Biodiesel 50, Harapan Baru Industri Sawit Nasional
MEDAN, KOMPAS – Uji coba solar dengan kandungan biodiesel 50 persen memberikan harapan baru bagi industri sawit nasional. Kendaraan uji menempuh Medan–Jakarta–Medan sejauh 5.000 kilometer tanpa kendala berarti. Peningkatan serapan biodiesel di dalam negeri sangat penting di tengah kampanye hitam dan perang dagang minyak nabati di pasar dunia.
Uji jalan itu dilakukan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dengan dukungan PT Perkebunan Nusantara III (Holding). PPKS yang bernaung di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian itu memberangkatkan dua mobil Toyota Innova tahun 2018 bermesin diesel.
Satu mobil digunakan untuk uji jalan solar dengan kandungan biodiesel 50 persen (B50) dan satu lagi merupakan kendaraan kontrol dengan menggunakan biosolar B20 dari SPBU.
Sementara, mobil dengan B50 unggul dari sisi emisi gas buang serta ketahanan injektor dan filter bahan bakar.
Setelah melakukan perjalanan selama 10 hari, tim uji jalan B50 yang dipimpin Peneliti Rekayasa Teknologi dan Pengelolaan Lingkungan Muhammad Ansori Nasution pun tiba di Medan, Senin (4/2/2019). “Berdasarkan hasil sementara, uji jalan B50 ini tidak mengalami kendala. Perjalanan Medan–Jakarta–Medan kami lalui dengan baik,” kata Ansori.
Ansori mengatakan, hasil sementara, mobil berbahan bakar B20 unggul dari sisi performa mesin dan konsumsi bahan bakar. Sementara, mobil dengan B50 unggul dari sisi emisi gas buang serta ketahanan injektor dan filter bahan bakar.
Performa mesin B20 lebih baik empat persen dibanding B50. Konsumsi bahan bakar B20 mencapai 10,86 kilometer per liter, unggul tipis dibanding B50 yang mencapai 10,61 kilometer per liter. “Secara keseluruhan, uji coba ini menunjukkan tidak ada kendala berarti dalam penggunaan B50,” kata Ansori.
Perluasan biodiesel
Kepala Bidang Penelitian PPKS Suroso Rahutomo mengatakan, uji jalan B50 itu sangat penting untuk meningkatkan serapan biodiesel di dalam negeri. Dengan program wajib B20 pada 2018, konsumsi biodiesel dalam negeri mencapai 4,2 juta ton dan ekspor 1,3 juta ton. Jumlah konsumsi dan ekspor itu hanya 11,7 persen dari total 47 juta ton produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia pada 2018.
Menurut Suroso, peluang meningkatan konsumsi biodiesel di dalam negeri masih sangat besar. Namun, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengatasi kendala perluasan penggunaan biodiesel, seperti harga yang masih kurang kompetitif dengan minyak bumi (fosil), peningkatan kualitas, dan penolakan sejumlah negara.
Untuk meningkatkan daya saing biodiesel, kata Suroso, peningkatan produktivitas kebun sawit perlu dilakukan. Hal itu akan menekan harga pokok produksi minyak sawit sehingga lebih kompetitif terhadap minyak bumi.
Suroso mengatakan, penggunaan biodiesel akan terus meluas seiring dengan program wajib yang direncanakan pemerintah. Jika program B30 dilaksanakan pada 2019, konsumsi biodiesel dalam negeri diperkirakan akan meningkat dari 4,2 juta ton menjadi 4,85 juta ton. Program wajib itu menurut rencana akan terus ditingkatkan hingga menjadi B50 pada tahun 2023.
Program B50 tersebut diperkirakan akan meningkatkan konsumsi biodiesel dalam negeri menjadi 9,8 juta ton. Angka itu mencakup 18,32 persen dari total produksi minyak sawit nasional yang diperkirakan sebesar 53,48 juta ton pada tahun 2023.
Peneliti Sosio Tekno Ekonomi PPKS Ratnawati Nurkhoiry mengatakan, peningkatan serapan biodiesel dalam negeri sangat penting di tengah merebaknya kampanye hitam terhadap sawit. Minyak sawit pun menghadapi hambatan dagang di sejumlah negara, khususnya di kawasan Uni Eropa.
Penundaan larangan minyak sawit sebagai campuran biodiesel juga meningkatkan ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa menjadi 598.100 ton pada Januari–September 2018.
Uni Eropa sempat melarang penggunaan CPO dari Indonesia dan Malaysia sebagai campuran biodiesel pada tahun 2021. Larangan itu lalu diundur menjadi 2030. Ratnawati mengatakan, mengutip data Oil World, rencana itu sempat membuat ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa menurun drastis menjadi hanya 43.000 ton pada 2016. Padahal, pada 2013, volume ekspor mencapai 477.900 ton.
Pada 2017, kata Ratnawati, konsumsi biodiesel Uni Eropa kembali naik menjadi 156.000 ton. “Penundaan larangan minyak sawit sebagai campuran biodiesel juga meningkatkan ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa menjadi 598.100 ton pada Januari–September 2018,” kata Ratnawati.
Paradoks
Menurut Ratnawati, tindakan Uni Eropa yang sempat menghentikan impor biodiesel berbahan CPO menunjukkan sikap paradoks. Meskipun mengurangi impor, konsumsi biodiesel berbahan CPO di Uni Eropa cenderung meningkat.
Pada tahun 2016, konsumsi biodiesel berbahan CPO di Uni Eropa sebesar 3,41 juta ton. Angka itu lalu meningkat menjadi 3,8 juta ton pada 2017 dan 3,75 juta ton pada Januari–September 2018.
“Data ini menunjukkan Uni Eropa sebenarnya tidak mengurangi konsumsi biodiesel berbahan CPO. Mereka hanya menghentikan impor biodiesel dalam bentuk jadi, tetapi tetap memproduksi biodiesel dari CPO yang mereka impor,” kata Ratnawati.
Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun mengatakan, hambatan perdagangan terhadap CPO harus dihadapi bersama oleh semua pihak, mulai dari pemerintah, pengusaha, petani, peneliti, dan pemangku kepentingan lainnya. Peningkatan penyerapan biodiesel dalam negeri merupakan salah satu cara untuk menyeimbangkan suplai dan permintaan sehingga dapat membentuk harga baru di pasar dunia.
Derom mengatakan, sawit merupakan komoditas andalan nasional. CPO dan produk turunannya merupakan kontributor utama terhadap ekspor nonmigas sehingga memberikan devisa yang cukup besar untuk negara. Ada 22 juta jiwa penduduk Indonesia yang hidup dalam lingkaran industri sawit nasional.
Derom mengingatkan, tata kelola sawit berkelanjutan pun harus diterapkan untuk menghadapi hambatan perdagangan. Penerapan tata kelola berkelanjutan juga akan meningkatkan daya saing produk sawit nasional di pasar dunia. Dengan demikian, sawit Indonesia akan dapat terus merambah pasar dunia dan menjadi penopang ekonomi nasional.