Indonesia Kemungkinan Gagal Kurangi Jumlah Perokok dan Obesitas
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penyakit tidak menular masih menjadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Pencegahan dini dapat dilakukan dengan aktif melakukan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat atau Germas. Sayangnya, Indonesia kemungkinan gagal memenuhi target organisasi kesehatan dunia untuk mengurangi jumlah perokok dan penderita obesitas.
Berdasarkan data yang disusun healthdata.org, sejak 2007 hingga 2017, penyakit tertinggi yang menyebabkan kematian di Indonesia, yaitu stroke. Di bawah stroke terdapat penyakit jantung iskemik. Kementerian Kesehatan RI juga menyebutkan kedua penyakit tersebut menyebabkan korban meninggal tertinggi di Indonesia, yaitu stroke sebesar 21,1 persen dan penyakit jantung 12,9 persen.
Dosen di Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Indah S Widyahening mengatakan, faktor risiko penyebab penyakit tidak menular di Indonesia, yaitu merokok, obesitas, dan tekanan darah. “Indonesia kemungkinan besar tidak akan mampu memenuhi target WHO (World Health Organization) untuk mengurangi jumlah perokok dan obesitas,” kata Indah.
Pernyataan tersebut disampaikan Indah dalam seminar pada rangkaian Rapat Kerja Kesehatan Nasional 2019 di Tangerang, Rabu (13/2/2019). Ia mengatakan, WHO telah menargetkan, prevalensi obesitas pada tahun 2025, yaitu tidak ada peningkatan dibandingkan tahun 2010.
Pada kenyataannya, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2018, prevalensi obesitas pada perempuan dan laki-laki meningkat menjadi 21,8 persen. Sebelumnya, pada 2010 prevalensi obesitas yang diderita perempuan sebesar 6,9 persen dan laki-laki 3,2 persen.
WHO juga menargetkan agar persentase jumlah perokok dapat menurun sebesar 30 persen pada 2010. Sementara itu, jumlah perokok di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, prevalensi perokok di Indonesia terus meningkat, yaitu 27 persen pada 1995 menjadi 36,3 persen pada 2013.
Merujuk pada WHO, Indah menyarankan agar pemerintah daerah dan pusat bersama-sama menekan jumlah perokok. “Pemerintah daerah dapat membuat kebijakan untuk melarang merokok di area tertentu dan mengurangi iklan rokok, serta menganjurkan untuk mengurangi pola makan tidak sehat,” ujarnya.
Menurut Indah, pemerintah pusat dapat meningkatkan pajak tembakau. Kebijakan ini dipandang dapat mengurangi jumlah perokok di Indonesia.
Ia memberikan contoh pemerintah Thailand yang berani mengambil kebijakan agar dapat mencapai target dari WHO. Mereka membentuk Thai Health Promotion Foundation yang langsung diketuai oleh Perdana Menteri. Untuk menjalankan program tersebut, pemerintah Thailand menggunakan dana dari peningkatan pajak tembakau dan alkohol.
Beberapa contoh program yang dilakukan pemerintah, yaitu penambahan jam pelajaran olahraga, kegiatan fisik, membatasi penjualan minuman berkarbonasi di sekolah, dan lain-lain. Indah mengatakan, pemerintah Indonesia telah memiliki program Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas).
Ia berharap, masyarakat Indonesia mau mendukung gerakan tersebut sebagai upaya untuk mencegah penyakit tidak menular sejak dini. Masyarakat dapat melakukan aktivitas fisik di tempat umum, sedangkan pemerintah dapat menerapkan kota ramah sepeda dan pejalan kaki.
Agar rajin mengkonsumsi sayur dan buah, kampanye terkait pola makan sehat dapat digaungkan di media massa. Selain itu, dapat menerapkan kantin sehat di sekolah dan tempat kerja.
Masyarakat juga didorong untuk memeriksa kesehatan secara berkala. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, pemerintah dapat memeriksa kesehatan pada hari perayaan nasional dan peringatan kesehatan.
Pelayanan kesehatan
Selain menyadarkan masyarakat terkait pentingnya pencegahan dini terhadap penyakit tidak menular, pelayanan rumah sakit perlu ditingkatkan. Ketua Program Pengampuan Rumah Sakit Rujukan dan Rujukan Nasional Kardiovaskular Hananto Andriantoro memandang, sistem rujukan di Indonesia terkait kardiovaskular (berhubungan dengan jantung dan pembuluh darah) masih belum baik.
Ia menegaskan, perujuk harus memiliki kompetensi pada pengetahuan, kemampuan, dan tingkah laku. Pada sisi pengetahuan, pelayanan kesehatan tingkat pertama harus memahami manajemen terkait permasalahan kegawatan kardiovaskular.
Mereka juga harus memiliki kemampuan yang baik untuk mendukung sistem pelayanan kegawatan kardiovaskular. Selain itu, dukungan moril yang kuat dari manajemen akan menciptakan perilaku dan etos kerja karyawan yang baik.
Gangguan jiwa
Masalah penyakit tidak menular lain yang perlu mendapatkan perhatian khusus, yaitu terkait gangguan jiwa. Ketua Umum Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Nova Riyanti Yusuf mengatakan, gangguan pada mental emosional dapat berujung pada tindakan bunuh diri.
Merujuk data WHO, satu dari empat orang dapat mengalami gangguan jiwa. Ia mengatakan, gejala gangguan mental emosional, yaitu mempunyai pikiran untuk mengakhiri hidup dan tidak mampu melakukan hal-hal bermanfaat dalam hidup.
Selain itu, mereka juga merasa tidak berharga, kehilangan minat pada berbagai hal, dan pekerjaan sehari-hari terganggu. Sebagian besar situasi tersebut dialami oleh orang muda, sehingga sebagian besar kematian tertinggi akibat bunuh diri terjadi pada orang berumur 15 hingga 29 tahun.
Nova mengatakan, gangguan jiwa sangat lazim terjadi pada remaja dengan perilaku bunuh diri. Namun, tidak semua tindakan bunuh diri disebabkan oleh gangguan jiwa. “80 hingga 90 persen remaja yang meninggal karena bunuh diri mempunyai psikopatologi signifikan seperti gangguan mood, gangguan cemas, masalah perilaku, dan penyalanggunaan narkotika serta narkoba,” ujarnya.
Menurut WHO Global Health Estimates 2017, kematian global tertinggi akibat bunuh diri, yaitu pada usia 20 tahun. Sebagian besar dari mereka tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah.