Setelah Negara Islam di Irak dan Suriah dikalahkan, konflik di Irak ternyata tak kunjung surut. Iran dan Amerika Serikat yang sebelumnya memerangi NIIS justru bersitegang di Irak.
Jika konflik militer Iran-Israel di Suriah sudah menjadi berita harian hampir semua media internasional dalam dua tahun terakhir ini, kini konflik militer Iran-Amerika Serikat di Irak berpotensi meramaikan situasi Timur Tengah.
Milisi loyalis Iran di Irak hari Sabtu (9/2/2019) menembakkan rudal Grad ke arah pangkalan udara militer Ain al-Asad di Provinsi Al-Anbar, barat kota Baghdad. Pangkalan udara militer Ain al-Asad adalah pangkalan terbesar pasukan AS yang masih bertahan di Irak. Kini diperkirakan hanya ada sekitar 5.000 personel pasukan AS di Irak.
Presiden AS Donald Tump pada 26 Desember lalu secara mengejutkan mengunjungi pangkalan militer itu untuk merayakan Natal bersama pasukan AS. Di depan pasukan AS, Trump menegaskan, AS belum memiliki rencana menarik pasukan dari Irak, bahkan AS bisa menggunakan wilayah Irak sebagai pangkalan terdepan untuk operasi di Suriah. Trump pun mengatakan, AS masih butuh pangkalan di Irak untuk memantau gerakgerik Iran.
Beberapa hari setelah kunjungan itu, sejumlah rudal Grad ditembakkan ke arah Ain al-Asad dan jatuh tak jauh dari pangkalan militer itu. Rudal diduga ditembakkan oleh milisi loyalis Iran di Irak.
Sejumlah pengamat menyebut kunjungan mendadak Presiden Trump ke Ain al-Asad menegaskan AS butuh pangkalan militer di Irak sebagai balasan atas sikap Irak yang menolak memberi sanksi terhadap Iran setelah Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran.
Pemerintah Irak saat ini selalu meminta pengecualian dari aksi menjatuhkan sanksi kepada Iran. Sebaliknya, AS menilai Iran dan loyalisnya di Irak berada di balik kecenderungan penolakan Irak untuk ikut menjatuhkan sanksi terhadap Teheran.
Karena itu, AS memilih menghadapi Iran dan loyalisnya di Irak. Bahkan, AS kini memandang Iran sama berbahayanya dengan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Agenda utama lawatan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo ke Timur Tengah pada awal Januari lalu adalah membangun aliansi menghadapi pengaruh Iran yang semakin kuat di kawasan.
Milisi Iran
Di tengah tekad AS terus mempertahankan pangkalan militer di Irak, Iran serta kekuatan politik dan milisi bersenjata loyalis Iran di Irak segera merapatkan barisan untuk mendepak pasukan AS dari Irak. Milisi yang paling menonjol saat ini adalah milisi Hashid al-Shaabi yang dibentuk tahun 2014 untuk memerangi NIIS. Milisi Hashid al-Shaabi diperkirakan memiliki sekitar 150.000 personel.
Dubes Iran untuk Irak Erg Masjedi menyerukan penarikan pasukan AS dari Irak karena legitimasi keberadaan pasukan AS di Irak sudah tidak ada lagi setelah kekalahan NIIS.
Dubes Iran itu juga meningkatkan pertemuannya dengan para pejabat Irak dan pimpinan partai-partai politik di negara itu dalam upaya menyatukan sikap menghadapi AS.
Kekuatan-kekuatan politik Syiah kini sedang intensif melakukan koordinasi untuk mengeluarkan rancangan undang-undang di parlemen yang meminta pasukan AS hengkang dari Irak.
Aliansi Sairoon yang dipimpin Moqtada al-Sadr dan aliansi Al-Fath yang dipimpin Hadi al-Amiri adalah dua kekuatan politik Syiah yang intensif melakukan koordinasi itu.
Anggota parlemen dari aliansi Sairoon, Sabah al-Saidi, menyerukan diakhiri kesepakatan keamanan Irak-AS yang mengatur dan memberi legitimasi kepada keberadaan pasukan AS di Irak saat ini.
Seperti diketahui, Irak dan AS mencapai kesepakatan keamanan tentang status keberadaan pasukan AS di Irak (SOFA/Status of Forces Agreement) pada tahun 2008.
Eskalasi hubungan AS-Irak tersebut merupakan dinamika baru dalam hubungan kedua negara sejak invasi AS ke Irak tahun 2003.