Wacana penempatan prajurit TNI dalam jabatan di lembaga negara menimbulkan dinamika di media massa beberapa pekan terakhir. Situasi serupa pernah terjadi pada awal kemerdekaan Republik Indonesia dengan munculnya kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi (Re Ra) yang memangkas jumlah prajurit dari tubuh TNI.
Sejarawan Robert Cribb dalam buku Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and The Indonesian Revolution 1945 – 1949 mencatat di tahun 1948, ketika dilakukan Re Ra, pangkat AH Nasution diturunkan menjadi Kolonel dari Mayor Jenderal dan dia pun menjadi pelaksana reorganisasi dan rasionalisasi. Langkah mengembalikan ribuan serdadu ke kehidupan sipil menjadikan Nasution yang saat itu menjabat Asisten Operasi KSAD, tidak populer di mata pihak yang mengalami demobilisasi.
Akademisi Nahdlatul Ulama yang sedang menempuh pendidikan doktoral di Inggris, Munawir Azis dalam buku Pahlawan Santri Tulang Punggung Pergerakan Nasional menceritakan, bahkan tidak sedikit mantan santri yang menjadi lasykar turut dikembalikan ke kehidupan sipil. Begitu juga aktivis buruh dan pergerakan yang turut memanggul senjata semasa itu.
Robert Cribb menulis, Nasution dijuluki sebagai “ Toekang Loetjoeti” karena dia membubarkan berbagai satuan dan mengembalikan kehidupan serdadu pemanggul senjata kembali menjadi orang awam. Para mantan serdadu itu tidak sedikit yang menjadi “jagoan” ketika kembali di masyarakat. Ada ungkapan kegalauan eks-serdadu yang menyatakan, lain di front lain di kota, karena merasa tersisih.
Situasi serupa terulang di Indonesia saat ini, terutama di jajaran Perwira TNI. Seorang Kepala Staf Angkatan pada suatu malam di rumah dinas bercerita kepada penulis tentang keresahan para perwira karena non–job.
“Penyebabnya pada jaman akhir Orde Baru rekrutmen Taruna Akabri jauh lebih banyak dari pos yang tersedia di organisasi TNI. Ditambah lagi perubahan aturan usia pensiun. Akhirnya terjadi bottle neck dan antrian gerbong regenerasi di seluruh matra,” kata Kepala Staf yang kini menikmati masa pensiun dengan tenang.
Menurut dia, dalam kurung 1990-an hingga awal 2000-an, jumlah Taruna yang diterima jauh melampaui kebutuhan organisasi. Itu tidak terlepas dari kepentingan rezim penguasa Orde Baru yang memasuki senjakala dan berusaha menggantungkan dukungan pada organisasi militer.
Namun kekuasaan Orde Baru berakhir tahun 1998 di saat para Taruna tersebut sudah lulus menjadi perwira remaja TNI. Kini setelah 20 tahunan berdinas, di tahun 2019 pangkat mereka umumnya telah mencapai Kolonel dan Perwira Tinggi Bintang Satu.
Selanjutnya yang terjadi adalah keberadaan perwira berpangkat dan berpengalaman tetapi tidak memiliki job karena jumlah mereka melampaui kebutuhan organisasi sebagai dampak kebijakan politik tahun 1990-an. Walhasil di masing-masing Matra TNI pun ada gurauan soal itu. Semisal di TNI AL yang memiliki Korps Pelaut, umumnya disebut dalam kepangkatan Kolonel Laut. Dalam situasi saat ini ketika terjadi kelebihan perwira, sebutan yang muncul adalah “Lautan Kolonel”.
Harus Diberi Solusi
Pengamat militer dan pengajar Universitas Pertahanan Connie Rahakundini Bakrie mengatakan, kelebihan jumlah Kolonel dan Perwira Tinggi non-job yang disebut mencapai 800-an orang itu harus diberi solusi. “Ini kondisi riil yang tidak bisa dijawab sekedar perdebatan militer masuk ke ranah sipil jika mereka ditempatkan di lembaga negara. Politisi yang belum tentu mendukung ideologi negara pun bisa masuk memegang jabatan di lembaga negara”, kata Bakrie.
Menurut dia ada sejumlah alternatif, seperti menempatkan mereka di lembaga sipil dengan syarat khusus dan sesuai aturan, memberikan pensiun dini dengan syarat adanya kemampuan konsolidasi dan mengatasi dinamika politik, atau memekarkan organisasi TNI, tentu dengan konsekuensi biaya yang juga tidak sedikit.
Peneliti dari Universitas Paramadina Anton Ali Abas mengingatkan, secara internal organisasi, TNI pun tidak boleh terlena dan harus aktif ikut menyelesaikan persoalan tersebut. Anton dalam berbagai kesempatan mengingatkan lembaga TNI soal pengawasan tata kelola karir prajurit TNI. Ini sejalan dengan kondisi transisi demokrasi Indonesia yang membutuhkan penguatan kapasitas dan pengembangan.
Sedangkan pengamat militer dan pegiat HAM dari Imparsial, Al Araf mengingatkan, persoalan saat ini adalah dampak kelemahan tata kelola internal organisasi TNI dalam mengantisipasi perubahan pasca Reformasi tahun 1998 dan Undang – Undang TNI yang memperpanjang usia pensiun dari 55 tahun menjadi 58 tahun.
Dalam pandangan Al Araf, beragam pilihan yang ada, diantaranya menambah atau memperkuat struktur dan jabatan baru dengan fungsi Operasi Militer Perang (OMP), membuat komando gabungan pertahanan dengan konsekuensi mengurangi struktur yang tidak efektif, menjalankan program zero growth, promosi kepangkatan berbasis kompetensi, membatasi peserta Sesko TNI, dan membangun cyber defense serta militer yang memiliki outward looking dan menghadapi perang asimetris.
Adapun Kapuspen TNI Mayjen (TNI) Sisriadi dalam kunjungan ke Menara Kompas, Senin siang (11/2) menegaskan, penempatan perwira TNI dalam lembaga negara adalah sesuai dengan kebutuhan dan kompetensi. “Ini beda dengan Dwi Fungsi. Jaman Orde Baru, perwira TNI dijadikan kepala daerah atau Menteri. Rencana restruksturisasi akan menempatkan perwira TNI ke dalam struktur birokrasi di kementerian atau lembaga negara,” kata Kapuspen TNI.
Apapun langkah yang diambil, TNI sebagai salah satu potensi bangsa tidak bisa diabaikan dalam menghadapi tantangan jaman yang berubah. Militer sebagai lembaga yang terorganisasi harus dikelola dengan seksama serta siap menghadapi berbagai tantangan di berbagai medan penugasan perang dan non-perang.