JAKARTA, KOMPAS — Kendati tekanan global mereda, tetapi dinamika politik jelang pemilihan umum dinilai menjadi faktor penghambat masuknya investasi ke dalam negeri. Kepercayaan investor akan berangsur pulih apabila pemerintah mampu menjaga kondisi ekonomi tetap stabil.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong mengatakan, dinamika politik menjadi salah satu penyebab investasi tumbuh melambat. Menurut catatan BKPM dalam 15 tahun terakhir, perlambatan pertumbuhan investasi akan terjadi satu tahun sebelum pelaksanaan pemilihan umum (pemilu).
“Begitu pemilu berakhir, investasi akan mengalami pemulihan yang cukup kencang,” ujar Thomas saat menjadi pembicara kunci proyeksi pasar 2019 di Jakarta, Rabu (13/2/2019).
Berdasarkan data BKPM, realisasi investasi pada Januari-Desember 2018 sebesar Rp 721,3 triliun atau meningkat 4,1 persen secara tahunan. Namun, pertumbuhan investasi tahun 2018 lebih rendah dari tahun 2017 yang mencapai 10 persen.
Berdasarkan data BKPM, realisasi investasi pada Januari-Desember 2018 sebesar Rp 721,3 triliun atau meningkat 4,1 persen secara tahunan.
Di tahun politik, lanjut Thomas, cukup banyak distorsi dan tekanan terhadap perekonomian domestik. Oleh karena itu, pemerintah terpaksa menunda sejumlah terobosan kebijakan terkait investasi karena rawan dipolitisasi. Salah satu kebijakan yang sempat menimbulkan polemik adalah relaksasi daftar negatif investasi.
“Harapannya, reformasi struktural bisa dilanjutkan setelah siklus politik lewat. Tekanan dan distorsi yang terakumulasi harus ditangani segera pasca pemilu. Jika tidak dibereskan bisa meledak tahun 2020 atau 2021,” kata Thomas.
Selain dinamika politik dalam negeri, perlambatan pertumbuhan investasi juga dipengaruhi situasi perekonomian global. Pertumbuhan investasi asing langsung di tingkat global menurun hingga 20 persen pada 2018. Pertumbuhan investasi tahun ini diperkirakan lebih optimistis seiring tekanan eksteral yang mereda, seperti negosiasi perang dagang AS-China dan pelonggaran kebijakan moneter AS.
Deputy Chief Investment Officer PT Mandiri Manajemen Investasi Aldo Perkasa mengatakan, upaya menarik investasi asing langsung ke dalam negeri cukup menantang di tahun politik. Kendati sebagian deregulasi kebijakan sudah terimplementasi, tetapi investor lebih memilih untuk melihat dan menunggu ekonomi domestik lebih stabil pasca pemilu.
“Investasi terutama penanaman modal asing diperkirakan baru pulih mulai triwulan IV-2019,” kata Aldo.
Investasi portofolio tetap menjadi penopang arus modal asing masuk ke pasar Indonesia. Namun, pemerintah dan perbankan disarankan membidik investasi portofolio yang berkualitas dan berjangka panjang. Salah satu caranya dengan mendiversifikasi jenis pendanaan, misalnya, di bidang pembangunan infrastruktur atau layanan penerbangan.
Investasi jasa
Thomas berpendapat, selama ini investasi cenderung terfokus pada bidang infrastruktur dan perdagangan barang. Padahal, investasi pada sektor jasa dinilai cukup menjanjikan. Beberapa sektor jasa, seperti telekomunikasi, konstruksi, pariwisata, dan kesehatan, konsisten tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional.
Di tengah defisit neraca perdagangan barang, neraca perdagangan jasa justru menunjukkan tren positif. Berdasarkan data Bank Dunia, sektor jasa pada 2017 berkontribusi 43,6 persen dari total PDB Indonesia. Kontribusi sektor jasa merupakan yang terbesar dibandingkan dengan sektor manufaktur (21 persen) dan pertanian (13 persen).
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Desember 2018 defisit 8,57 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 120,6 triliun. Nilai itu merupakan defisit terdalam neraca perdagangan Indonesia sejak 1975. Defisit neraca perdagangan terutama disebabkan defisit neraca minyak dan gas bumi.
Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Faisal Basri menambahkan, investasi sektor jasa yang dapat dibuka untuk asing, antara lain pendirian universitas swasta, pembangunan rumah sakit, dan pengembangan industri asuransi. Namun, membuka investasi untuk asing di tahun pemilu rawan dipolitisasi sehingga pemerintah cenderung menahan.
“Jangan sampai 16 paket kebijakan ekonomi lenyap hanya karena kepentingan politis. Indonesia tetap membutuhkan investor asing,” kata Faisal.
Investasi jangka panjang diperlukan untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Dari hitungan tim ekonom Bank Mandiri, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5,5 persen, dibutuhkan rasio investasi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 34 persen dengan asumsi Incremental Capital Output Ratio (ICOR) sebesar 6,0. Rasio investasi terhadap PDB saat ini 32 persen.