LOS ANGELES, KOMPAS — Panggung perayaan Grammy Awards 2019 yang berlangsung di Los Angeles, Amerika Serikat, pada Minggu (10/2/2019) pukul 17.00 waktu setempat benar-benar menjadi milik para perempuan yang berkecimpung di industri musik global. Tak sekadar mendominasi perolehan Grammy, mereka juga mendobrak tembok ketaksetaraan di industri musik global melalui pesan-pesan yang penuh daya gugah.
Dominasi para perempuan di industri musik global ditunjukkan dengan kemenangan penyanyi country asal Texas, Kacey Musgraves (30), yang berhasil membawa pulang Grammy di kategori Best Album of the Year melalui album Golden Hour. Kategori Best Album of the Year merupakan salah satu kategori bergengsi di ajang Grammy Awards selain Record of the Year, Song of the Year, dan Best New Artist. Musgraves juga menyabet Grammy untuk tiga penghargaan lain di kategori musik country.
”Para perempuan sungguh-sungguh memiliki perspektif yang penting terhadap hidup, juga terhadap musik. Sungguh sangat menyenangkan menyaksikan perempuan memiliki kesempatan untuk diperhitungkan (dalam industri musik),” katanya mengomentari kemenangannya, seperti dikutip The New York Times. Grammy Awards ke-61 digelar di Staples Center, Los Angeles, AS, Minggu (10/2/2019) pukul 17.00 waktu setempat.
Di belakang Kacey ada nama perempuan penyanyi seperti Lady Gaga yang menyabet Best Pop Duo/Group Performance untuk lagu ”Shallow”. Lagu ini juga sekaligus menyabet Best Song Written for Visual Media. Lalu ada H.E.R yang meraih Grammy untuk kategori Best R&B Album dan Best R&B Performance untuk lagu ”Best Part” feat Daniel Caesar.
Melangkah lebih jauh
Tak kalah penting adalah Grammy untuk Cardi B di kategori Best Rap Album melalui album Invasion of Privacy. Sementara di kategori Best New Artist ada Dua Lipa, penyanyi muda berbakat asal London, Inggris.
Tahun lalu, Grammy dikritik tidak memberi pengakuan yang cukup bagi para perempuan yang berkecimpung di industri musik global. ”Tahun ini, perempuan benar-benar sudah melangkah ke luar lebih jauh,” ujar Dua Lipa.
Di atas panggung, sejumlah perempuan juga menyuarakan pesan kuat tentang isu kesetaraan. Alicia Keys yang berperan sebagai host tampil di panggung bersama mantan Ibu Negara Amerika Serikat Michelle Obama, Lady Gaga, Jada Pinkett Smith, dan Jennifer Lopez.
”Apakah kita menyukai musik country, rap, atau rock, musik membantu kita untuk membagi diri kita, kesedihan dan harga diri, harapan dan kegembiraan kita. Memberi kita kesempatan untuk saling mendengarkan satu sama lain, mengundang satu sama lain untuk saling memahami. Musik menunjukkan kepada kita bahwa semua itu sangat penting,” ujar Michelle.
Lady Gaga mengatakan, dia pernah ditolak karena wajah dan penampilannya yang serba aneh. Namun, semua itu tak berhasil membendungnya. ”Musik berkata kepadaku untuk mengabaikan mereka. Musik mengambil alih telingaku, tanganku, suara dan jiwaku, dan membawaku kepada kalian semua dan semua Little Monsters-ku yang sangat kucintai,” kata Gaga. Little Monsters adalah sebutan untuk para penggemar Gaga.
Jada Pinkett Smith menambahkan, melalui musik, mereka mengekspresikan kepedihan, kekuatan, dan kemajuan. ”Setiap suara yang kita dengar layak untuk dihormati dan dihargai,” katanya.
Selain menjadi panggung untuk para perempuan, tahun ini panggung Grammy Awards juga mencatatkan sejarah penting. Lagu dari genre musik hiphop yang dalam sejarah Grammy tidak pernah berhasil keluar sebagai pemenang, berhasil membuahkan Grammy. Penyanyi kelahiran California, Amerika Serikat, Donald Glover, yang dikenal dengan nama panggung Childish Gambino, menyabet Grammy di dua nominasi bergengsi, Record of the Year dan Song of the Year melalui lagunya, ”This is America”.
Namun, Gambino absen dalam perhelatan musik bergengsi tersebut. Gambino menolak hadir karena menilai Grammy kurang menunjukkan keberagaman dan apresiasi terhadap musik hiphop. Selain Gambino, Kendrick Lamar, dan Drake juga menolak tampil di acara tersebut.
Drake mengatakan, para musisi tidak perlu mengukur kesuksesan mereka melalui perolehan penghargaan. Menurut dia, musik merupakan ”olahraga” yang berbasis pada opini subyektif sehingga tidak ada keputusan dan kemenangan yang paling ”benar”. Para musisi tidak perlu mengukur kesuksesan mereka melalui perolehan penghargaan.
”Intinya, Anda sudah menang jika ada orang-orang yang menyanyikan lagu Anda kata demi kata. Jika kamu adalah pahlawan di kampung halamanmu, jika ada pekerja yang rela kehujanan dan menghabiskan uang untuk membeli tiket pertunjukanmu, Anda tidak memerlukannya (penghargaan). Aku pastikan pada kalian, aku sudah menang,” kata Drake saat memenangi Grammy pada kategori Lagu Rap Terbaik.
RUU Permusikan
Di tengah semangat Grammy yang tengah menyuarakan kesetaraan dan mengibarkan semangat bahwa musik adalah media untuk menyalurkan kebebasan berekspresi, musisi di Tanah Air tengah berhadapan dengan Rancangan Undang-Undang Permusikan yang dikhawatirkan akan membelenggu kreativitas musisi dalam berkarya. Sejumlah perdebatan masih terus berlangsung terkait keberadaan RUU Permusikan.
Penyanyi kelompok musik Barasuara, Cabrini Asteriska, misalnya, pada awalnya sangat berharap RUU Permusikan dapat memberi jaminan serta pengakuan lebih jelas bagi keberadaan para artis musisi. Jaminan baik dalam konteks tata kelola industri permusikan maupun pengakuan musisi sebagai profesi tersendiri.
”Sayangnya, dari yang saya baca, isi Rancangan UU Permusikan masih jauh dari yang diharapkan.Banyak yang harus diubah. Saya pikir sebaiknya rancangan yang ada sekarang dibatalkan saja sambil menunggu DPR baru terbentuk seusai pemilu,” ujar Ichyl, sapaan akrab Cabrini. Dia berharap proses penyusunan rancangan UU diulang kembali dari awal dan melibatkan berbagai kalangan, terutama musisi dan seniman. (SEKAR GANDHAWANGI/WISNU DEWABRATA)