Buku “78 Tahun Lanud Abdulrachman Saleh Lahir dan Besar di Lembah Bromo” Diluncurkan
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS-Komandan Pangkalan TNI Angkatan Udara Abdulrachman Saleh, Malang, Jawa Timur, Marsekal Pertama Andi Wijaya, Rabu (13/2/2019), meluncurkan buku “78 Tahun Pangkalan TNI AU Abdulrachman Saleh Lahir dan Besar di Lembah Bromo”. Buku itu merupakan karya yang dari Andi Wijaya
Buku setebal 121 halaman yang dikerjakan selama enam bulan itu berisi mengenai sejarah Pangkalan TNI AU (Lanud) Abdulrachman Saleh, yang terbagi ke dalam tiga masa. Ketiga masa yang dimaksud mulai dari Kerajaan Singasari, masa kolonialisme, hingga masa setelah kemerdekaan. Buku ini juga menyinggung soal aset-aset yang berkaitan dengan Lanud Abdulrachman Saleh.
Dicetak dalam kertas dan sampul tebal, buku “78 Tahun Pangkalan TNI AU Abdulrachman Saleh Lahir dan Besar di Lembah Bromo” itu tidak hanya berisi teks tetapi juga diwarnai foto-foto masa lalu dan sekarang. Andi menyebut, buku tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi kalangan TNI AU tetapi juga masyarakat umum.
“Nama Lanud Abdulrachman Saleh mengacu pada dua hal, yakni nama lokasi dan riwayat tokoh TNI AU yakni Almarhum Pak Abdulrachman Saleh yang namanya diabadikan untuk menggantikan nama Pangkalan Udara Bugis. Dulu di sini namanya Lanud Bugis sebelum jadi Lanud Abdulrachman Saleh,” katanya.
Nama Lanud Abdulrachman Saleh mengacu pada dua hal, yakni nama lokasi dan riwayat tokoh TNI AU yakni Almarhum Pak Abdulrachman Saleh yang namanya diabadikan untuk menggantikan nama Pangkalan Udara Bugis. Dulu di sini namanya Lanud Bugis sebelum jadi Lanud Abdulrachman Saleh
Menurut Andi, berbicara sejarah TNI AU tidak bisa dilepaskan dari dua sosok, yakni Adi Sutjipto yang namanya kemudian diabadikan menjadi nama Pangkalan TNI AU di Yogyakarta dan Abdulrachman Saleh. Nama Abdulrachman Saleh memiliki arti tersendiri dan sejauh ini ada hal-hal terkait sejarah yang belum banyak diketahui oleh masyarakat.
“Jika Adi Sutjipto memiliki sekolah penerbang maka Abdulrachman Saleh memiliki pesawat (Skadron 32 untuk Hercules, Skadron 4 untuk Cassa, dan Skadron 21 untuk Super Tucano),” ucapnya.
Abdulrachman Saleh, menurut Andi, juga menjadi lokasi perakitan pesawat pertama RI (pesawat-pesawat peninggalan Jepang) sekaligus tempat tes terbang pertama pesawat yang baru saja dirakit. Pesawat yang sudah selesai dirakit kemudian diterbangkan ke Adi Sutjipto. Begitu pula dengan pembentukan pasukan pertahanan TNI AU juga dilakukan di Abdulrachman Saleh.
“Saya yakin di TNI AU banyak yang lupa ceritanya, atau malah tidak tahu soal ini,” ujarnya. Posisi Abdulrachman Saleh yang menjadi bagian dari sejarah perjalanan TNI AU dinilai relevan dengan Singasari sebagai salah satu kerajaan tua di Jawa. Dari Singasari ini pula lahir raja lain di Jawa, seperti Majapahit.
Disinggung soal kendala dalam membuat buku tersebut, Andi mengatakan pihaknya harus melakukan kroscek ke lapangan guna melakukan klarifikasi, termasuk mencari narasumber-narasumber yang ada. Begitu pula untuk mendapatkan foto-foto lama tentang aset yang ada, hal itu cukup menyulitkan.
“Kalau sekedar menyadur buku lama gampang. Tapi, ini, kan, kami ingin ada klarifikasi juga. Kami mengecek ke lokasi dan mendapatkan foto lama itu yang sulit. Yang dicari di internal sendiri belum tentu dapat,” kata Andi. Andi berharap dengan terbitnya buku ini maka Lanud Abdulrachman Saleh bisa makin dikenal dan referensi sejarah TNI AU kian lengkap.
Nama Lanud Abdulrachman Saleh mengacu pada dua hal, yakni nama lokasi dan riwayat tokoh TNI AU yakni Almarhum Pak Abdulrachman Saleh yang namanya diabadikan untuk menggantikan nama Pangkalan Udara Bugis. Dulu di sini namanya Lanud Bugis sebelum jadi Lanud Abdulrachman Saleh
Raymond Erwin Paays selaku Penyunting buku, mengatakan sebagian isi sudah ada di buku-buku sejarah Angkatan Udara Republik Indonesia namun dilengkapi lagi dengan kroscek ke lapangan dan sebagian lainnya merupakan data baru. Pencarian data dan kroscek dilakukan sampai ke Blitar, Probolinggo, dan Yogyakarta.