JAKARTA, KOMPAS - Penguatan mata uang rupiah pada Februari 2019 tertahan oleh persepsi pelaku pasar valuta asing. Rumor meredanya perang dagang antara AS-China turut jadi sumber tenaga penguatan dollar AS terhadap mata uang utama dan mata uang negara berkembang.
Berdasarkan kurs nilai tukar Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), Rabu (13/2/2019), rupiah berada di level Rp 14.027 per dollar AS. Posisi rupiah menguat 0,43 persen dibandingkan hari sebelumnya yakni 14.088 per dollar AS. Namun, posisi ini lebih lemah dari kondisi 1 Februari 2019 saat rupiah berada di level 13.978 per dollar AS.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah menuturkan pelemahan rupiah disebabkan oleh penguatan nilai tukar dollar AS dalam skala global. Penguatan ini, dipicu oleh keberlangsungan negosiasi sengketa dagang antara AS dan China.
“Penguatan dollar AS sempat terjadi merata baik terhadap mata uang utama maupun mata uang negara berkembang. Ini adalah respon pasar terhadap negosiasi perang dagang dan kegiatan ekonomi di Eropa yang terus merosot,” ujarnya.
Jika dibandingkan dengan mata uang lain di Asia, secara harian, rupiah sebenarnya menunjukkan penguatan paling tinggi di antara mata uang Asia lainnya. Penguatan rupiah disusul oleh rupee India yang menguat 0,35 persen dan won Korea Selatan yang yang naik 0,29 persen. Adapun nilai tukar yen Jepang terhadap dollar AS justru melemah 0,14 persen.
Dibandingkan dengan mata uang lain di Asia, secara harian, rupiah menunjukkan penguatan paling tinggi.
Nanang mengatakan selera investor terhadap aset keuangan di AS kembali meningkat usai Presiden AS Donald Trump menyatakan adanya kemungkinan memperpanjang batas waktu untuk mencapai kesepakatan perdagangan dengan China.
BI mencatat arus masuk modal asing ke Indonesia per 7 Febuari 2019 mencapai Rp 49,6 triliun. Aliran dana tersebut masuk melalui surat berharga negara (SBN) dan pasar saham. Meski aliran masuk modal asing berlanjut, defisit neraca perdagangan sepanjang 2018 sebesar 1,1 miliar dollar AS masih menjadi beban penguatan rupiah.
Adapun konsolidasi aksi merger perbankan yang marak dilakukan awal tahun ini, lanjut Nanang, tidak terlalu memberikan dampak signifikan sebagai faktor penguat rupiah. Menurut dia, pasokan valas dari aksi konsolidasi perbankan awal tahun ini baru berkisar 700 juta dollar AS atau sekitar Rp 9,83 triliun.
Head of Industry and Regional Research Department Office of Chief Economist PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Dendi Ramdani, memastikan hambatan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS hanya akan berlangsung dalam jangka pendek.
“Tidak ada faktor fundamental seperti tekanan CAD (defisit transaksi berjalan),” ujarnya.
Defisit transaksi berjalan pada tahun ini diprediksi akan berada di kisaran 2,7 persen hingga 2,8 persen dari produk domestik bruto (PDB). Nilai ini lebih kecil dibandingkan defisit transaksi berjalan pada 2018 lalu yang tercatat sebesar 2,98 persen PDB.
Dendi menilai keperkasaan dollar AS untuk sementara waktu terjadi akibat pasar sudah terlebih dahulu merespons positif kesepakatan yang akan dijalani AS dan China pada 1 Maret 2019. Meski belum ada kejelasan terkait bentuk kesepakatan yang terjalin, optimisme pelaku pasar terhadap meredanya perang dagang tumbuh.
“Harapan akan semakin membaiknya ekonomi AS mendorong nilai mata uang dollar AS ikut menguat, meskipun akhir tahun lalu pengamat ekonomi telah memprediksi AS alami perlambatan ekonomi tahun ini,” kata Dendi.
Pasar modal
Sulitnya rupiah keluar dari tekanan penguatan dollar AS serta minimnya sentimen domestik membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali melemah. Pada perdagangan Rabu (13/2/19), IHSG ditutup pada level 6.419,12 melemah 0,11 persen dari perdagangan hari sebelumnya.
Secara eksternal, Analis Binaartha Sekuritas Nafan Aji menilai pelaku pasar modal juga masih menunggu proses negosiasi perdagangan antara AS dan China.
Sepanjang perdagangan kemarin, investor asing mencatat aksi jual bersih sebesar Rp 1,38 triliun. Namun jika dibandingkan sejak awal tahun 2019, investor asing telah mencatatkan aksi beli bersih mencapai Rp 12,21 triliun. Sepanjang 2019 IHSG naik sebesar 3,63 persen.