JAKARTA, KOMPAS – Zona Perdagangan Bebas atau Free Trade Zone (FTZ) di wilayah Batam, Kepulauan Riau sebenarnya diperuntukkan sebagai kawasan industri. Namun, sejumlah kalangan memanfaatkan Batam sebagai pintu masuk untuk perniagaan barang dari luar negeri agar terbebas dari bea masuk. Untuk mengatasi persoalan itu, kiriman paket atau barang dari luar negeri yang dikirim melalui Batam diperlakukan sama seperti kiriman dari luar negeri.
Berdasarkan surat keputusan Dirjen Bea Cukai No Kep.07/BC/2019 tanggal 1 Februari 2019, ada perubahan alur proses pengiriman paket dan barang keluar dari Batam. Secara kepabeanan, Batam dianggap sebagai wilayah luar negeri sehingga kiriman paket atau barang wajib diperiksa satu per satu, untuk dicocokan isi dan perhitungan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI).
“Ini hanya masalah persepsi. Sebenarnya Batam itu kan statusnya FTZ untuk kegiatan investasi. Jadi kalau terkait dengan kegiatan perniagaan, maka barang dari Batam yang dimasukkan ke wilayah lain Indonesia, aturan yang diberlakukan sama seperti barang impor,” kata Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) Edy Putra Irawady, saat dihubungi Kompas, Rabu (13/2/2019).
Lebih lanjut, Edy menyampaikan, bea cukai terhadap barang impor untuk diperdagangkan diberlakukan sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.04/2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 182/PMK.04/2016 Tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman.
Dalam Pasal 13 ayat (1) dan (1a) dijelaskan, barang kiriman yang diimpor untuk dipakai dapat diberikan pembebasan bea sepanjang nilai pabean atas keseluruhan barang kiriman tidak melebihi 75 dollar AS atau sekitar Rp 1 juta. Apabila melebihi nilai tersebut, dalam ayat (2) disebutkan, ada pemberlakuan bea masuk dan pajak dalam rangka impor dipungut atas seluruh nilai pabean barang kiriman tersebut.
Menurut Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Environment Programme (UNEP ), FTZ merupakan area yang didefinisikan secara khusus dalam suatu negara di mana barang dapat diimpor, ditangani, diolah, dirakit, dibuat ulang atau dikonfigurasi ulang, dan diekspor kembali oleh perusahaan-perusahaan yang memperoleh berbagai manfaat. Misalnya, pembebasan bea dan pajak, prosedur administrasi yang disederhanakan dan impor bebas bea dari bahan baku, mesin, suku cadang dan peralatan.
“Batam itu daerah yang seksi untuk berbisnis. Kapal-kapal besar dari berbagai negara mampir ke Batam untuk mengangkut barang yang mau diekspor atau mengirim bahan baku dari negara lain untuk diolah sehingga meningkatkan nilai tambah bagi suatu produk,” ujar Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus
Persoalannya, barang-barang impor tersebut hanya menjadikan Batam sebagai tempat lalu lintas untuk menghindari bea cukai.
“Misalnya, saya menitip barang ke teman di Singapura untuk saya perdagangkan di Indonesia. Agar tidak kena bea cukai, maka teman saya mengirimkannya lewat Batam kemudian menggunakan jasa ekspedisi untuk dikirimkan ke saya di Jakarta,” ujar Heri.
Kasus seperti inilah yang perlu pengawasan ketat. Heri menegaskan, FTZ di Batam seharusnya tidak diperuntukkan untuk hal semacam itu. Maka, meski ada kemungkinan kapasitas barang impor tersebut kecil, namun karena untuk diperdagangkan, aturan pengawasan harus diperketat.
Penyesuaian Sistem
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepulauan Riau, Cahya menyampaikan, penerapan bea cukai secara mendadak membuat adanya penumpukan barang. Sebab, beberapa pihak belum siap mengimplementasikan sistem tersebut.
“Bukan kami tidak mendukung, namun pihak ekspedisi belum siap. Dengan aturan ini, ekspedisi harus melaporkan lebih detail mengenai semua barang yang akan keluar dari Batam. Namun, kenyataannya banyak barang yang dicek dan kemudian belum memenuhi syarat sehingga harus dipertanyakan kembali ke ekspedisi,” kata Cahya.
Tak hanya itu, Cahya mengatakan, belum ada sistem yang lebih sederhana. Maka, regulasi yang mengharuskan pengecekan barang satu per satu berakibat pada keterlambatan pengiriman. “Regulasi ini seharusnya diterapkan setahap demi setahap agar tidak menimbulkan masalah baru,” ujarnya.
Persoalan ini diakui oleh Kepala Regional II PT Pos Indonesia Sumatera Barat-Riau-Kepulauan Riau, Wendy Bermana. Menurutnya, aturan ini memang membuat adanya keterlambatan pengiriman karena proses pengecekan yang lama, namun akan terus diperbaiki.
“Kendalanya ada dalam proses penyesuaian sistem karena semua dikerjakan secara dalam jaringan (daring). Jadi semua data yang keluar dari Batam harus didaftarkan secara daring ke Bea Cukai untuk mencocokan data dengan barangnya. Tentu ini memerlukan waktu,” ujar Wendy.
Sementara ini, Wendy menyampaikan, pihaknya telah memperluas gudang, menambah komputer, dan memperkuat jaringan internet. Selain itu, untuk mempercepat pemeriksaan, pihaknya juga telah menambah tiga petugas di bagian pemeriksaan kantor pos Batam.
Wendy menilai, aturan ini merupakan peluang untuk membantu pemerintah dalam pengetatan pengiriman. “Karena kan selama ini si pengirim suka enggak jujur. Misalnya, seharusnya barang tersebut kena bea cukai tapi si pengirim menetapkan harga yang lebih rendah sehingga enggak kena bea cukai,” paparnya.