JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berupaya meningkatkan daya saing ekspor industri otomotif melalui penyederhanaan aturan. Langkah ini ditempuh untuk memperbaiki defisit neraca dagang yang menjadi sentimen negatif bagi perekonomian domestik.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dalam peresmian aturan ekspor kendaraan bermotor CBU di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (12/2/2019) sore, mengatakan, relaksasi prosedur ekspor berlaku untuk kendaraan bermotor dalam keadaan utuh (Completely Built Up/CBU). Eksportir tidak diberikan insentif perpajakan, tetapi difasilitasi untuk mengurangi biaya logistik dan biaya pengangkutan ke pelabuhan. Kebijakan ini menjadi strategi jangka pendek untuk tingkatkan daya saing ekspor.
"Penyederhanaan prosedur bukan hanya untuk mendorong peningkatan ekspor, tetapi memperbaiki logistik," ujar Darmin.
Relaksasi prosedur ekspor ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 1 Tahun 2019 yang ditetapkan pada 1 Februari lalu.
Prosedur ekspor dipercepat dengan tiga kemudahan, yaitu ekspor kendaraan bermotor CBU dapat dimasukkan ke kawasan pabean sebelum mengajukan dokumen pemberitahuan ekspor barang dan tidak memerlukan nota pelayanan ekspor. Selain itu, pembetulan jumlah dan jenis barang dapat dilakukan paling lambat tiga hari sejak tanggal keberangkatan kapal.
Sebelum aturan baru ini berlaku, setiap kendaraan bermotor yang akan diekspor wajib mengajukan dokumen pemberitahuan ekspor barang dan menyampaikan nota pelayanan ekspor, serta apabila terjadi kesalahan jumlah dan jenis barang harus dilakukan pembetulan sebelum masuk ke kawasan pabean.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, selain menyederhanakan prosedur, pemerintah juga mengintegrasikan data yang masuk dalam sistem Indonesia Kendaraan Terminal, Direktorat Jenderal Bea Cukai, dan tempat penimbunan sementara. Tujuannya menciptakan efisiensi penumpukan di gudang eksportir sehingga stok barang yang dimiliki perusahaan (inventory level) rendah.
Penyederhanaan aturan ekspor ini, lanjut Sri Mulyani, diperkirakan mampu mengurangi biaya logistik sebesar Rp 600.000 per unit mobil dan biaya pengangkutan truk ke pelabuhan Rp 150.000 per unit mobil. Dari hasil studi Direktorat Jenderal Bea Cukai, total biaya efisiensi yang diperoleh lima eksportir terbesar kendaraan CBU mencapai Rp 314,4 miliar per tahun.
“Efisiensi akan meningkatkan keuntungan perusahaan yang juga berimbas ke penerimaan perpajakan,” kata Sri Mulyani.
Tren ekspor dan impor kendaraan bermotor Indonesia menunjukkan perbaikan dalam lima tahun terakhir. Pada 2014, ekspor tercatat sebesar 51,57 persen dan impor 48,43 persen. Sementara tahun 2018, ekspor mencapai 63,56 persen dan impor sebesar 36,44 persen. Kondisi tersebut menunjukkan kepercayaan agar Indonesia dapat menjadi negara eksportir kendaraan terbesar ke-12 di dunia.
Pasaryang dibidik
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menuturkan, pasar ekspor yang dibidik untuk kendaraan bermotor CBU adalah Filipina, Arab Saudi, Kamboja, Vietnam, dan beberapa negara Amerika Latin, seperti Peru.
Pada 2018, ekspor kendaraan bermotor CBU mencapai 264.000 unit senilai Rp 4 miliar dollar AS. Sementara kendaraan bermotor dalam keadaaan rakitan (Completely Knock Down/CKD) sekitar 82.000 unit senilai Rp 2,6 miliar dollar AS.
“Industri otomotif menjadi quick wins untuk mendorong ekspor karena struktur (industrinya) sudah kuat mulai dari baja, kimia, kaca, dan ban,” kata Airlangga.
Selain industri otomotif, pemerintah menyiapkan berbagai sektor prioritas ekspor lain, seperti elektronik, tekstil, alas kaki, kimia, serta makanan dan minuman.
Sebelumnya, pemerintah mengumumkan lima kebijakan peningkatan daya saing ekspor, yakni perbaikan iklim usaha melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (Online Single Submission/OSS), fasilitas insentif perpajakan, program vokasi, penyederhanaan prosedur ekspor, dan pemilihan komoditas unggulan.
Pemerintah mengambil lima kebijakan itu karena kinerja ekspor Indonesia turun. Defisit neraca perdagangan Indonesia pada kurun Januari-Desember 2018 mencapai 8,57 miliar dollar AS. Defisit neraca perdagangan yang semakin dalam mendorong defisit transaksi berjalan ke level di atas 3 persen produk domestik bruto (PDB).