Karet Terpuruk, Nasi Petani Pun Tak Berlauk
Harga karet yang tidak juga merangkak naik terus menggerus perekonomian warga. Petani karet hidup seadanya, sebagian bahkan terpaksa merantau ke kota untuk mencari pekerjaan sebagai buruh. Petani lain menebang dan membakar tanaman karetnya untuk diganti komoditas lain. Adapun pabrik karet kembang kempis karena pasokan dari petani seret.
Kesusahan itu tergambar di sebuah rumah kayu di tengah kebun karet di Desa Lakhene, Kecamatan Mandrehe, Kabupaten Nias Barat, Sumatera Utara, Minggu (13/1/2019). Mareko Gulo (55) dan keluarganya sedang makan nasi tanpa lauk-pauk. Cucunya yang baru berusia satu tahun bahkan hanya makan nasi yang disiram air hangat. Keluarga petani itu terpuruk karena harga karet yang anjlok.
”Keluarga kami sudah turun-temurun hidup dari kebun karet. Namun, kini kami tidak bisa bertahan lagi hanya dengan kebun karet. Anak saya yang sebelumnya sempat menyadap karet kini sudah merantau ke Jakarta jadi buruh pabrik,” ujar Mareko.
Untuk menghemat beras, keluarga itu hanya makan dua kali sehari pada siang dan malam, tidak sarapan.
Hasil sadapan kebun Mareko biasanya menghasilkan 140 kilogram (kg) karet dalam sebulan. Saat harga karet Rp 20.000 per kg, ia mendapat hasil sekitar Rp 2,8 juta per bulan. Uang itu cukup untuk membeli beras dan lauk-pauk bagi keluarganya yang berjumlah delapan orang. Anak, menantu, dan cucunya yang tinggal bersamanya membantu menyadap karet.
Namun, kini harga karet hanya sekitar Rp 6.000 per kg. Penghasilan keluarga pun anjlok menjadi hanya Rp 840.000 per bulan. ”Hasil ini hanya cukup membeli dua karung beras. Sesekali kami membeli ikan asin,” katanya.
Untuk menghemat beras, keluarga itu hanya makan dua kali sehari pada siang dan malam, tidak sarapan. Terkadang persediaan beras tidak cukup sehingga mereka harus berutang ke kedai. Situasi ini membuat mereka terpuruk lebih dalam karena kemudian mereka harus menjual karet ke kedai itu dengan harga yang sedikit lebih murah dari harga pasar.
Kepulauan Nias yang terdiri dari empat kabupaten dan satu kota merupakan wilayah yang paling terdampak penurunan harga karet karena 80 persen warganya hidup dari komoditas itu. Dulu, ketika harga karet tinggi, tidak sedikit anak petani karet di Nias bisa melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi.
Ketika dulu harga karet sedang tinggi, Feresi Gulo (45), petani karet di Desa Lologolu, masih di Kecamatan Mandrehe, berniat menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. ”Niat itu kini hanya tinggal mimpi. Untuk makan saja sekarang kami sangat sulit,” katanya.
Karena sendirian menyadap karet, ia hanya mendapat sekitar 100 kg karet per bulan. ”Saya hanya bisa mengumpulkan sekitar Rp 600.000 per bulan,” ujarnya.
Keterpurukan ekonomi di Kepulauan Nias terlihat dari banyaknya anak yang putus sekolah, sepeda motor dijual, dan warung-warung tutup. Banyak warga yang tidak mampu bertahan sehingga merantau ke kota besar, seperti Medan atau Jakarta.
Awal tahun ini, kata Mareko, lebih dari 50 warga desanya pergi merantau. Adapun anak Mareko sudah lebih dari setahun merantau ke Jakarta dengan istrinya. Cucunya yang berusia dua tahun ditinggalkan di Nias. ”Di Jakarta, mereka hanya bisa kerja serabutan. Kami berharap dia bisa membantu keluarga, tetapi hingga kini belum bisa,” ujarnya.
Para petani karet di Nias tidak punya banyak pilihan untuk menanam jenis tanaman lain karena sebagian besar lahan pertanian di sana merupakan perbukitan terjal. Karet adalah tanaman yang paling cocok dibudidayakan di Nias. Para petani berharap harga karet bisa kembali naik, paling tidak menjadi Rp 10.000 per kg, agar bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Bupati Nias Sokhiatulo Laoli mengatakan, pemerintah daerah di Kepulauan Nias menyadari, perekonomian di kepulauan tersebut sangat terpukul akibat harga karet yang anjlok. ”Namun, kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk menaikkan harga karet. Pemerintah pusat saja sampai sekarang belum bisa memperbaiki harga karet. Ini pasar dunia yang menentukan,” katanya.
Menurut Sokhiatulo, mereka juga belum bisa memberikan alternatif mata pencarian untuk warga. Pariwisata dan perikanan hanya menghidupi sebagian kecil warga di pesisir pantai. Sementara warga di pegunungan bergantung sepenuhnya pada karet.
Harga karet di Nias juga sulit terangkat karena di kepulauan itu tidak ada pabrik pengolahan karet remah. Gumpalan getah karet dari kebun langsung dikapalkan ke Sibolga tanpa nilai tambah apa pun.
Jika petani di Kepulauan Nias tak punya pilihan lain, petani di daratan Sumatera memilih menebangi karetnya dan mengganti dengan tanaman lain. Hal itu seperti terjadi di Desa Bah Damar, Kecamatan Dolok Merawan, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumut.
Kepala Desa Bah, Damar Mislan Purba, mengatakan, petani karet di desanya sudah frustrasi dengan harga karet yang anjlok. Hampir setiap hari ada petani yang menebang tanaman karet. Semula, luas kebun karet di desa itu lebih dari 150 hektar lebih. Kini, luasannya tak sampai 100 hektar.
Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut Edy Irwansyah mengatakan, tidak hanya ekonomi desa penghasil karet yang terpuruk akibat harga yang anjlok. Pabrik karet remah di Sumut juga satu per satu berhenti beroperasi atau mengurangi produksi karena kekurangan bahan baku.
”Bahan olah karet hanya cukup untuk memproduksi 400.000 ton karet remah per tahun. Padahal, kapasitas terpasang seluruh pabrik karet remah di Sumut 820.000 ton,” kata Edy.
Kekurangan bahan baku juga membuat pabrik karet remah di Sumut merugi. Pasalnya, pabrik harus tetap membayar biaya tenaga kerja dan operasional secara penuh meski produksi berkurang. Ongkos produksi karet remah membengkak hingga 50 persen. Beberapa perusahaan sudah mulai merumahkan karyawan.
Jika krisis bahan baku ini berlanjut, katanya, sejumlah perusahaan mempertimbangkan penutupan pabrik. Krisis bahan baku pabrik-pabrik karet di Sumut, lanjutnya, merupakan alarm bahaya bagi industri karet, salah satu penopang utama perekonomian Sumut. Karet remah juga komoditas ekspor andalan nasional.
Industri ini menghidupi ekonomi masyarakat dari hulu pertanian, pabrik karet remah produsen barang setengah jadi, hingga ke hilir berupa industri barang jadi karet, terutama pabrik ban. Kini, ekosistem industri karet nasional pun terpuruk.
Harga karet remah jenis TSR (technical specified rubber) 20 saat ini sekitar 1,4 dollar AS per kilogram. Harga itu naik dibandingkan awal Desember 2018 yang menyentuh 1,2 dollar AS. Namun, harga tersebut masih cukup jauh di bawah harga tahun 2011 yang pernah menyentuh 4,5 dollar AS.
Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Utara Herawati mengatakan, mereka tidak bisa berbuat banyak untuk menaikkan harga karet. ”Kami hanya bisa meminta agar penyerapan karet dalam negeri ditingkatkan,” ujarnya.
Menurut Herawati, dari total produksi karet nasional sekitar 3,2 juta ton per tahun, hanya 15 persen yang diserap industri dalam negeri, yang sebagian besar adalah industri ban. Sisanya dijual ke pasar dunia dalam bentuk karet remah.
Untuk meningkatkan penyerapan telah dibuat diversifikasi produk karet, seperti untuk campuran aspal, sandaran kapal, sandal, karpet, dan polisi tidur. Namun, hingga kini belum berjalan maksimal.
Herawati mengatakan, menurunnya harga karet merupakan salah satu kontributor utama yang membuat nilai tukar petani (NTP) subsektor tanaman perkebunan rakyat selalu berada di bawah 100 dalam beberapa tahun belakangan. NTP di bawah 100 berarti penghasilan petani lebih rendah daripada pengeluarannya.
Menurut data Badan Pusat Statistik Sumut, NTP subsektor tanaman perkebunan rakyat pada Desember 2018 berada pada titik yang sangat rendah, yakni 91,23. Angka itu turun drastis jika dibandingkan Desember 2017 yang mencapai 98,53.
Pembatasan ekspor menjadi salah satu hal yang dibicarakan.
Herawati menyatakan, pemerintah tetap mencari alternatif untuk menyelamatkan para petani karet. ”Namun, untuk menaikkan harga karet, kami hampir tidak bisa berbuat apa-apa,” katanya.
Edy menuturkan, salah satu langkah yang bisa ditempuh untuk menaikkan kembali harga karet adalah program pembatasan ekspor oleh negara penghasil karet. Program itu pun sudah beberapa kali dilakukan dan berhasil menaikkan harga karet. Namun, setelah pembatasan ekspor selesai, harga kembali turun.
Pada 12-13 Desember 2018, tiga negara anggota International Tripartite Rubber Council, yakni Indonesia, Thailand, dan Malaysia, bertemu di Malaysia untuk mencari jalan keluar tentang harga karet yang anjlok. Pembatasan ekspor menjadi salah satu hal yang dibicarakan.
Hingga kini, petani masih menunggu kebijakan yang bisa mengangkat harga karet. Semoga mereka tak perlu terlalu lama menunggu....