Bulan Februari 2019 ditandai dengan tiga kasus bunuh diri selama tiga hari berturut-turut di Jakarta. Melihat pada kasus-kasus ini, terdapat permasalahan yang selalu muncul pada masyarakat perkotaan, yakni perasaan depresi yang disebabkan berbagai masalah sosial.
Contoh kasus Zulfadhli (35), sopir taksi yang tewas gantung diri di sebuah rumah kontrakan di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Senin (11/2/2019) malam. Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Mampang Prapatan Inspektur Satu Anton Priharton mengatakan, dugaan kasus bunuh diri yang dialami Zulfadhli ini dilandasi rasa depresi. Hal itu terlihat dari surat yang Zulfadhli tinggalkan di lokasi kejadian.
Dalam surat itu, Zulfadhli menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga dan kerabat karena terjebak utang dari jasa pinjam-meminjam antarpihak berbasis aplikasi. Masalah khas dari kasus pinjam-meminjam antarpihak tersebut, apalagi yang ilegal, umumnya berujung pada bunga pengembalian pinjaman yang sangat tinggi.
Kasus bunuh diri kemudian terjadi pada hari berikutnya, Selasa (12/2/2019) malam. Pada sebuah kebakaran di Koja, Jakarta Utara, kepolisian setempat menemukan bahwa korban berinisial MH (37) diduga membakar dirinya sendiri. Saat dikonfirmasi, Kanit Reskrim Polsek Koja Ajun Komisaris Andry Suharto mengatakan, keterangan itu didapat dari sejumlah saksi dan sedang ditelusuri lebih lanjut.
Selain itu, pada Rabu (13/2/2019) dini hari, daftar kasus bunuh diri bertambah dengan adanya kasus Mardiyan (24). Warga asal Jawa Barat yang bekerja di bilangan Cilincing, Jakarta Utara, itu ditemukan tewas gantung diri di rumah kontrakan kerabatnya.
Kerabat dekatnya, Solihin (35), mengatakan, kasus bunuh diri itu dipicu masalah restu pernikahan yang dialami Mardiyan sejak akhir 2018. Permasalahan itu juga yang membuat Mardiyan tidak pulang ke kampung halaman selama tiga bulan terakhir.
Berdasarkan keterangan dari kerabat terdekat, permasalahan yang memicu bunuh diri itu ternyata tidak begitu didengar. Sebagai contoh, Solihin sebagai kerabat terdekat Mardiyan di kota tidak banyak mengetahui permasalahan yang dialami Mardiyan.
Kepala Koordinator Into The Light Benny Prawira mengatakan, gerak-gerik seseorang yang mengalami depresi dapat terlihat saat mereka mulai menarik diri dari keramaian. Saat depresi, ada kecenderungan seseorang mengalami bias pola pikir yang dapat mengarah pada tendensi untuk bunuh diri.
”Hal yang tidak disadari, persoalan kemiskinan turut memengaruhi kesehatan mental seseorang. Saat mental dalam kondisi tidak sehat, risiko seseorang melakukan bunuh diri juga meningkat,” kata Benny.
Persoalan itu diperparah dengan kurangnya literasi masyarakat kota terhadap kesehatan jiwa. Menurut Benny, masyarakat di Indonesia tidak teredukasi untuk mencari bantuan ketika mengalami masalah kejiwaan.
Jajak pendapat Kompas pernah menghimpun pendapat publik tentang problematika kesehatan jiwa. Dari 548 responden, 88,5 persen responden di perkotaan pernah mengalami hal menyedihkan yang mengguncang sisi psikis. Sementara itu, hanya 8,9 persen responden yang menyatakan tidak pernah memiliki pengalaman itu.
Ketika mengatasi perasaan yang dinilai mengguncang psikis, sebagian besar responden (74,1 persen) memilih pendekatan secara religius. Sebagian lainnya mengatasi hal itu dengan bersosialisasi kepada kerabat terdekat (12,5 persen) atau menyibukkan diri dengan hobi (8,9 persen). Sementara itu, hanya 2,9 persen responden yang memilih pendekatan medis saat mengalami kesedihan mendalam.
Benny mengatakan, kerabat terdekat berperan penting dalam mencegah tendensi seseorang untuk bunuh diri. Seseorang yang telah memiliki tendensi bunuh diri perlu lebih banyak didengar dan diberi kesempatan untuk berbicara.
”Ketika kita tahu seseorang bertendensi ingin bunuh diri, tidak salah jika kita menanyakan secara langsung secara rinci tentang rencananya tersebut. Dari situ, kita bisa menggali permasalahannya dan bisa mencegahnya untuk bunuh diri,” ucap Benny.
Cara seperti itu, menurut Benny, dapat menampung luapan emosi seseorang yang bertendensi bunuh diri. Untuk tindakan lebih lanjut, orang itu dapat diarahkan ke klinik atau puskesmas yang memiliki unit penanganan psikologi.
”Dengan cara itu, kita bisa menghindarkan seseorang dari percobaan bunuh diri yang paling mudah, yakni gantung diri,” ucap Benny. (Aditya Diveranta)