TNI : Dwi Fungsi Lebih Banyak Kemudaratannya
Rencana menempatkan sejumlah perwira tinggi TNI yang "nganggur" ke pos-pos kementerian dan lembaga sipil lainnya memantik polemik seputar potensi kembalinya dwi fungsi ABRI. Trauma penerapan dwi fungsi ABRI di masa lalu yang dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan, membuat rencana penempatan perwira tinggi TNI tersebut ditentang sejumlah kalangan.
Tak berbeda dengan kelompok masyarakat sipil yang menolak kembalinya dwi fungsi ABRI, bagi TNI, dwi fungsi justru lebih banyak mendatangkan mudarat daripada manfaatnya buat TNI. Dwi fungsi ABRI telah membuat rusak sistem manajemen TNI di masa lalu.
Namun, menyelesaikan persoalan perwira tinggi TNI yang nganggur juga bukan masalah sederhana. Persoalan reorganisasi TNI tersebut merupakan buntut pengelolaan sumber daya manusia. Saat ini, terjadi kelebihan jumlah perwira menengah dan tinggi di TNI. Kelebihan itu menyebabkan ratusan perwira tanpa jabatan.
Meski TNI mengaku telah memiliki peta jalan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Setidaknya, dalam lima tahun ke depan, persoalan ini bakal terselesaikan. TNI menjamin, tahun 2024 mendatang, tak ada lagi perwira tinggi TNI yang menganggur.
Harian Kompas mendapat kesempatan khusus mewawancarai Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi yang tengah berkunjung ke redaksi. Wawancara dilakukan di Menara Kompas, Jakarta, Selasa (12/2/2019) sore. Sisriadi pun blak-blakan saat ditanya tanggapan TNI soal polemik potensi kembalinya dwi fungsi ABRI.
Reorganisasi TNI menuai kritik dari masyarakat karena dianggap mengembalikan dwi fungsi ABRI. Bagaimana tanggapan TNI terkait hal tersebut?
Perlu diluruskan terlebih dahulu. Dwi fungsi merupakan peran ABRI di bidang pertahanan dan keamanan serta sosial-politik. Dahulu, tujuan utama dwi fungsi, yaitu sosial-politik. Jelas, untuk meraih dan mengamankan kekuasaan.
Dwi fungsi TNI lebih banyak kemudaratannya karena merupakan salah satu kontribusi kehancuran. Dwi fungsi bertujuan untuk memperoleh kekuasaan. Kami tidak ingin membuat kontribusi yang negatif. Tentunya semua orang juga tidak ingin hal itu terjadi lagi. Demokrasi merupakan salah satu kerelaan TNI melepaskan Dwi Fungsi ABRI.
Namun, yang terjadi sekarang ialah TNI mengalami persoalan manajemen sumber daya manusia. Perubahan usia pensiun atau masa dinas prajurit dari 55 tahun ke 58 tahun menimbulkan kelebihan perwira menengah dan tinggi. Perpanjangan usia pensiun atau masa dinas menyebabkan penumpukan prajurit pada level menengah ke atas.
Seharusnya, dalam manajemen TNI, semakin besar ruang jabatan maka semakin banyak penempatan prajurit. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Semakin kecil ruang jabatan, semakin banyak prajurit sehingga sebagian tidak bisa menempati.
Sebelum 1998 kontribusi dwi fungsi ABRI merusak sistem manajemen TNI. Untuk kembali ke situ butuh doktrin dan sekarang tidak ada lagi doktrin itu di TNI. Coba tanya ke letkol atau kolonel yang ikut saya, (sambil menunjuk bawahannya), tentang dwi fungsi ABRI, mereka pasti enggak bisa menjawab karena tidak ada pelajaran doktrin dwi fungsi maupun bahan pelajaran soal dwi fungsi.
Bagaimana upaya TNI mengatasi persoalan tersebut?
Panglima TNI telah mengeluarkan Peraturan Panglima TNI Nomor 40 tahun 2018. Peraturan tersebut bertujuan mengembalikan prinsip sumber daya manusia. Khususnya, mengatur kenaikan pangkat agar penempatan prajurit sesuai dengan keahlian, kebutuhan, dan jabatan yang tersedia.
Contohnya, pangkat Letnan Dua tersedia puluhan ribu jabatan dan Mayor tersedia ribuan jabatan. Semakin naik level kepangkatan, maka semakin mengerucut atau sedikit jumlah jabatan yang tersedia.
Namun, yang terjadi sekarang ialah kelebihan kolonel dan perwira tinggi. Ada sekitar 500 kolonel dan 150 perwira tinggi.
Dwi fungsi TNI lebih banyak kemudaratannya karena merupakan salah satu kontribusi kehancuran. Dwi fungsi bertujuan untuk memperoleh kekuasaan. Kami tidak ingin membuat kontribusi yang negatif
Peraturan tersebut menjadi solusi permanen untuk mengatur kembali proporsi jabatan dan jumlah personel yang mengisinya. Setidaknya, butuh waktu lima tahun untuk mengurai kelebihan tersebut. Seiring waktu akan ada yang pensiun maupun terserap ke posisi lain.
Dalam penerapan penerapan Peraturan Panglima TNI tersebut, akan memangkas waktu seorang perwira untuk menduduki posisi perwira tinggi. Saat ini, seseorang menduduki posisi perwira tinggi, bisa mencapai 10 tahun lamanya. Lama waktu itu akan dipangkas agar semakin tinggi jabatan atau posisi, maka semakin singkat waktu untuk menduduki jabatan tersebut.
Bagaimana dengan rencana penempatan perwira di kementerian atau lembaga?
Penempatan TNI aktif di birokrasi sudah diatur dalam peraturan pemerintah maupun menteri terkait. TNI aktif telah bertugas di BNPT dan Bakamla. Padahal, belum diatur penempatan TNI aktif di dua lembaga itu. Tidak ada yang komplain dan sekarang kepala BNPB dijabat TNI aktif. Selama bukan jabatan politik, seperti bupati, gubernur, dan lainnya maka tidak bermasalah.
Perlu dijelaskan juga bahwa wacana reorganisasi TNI diusulkan Panglima TNI kepada presiden dalam rapat pimpinan TNI. Presiden menanggapi usulan tersebut. Tidak ada pembicaraan terkait politik.
Peningkatan komando teritorial jadi salah satu usulan untuk mengurangi kelebihan perwira tanpa jabatan. Contohnya, kenaikan status komando resor militer membuat pucuk pimpinan dari kolonel naik ke brigadir jenderal. Jabatan lain secara otomatis akan naik menyesuaikan hal tersebut. Ada posisi yang terserap di dalam organisasi sehingga mengurangi jumlah tanpa jabatan.
Apa upaya lain mengatasi persoalan kelebihan personel tersebut?
Pembenahan sumber daya dengan mengatur input dari akademi militer dan ke level lain melalui saringan yang ketat. Untuk naik dari kolonel ke perwira tinggi, akan disesuaikan jumlah peserta pendidikan dengan kebutuhan. Tentunya proses lain akan menyesuaikan.
Penerimaan prajurit telah melalui perhitungan yang matang untuk jangka panjang. Moratorium akademi militer berpengaruh pada persoalan kepemimpinan pada 20 tahun yang akan datang. Jumlah taruna sudah dihitung dengan teliti untuk masa dinas yang panjang. Mengurangi (jumlah taruna Akademi Militer) bukan solusi karena akan terjadi kekurangan pimpinan.
Selain itu, dilakukan juga penambahan komando baru. Pada tahun 2010 telah dicanangkan pembentukan komando baru, akan tetapi belum ada anggaran yang mendukung. Pemerintahan sekarang telah menghitung dan bisa mendukung sebagian pembentukan komando baru.
Embrio dari komando baru sudah ada. Contohnya, wilayah pertahanan pada tingkat divisi telah dibentuk di Sorong, Papua Barat dengan Armada III, Koopsau dan Kostrad. Saat ini, baru ada Panglima Armada dan staf, serta sebagaian prajurit.
Adakah solusi lain untuk mengatasi persoalan kelebihan perwira?
Solusi lain, yaitu penyaluran perwira ke perusahaan yang membutuhkan maupun ke badan usaha milik negara. Mereka mengikuti tes untuk kemudian beralih golongan maupun pensiun dini dan bekerja di tempat baru. Jumlahnya terbatas dan tidak bisa menghabiskan kelebihan perwira. Tentunya, perusahaan juga memilih serta memilah sumber daya.
Saya jamin 2024 tidak ada lagi masalah kelebihan perwira sehingga proporsinya ideal. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)