Cuaca buruk petani karet di Kalimantan Tengah makin merugi. Selain harga karet yang tak kunjung membaik, banyak kebun karet terendam banjir akibat luapan sungai. Petani pun enggan menyadap karet.
Oleh
Dionisius Reynaldo Triwibowo
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Cuaca buruk membuat petani karet di Kalimantan Tengah kian merugi. Selain harga karet yang tak kunjung membaik, banyak kebun karet terendam banjir akibat luapan sungai. Petani pun enggan menyadap karet.
Di Kelurahan Tumbang Rungan, Kota Palangkaraya, Kalteng, misalnya, sekitar 50 hektar kebun karet warga terendam luapan Sungai Rungan dan Kahayan. Petani kesulitan menyadap karet karena ketinggian air mencapai satu meter.
“Airnya lagi pasang, saya gak berani menyadap karet. Kalau gak hati-hati bisa hanyut ke sungai, gak bisa dilihat lagi batas sungai sama kebunnya. Semua tertutup air,” ungkap Aling (52), warga Tumbang Rungan, Kecamatan Pahandut, Palangkaraya, Selasa (12/2/2019).
Kebun Aling seluas dua hektar berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Lokasi kebunnya berhimpitan langsung dengan Sungai Rungan. Selain kebun Aling, masih ada sekitar 45 petani karet yang kebunnya berada di sepanjang pinggir sungai.
Permukiman di Tumbang Rungan, menurut Aling, merupakan pertemuan antara dua sungai, yakni Sungai Rungan dan Kahayan. Hal itu menyebabkan kebun mereka hampir setiap tahun direndam luapan sungai akibat intensitas hujan yang tinggi.
“Tapi, kalau 10 tahun lalu gak pernah begini. Masih bisa nyadap karena air gak sampai di kebun. Kalau pun terendam paling hanya sebatas mata kaki saya saja,” ungkap Aling.
Aling menjelaskan, komoditas karet merupakan mata pencaharian utama keluarganya. Saat ini, karena harga karet jatuh, ia mulai mencari pekerjaan lain seperti buruh kasar atau mencari ikan di sungai. “Kalau gak begitu nanti anak-anak saya mau makan apa,” ujarnya.
Harga anjlok
Selain faktor cuaca, harga karet yang anjlok juga menjadi alasan utama para petani di Kalteng enggan memanen. Di Tumbang Rungan, harga karet mentah pada kisaran Rp 6.000 sampai Rp 6.500 per kilogram. Di Kabupaten Pulang Pisau harga karet anjlok hingga mencapai Rp 5.500 per kilogram.
Kepala Desa Gohong, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, Yanto L Adam, mengatakan, sudah tiga tahun terakhir harga karet tidak pernah membaik. Terakhir kali harga karet mencapai Rp 10.000 per kilogram terjadi akhir tahun 2015.
“Masyarakat mencari mata pencaharian lain, ada yang mengganti tanaman atau ada juga yang bekerja di luar desa,” ungkap Yanto.
Saat ini, warga banyak berharap pada tanaman sengon yang menjadi program unggulan desa. Mereka membuat hutan desa ditanami sengon. “Ada juga yang gunakan kebunnya mengganti karet dengan sengon. Ada juga dengan tanaman buah,” ungkap Yanto.
Wakil Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Wilayah Kalimantan Selatan-Kalimantan Tengah Vincentius Oei mengungkapkan, cuaca buruk juga mempengaruhi produksi karet. Penurunan produksi itu dipengaruhi karena tak banyak petani menyadap karet.
“Ini terjadi kalau memang ada banjir atau bencana lainnya, tetapi biasanya tidak lama dan tidak selalau terjadi setiap tahun,” kata Vincentius.
Anjloknya harga karet, menurut Vincentius, dipengaruhi banyak faktor, seperti keadaan ekonomi global dan lainnya. Salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah adalah peremajaan karet seperti yang pemerintah lakukan terhadap komoditas kelapa sawit.
“Pohon-pohon karet yang lama harus diganti dengan yang baru sehingga ada jeda waktu juga untuk memanen, setelah itu produktivitas dan kualitas prima bisa didapat,” ungkap Vincent.