JAKARTA, KOMPAS — Penyerapan dalam negeri untuk produk katoda tembaga yang diproduksi PT Smelting di Gresik, Jawa Timur, belum optimal. Dengan kapasitas produksi 300.000 ton per tahun, hampir 60 persen diekspor dan sisanya dimanfaatkan di dalam negeri.
Pembangunan smelter tembaga mesti mempertimbangkan serapan industri pendukung dari produk sampingan smelter. PT Smelting, yang 25 persen sahamnya dimiliki PT Freeport Indonesia, mengolah konsentrat tembaga sekitar 1,1 juta ton per tahun. Dari konsentrat sejumlah itu, produksi katoda tembaga yang dihasilkan mencapai 300.000 ton per tahun. Katoda tembaga adalah bahan baku utama kabel, kawat, ataupun bahan untuk perangkat elektronik dan otomotif.
”Porsi terbesar (dari produksi katoda tembaga) untuk ekspor 59 persen. Sisanya baru terserap di dalam negeri untuk industri kabel. Harapannya, industri hilir di dalam negeri dapat tumbuh sehingga produksi katoda tembaga bisa terserap seluruhnya di pasar domestik,” kata Manager General Affairs PT Smelting Saptohadi Prayetno, Senin (11/2/2019), di Jakarta.
Selain katoda tembaga, produk sampingan yang dihasilkan PT Smelting adalah asam sulfat, copper slag, anode slime, dan gypsum. Produksi asam sulfat tahun ini diperkirakan 1,04 juta ton. Asam sulfat dibutuhkan sebagai bahan baku industri pupuk. Selain anode slime yang diekspor, seluruh produk sampingan dari PT Smelting diserap di dalam negeri.
Manager Technical PT Smelting Bouman T Situmorang menambahkan, industri smelter tembaga akan efisien jika didukung keberadaan industri penyerap produk sampingan, seperti industri petrokimia, pupuk, dan industri hilir lainnya. Idealnya, berbagai jenis industri itu berlokasi di dalam satu kawasan terintegrasi. Dengan demikian, nilai keekonomian smelter bisa terpenuhi.
”Untuk konsentrat yang masuk ke PT Smelting, kadar tembaganya 92-93 persen, sedangkan kadar emasnya sekitar 98 persen. Jadi, apabila produk sampingannya tidak terserap, keekonomiannya sulit terpenuhi,” ujar Bouman.
PT Smelting didirikan pada 1996 dengan biaya 750 juta dollar AS. Selain PT Freeport Indonesia, saham PT Smelting dimiliki Mitsubishi Materials Corporation 60,5 persen, Mitsubishi Corporation Unimetal Ltd 9,5 persen, dan Nippon Mining and Metals Co Ltd 5 persen.
Selain dari Freeport, pasokan konsentrat ke PT Smelting datang dari PT Amman Mineral Nusantara. Konsentrat dari Freeport juga dikirim ke sejumlah negara, seperti India, China, Jepang, Korea Selatan, dan Spanyol.
Pembangunan smelter
Di Komisi VII DPR, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan memaparkan, sampai 2018, sudah ada 27 smelter di Indonesia yang beroperasi. Dari jumlah tersebut, paling banyak adalah smelter nikel yang terdiri dari 17 unit. Sisanya berupa smelter besi 4 unit, smelter tembaga 2 unit, dan smelter bauksit 2 unit.
”Juga ada rencana pembangunan smelter sebanyak tiga unit dan smelter nikel sebanyak 16 unit sampai 2022,” kata Jonan dalam keterangan resmi.
PT Freeport Indonesia adalah salah satu perusahaan yang sedang menyiapkan pembangunan smelter tembaga. Hingga kini, belum ada kepastian mengenai lokasi pembangunan smelter tersebut. Sejumlah lokasi diwacanakan menjadi pilihan, seperti Gresik (Jawa Timur), Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Gresik menjadi pilihan Freeport dan sudah diajukan kepada pemerintah.
Ketua Indonesia Mining Institute Irwandy Arif mengatakan, pemilihan lokasi smelter harus mempertimbangkan ketersediaan pasokan energi dan infrastruktur pendukung, seperti pelabuhan dan jalan raya. Pertimbangan lain adalah keamanan lingkungan dan faktor keekonomian (efisiensi). Ia mengakui, Pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika ingin smelter dibangun di Papua untuk menumbuhkan lapangan kerja dan aktivitas ekonomi lokal.
”Kalau kemudian diputuskan di Gresik lantaran perlu modal tambahan untuk lokasi yang belum ada infrastruktur pendukung sehingga keekonomiannya sulit dicapai,” kata Irwandy (Kompas, 4/2/2019).
Dalam dokumen Freeport, setidaknya diperlukan lahan seluas 35 hektar untuk membangun smelter baru tersebut. Selain itu, diperlukan pula pelabuhan dengan kapasitas minimal untuk kapal berbobot mati 35.000 ton. Pasokan listrik, gas alam, dan infrastruktur jalan juga diperlukan. (APO)