Rentetan pembakaran kendaraan bermotor di Kota Semarang dan sekitarnya mengusik ketenteraman warga yang selama ini harmonis. Sekadar iseng atau aksi yang terskema, pun motif di baliknya, masih samar. Misterius.
Sejak pertengahan Desember 2018, tercatat terjadi 28 kali teror pembakaran kendaraan bermotor di empat daerah di Jawa Tengah. Rinciannya, 17 kasus di Kota Semarang, 9 kasus di Kendal, 1 kasus di Ungaran, dan 1 kasus di Grobogan. Teranyar di Grobogan, sebuah angkot yang terparkir di depan minimarket dibakar, Rabu (6/2/2019). Hingga kini, kasus-kasus itu belum terungkap.
Mobil dan sepeda motor yang menjadi sasaran kebanyakan diparkir di jalan ataupun teras rumah berpagar. Namun, ada pula yang diparkir di garasi, tetapi terlihat dari jalan. Warga menyebutnya teror kain api karena pelaku menggunakan kain sebagai sumbu untuk membakar bensin yang dimasukkan dalam botol.
Saat awal terjadi, ada dugaan motif dendam pribadi. Namun, semua korban membantah. ”Saya tahu ada teror bakar mobil dan sepeda motor dari media, tetapi tidak khawatir. Wong tidak punya musuh. Eh, malah jadi korban,” kata Ace Sutrisno (71), warga Tambakaji, Kecamatan Ngaliyan, pemilik dua sepeda motor yang dibakar, Minggu (3/2).
Motif ekonomi dan politik juga tak terbukti karena pelaku menyasar korban secara acak. Adiyantoro, anak Diyono (60), warga Menoreh Timur II, Sampangan, Kecamatan Gajahmungkur, yang tiga sepeda motornya dibakar, Sabtu (2/2), mengaku jauh dari urusan politik. ”Barang lain tidak ada yang dicuri. Kami juga enggak ada musuh, ikut kampanye atau politik pun enggak,” ujarnya.
Kriminolog Universitas Diponegoro, Semarang, Budi Wisaksono, menilai, ada empat jenis pelaku yang dapat melakukan kejahatan itu. Pertama, psikopat. Kedua, orang iseng yang mendapat kepuasan di atas kesusahan orang lain. Ketiga, protes sosial karena pelaku tidak suka melihat orang lain senang punya kendaraan, sedangkan dia tidak mampu.
Keempat, orang yang mendapat keuntungan atas perbuatannya. Keuntungan di sini bisa berarti keinginannya tercapai, semisal membuat masyarakat resah atau mendiskreditkan aparat keamanan dan pemerintah. Dari keempat itu, profil terakhir paling layak dicermati.
Celah kelengahan
Pelaku pembakaran juga terbilang nekat. Berdasarkan pantauan di Jalan Menoreh Timur II, misalnya, kawasan itu terbilang padat penduduk dan ramai. Beredar pula rekaman kamera pemantau (CCTV) salah satu kejadian pembakaran.
Dalam rekaman itu, seorang pelaku berjaket hitam dan helm berpenutup muka dengan santai berhenti di depan rumah warga, memarkir sepeda motor, lalu melemparkan suatu benda yang sudah disulut api ke arah mobil yang terparkir di pelataran rumah. Setelah itu, pelaku kembali ke sepeda motor dan langsung kabur.
Satu kesamaan dari setiap kasus, pelaku menyasar pemilik kendaraan dari kalangan menengah ke bawah. Setidaknya, tinggal di wilayah dengan tingkat pengamanan rendah. Tidak ada satu pun kasus terjadi di perumahan elite yang dijaga ketat petugas keamanan. Celah itu yang dimanfaatkan pelaku.
Dalam buku Criminological Theories: Introduction, Evaluation, and Application terbitan Oxford University Press Inc (2016), Ronald L Akers dan koleganya masih meyakini teori aktivitas rutin yang dikemukan Lawrence Cohen and Marcus Felson, akhir 1970-an. Cohen dan Felson menerangkan, tindakan kriminal dipengaruhi faktor tempat, waktu, obyek, dan individu.
Dalam kasus-kasus pembakaran di Jateng, pelaku jelas menarget kendaraan-kendaraan dengan pengawasan longgar. Adapun periode waktu ditentukan pada saat terlengah warga, yakni pukul 02.00-04.00.
Hal tersebut diakui Kepala Polrestabes Semarang Komisaris Besar Abiyoso Seno Aji. Menurut dia, rata-rata lokasi kejadian berada di permukiman padat dengan lebih dari satu jalan masuk. Hal ini menandakan pelaku atau auktor intelektualis pembakaran sudah merencanakan dengan rapi. Lokasi sasaran pun terus berbeda untuk mengaburkan jejak.
Rentetan kejadian tersebut membuat warga cemas. Maria Ratna (33), warga Kelurahan Lamper Kidul, misalnya, langsung berinisiatif membeli alat pemadam api ringan (APAR) untuk bersiaga. ”Buat jaga-jaga saja,” katanya.
Polisi tidak tinggal diam. Kepala Polda Jateng Inspektur Jenderal Condro Kirono menyatakan menerjunkan 1.200 polisi untuk melakukan razia di jalanan dan menjaga daerah rawan. Jika pada kondisi biasa dua pertiga kekuatan disiagakan pada siang hari, sejak sepekan terakhir digeser mulai pukul 24.00 hingga 05.00.
Menurut Condro, seluruh aksi pembakaran di empat daerah di Jateng saling berkaitan. Aksi terakhir di Grobogan terjadi setelah polisi meningkatkan pengamanan di Kota Semarang dan sekitarnya. ”Pelaku mencari titik lemah. Seperti teori balon, ditekan di sini, dikuatkan di sini, akan lari ke tempat lain,” ujarnya.
Dugaan politis
Walau banyak yang mengaitkan aksi teror dengan tahun politik, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo tidak mau buru-buru menyimpulkan. ”Mungkin kalau dilihat waktunya, masa itu (pemilu), tetapi saya tidak mau terlalu dini. Nanti jika terungkap satu, akan terungkap semua,” katanya.
Walau begitu, pengamat sosial Universitas Negeri Semarang, Tri Marhaeni, menilai, setiap menjelang pemilu, aksi-aksi teror kerap muncul. Tidak tertutup kemungkinan untuk tujuan politik tertentu.
Isu hantu cekik, misalnya, pernah menggegerkan warga Demak sekitar 2005. Isu itu merebak menyusul kematian empat orang di Demak dengan tanda-tanda bekas cekikan di leher. Isu yang diembuskan, mereka tewas dibunuh hantu cekik.
Sejak itu, warga Demak dilanda ketakutan dan sering memilih tidur di luar rumah beramai-ramai. Gubernur Jateng kala itu, Ali Mufiz, menduga ada skenario dari kelompok tertentu untuk menciptakan keresahan masyarakat dengan melempar isu hantu cekik. Kebetulan, kala itu menjelang Pilkada Demak 2006.
”Sudah lazim jika sedang ada hajatan besar, seperti pemilu, isu-isu atau fenomena menggoyang kepemimpinan daerah bisa terjadi. Mulai dari isu hantu cekik, kolor hijau, hingga beras plastik. Pola ini sebenarnya cara lama yang direproduksi,” kata Tri (Kompas, 3/2).
Hikmah yang dapat diambil dari aksi teror api, warga Kota Semarang kian kompak. Satu demi satu wilayah mulai mengaktifkan lagi sistem keamanan lingkungan seperti didorong Wali Kota Hendrar Prihadi.
Ketua RW 012 Kelurahan Gisikdrono, Kecamatan Semarang Barat, Yamin, misalnya, menuturkan, sistem ronda yang beberapa tahun tidak berjalan kini kembali digalakkan. Bagi wong Semarangan, inilah ujian soliditas mereka. Sebab, walau dikenal egaliter, masyarakat pantura tak menoleransi kekerasan.