tiga bulan namun risiko gagal panennya tinggi karena rentan terhadap serangan penyakit dan perubahan lingkungan.
Apabila petambak bisa membudidayakan tiga komoditas ini secara bersama-sama, hasil yang diperoleh akan mampu meningkatkan taraf ekonomi.