Menaruh Harapan dari Industri Tekstil
Cemerlang industri dan produk tekstil Jawa Barat tengah diuji. Redup di rumah lamanya, mulai terang di tempat baru. Butuh perhatian lebih agar keberadaannya tetap menjadi cahaya bagi banyak orang.
Jalan masuk ke pabrik PT MSJ di Kota Cimahi, Jawa Barat, lengang, Senin (11/2/2019). Hanya beberapa motor melintas. Sejumlah orang berwajah lesu di muka pabrik.
Fahmi (34) salah satunya. Ia lima tahun bekerja di sana. Tiga bulan lalu, kontraknya distop. Pabrik ditutup. Ada 1.300 pekerja lain mengalami hal serupa.
Ongkos produksi tinggi hingga berat membayar gaji. ”Setelah dipecat, saya masih ke sini setiap hari, menunggu pembayaran uang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan,” ujarnya.
Diupah kurang dari Rp 3 juta per bulan, Fahmi belum tahu pembayaran BPJS Ketenagakerjaan yang akan ia terima. Perkiraannya kurang dari Rp 10 juta.
Ia sudah menata cita-cita membiayai usaha di kampungnya, Garut. Fahmi tak tahu bakal kerja apa. Kembali di pabrik tak terbayang. ”Kesempatan untuk seusia saya sangat minim,” ujar lulusan SMA itu.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) di PT MSJ juga membuat pekerja di perusahaan lain cemas. ”Pasti ada kekhawatiran walau sekarang belum ada tanda-tanda PHK,” ujar Tati (35), pekerja PT GMP, 300 meter dari PT MSJ.
Hengkang
Dua tahun terakhir, sekitar 24.000 pekerja industri TPT di Jabar kehilangan pekerjaan. Ada beragam masalah. Pengusaha menyebut tingginya upah pekerja, persaingan produk impor, hingga potensi beban biaya pengelolaan limbah menjadi pemicunya.
Data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar tahun 2018 menunjukkan redupnya industri padat karya ini. Ada 19 perusahaan di Karawang, Cimahi, dan Bandung Barat yang gulung tikar. Memilih bertahan, sembilan perusahaan lain hengkang. Lima perusahaan pindah dari Karawang ke Jawa Tengah.
Upah minimum kota/kabupaten (UMK) dinilai menjadi penyebabnya. Tahun 2019, tiga daerah di Jabar memiliki UMK lebih dari Rp 4 juta.
Kabupaten Karawang yang tertinggi, Rp 4,23 juta. Sementara itu, empat pabrik TPT asal Karawang memilih bertahan di Jabar meski pindah ke daerah lain yang memiliki UMK lebih rendah. Dengan UMK Rp 1,79 juta per bulan, Majalengka menjadi pilihan favorit.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Jabar Jusak Sulaiman mengatakan, menutup pabrik bukan hal mudah. Dibutuhkan biaya besar saat PHK. Jika ada 1.000 pekerja, perlu puluhan miliar rupiah. ”Kami memerlukan peran pemerintah mengatasi masalah krusial ini,” ujarnya.
Kontras dengan Cimahi yang muram, wajah Majalengka semringah. Suasana seperti pasar dadakan di seberang pintu gerbang PT Harapan Global Apparel di Kecamatan Jatiwangi, contohnya.
Tepat pukul 12.00 atau saat istirahat makan, ratusan pekerja menyerbu beragam lapak makanan. ”Sehari menjual nasi 100 bungkus,” kata Runiah (48), pemilik warung. Penghasilannya bisa Rp 500.000 per hari.
Keberadaan pabrik itu mengembalikan keramaian yang pernah ada. Sebelumnya, hanya ada pabrik genteng. Namun, lima tahun lalu suasana itu hilang. Pabrik genteng satu per satu menyerah.
”Dari keramaian di kawasan ini, saya bisa menyekolahkan tiga anak saya. Seorang anak saya tengah membuat skripsi,” kata Runiah yang berjualan sejak 1991.
Harapan
Majalengka tengah berbulan madu. Saat kawasan industri lama di Jabar ditinggalkan, lima tahun terakhir muncul 10 pabrik TPT di Majalengka. Selain PT Harapan Global Apparel, pabrik TPT lain di Jatiwangi adalah PT Leuwijaya Utama Textile dan Shinwoo Mulia.
Teranyar, PT LYG Garment Indonesia membangun pabrik seluas 14.686 meter persegi di Kecamatan Kasokandel, Mei 2018. Magnet itu menarik warga dari Majalengka, Sumedang, hingga Cirebon.
Kepala Bidang Pengembangan Penanaman Modal Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu Majalengka Ridwan M Ramdhani mengatakan, industri tumbuh subur di Kecamatan Sumberjaya, Kasokandel, Dawuan, dan Jatiwangi. Terserap lebih dari 21.000 tenaga kerja.
Pemerintah kabupaten menyiapkan kluster TPT di lahan 125 hektar di Desa Palasah dan Mekarjaya, Kecamatan Kertajati. Kluster itu sekitar 7 kilometer dari Bandara Internasional Jawa Barat di Kertajati. Di sekitar bandara ada kawasan industri (aerocity) seluas 3.480 hektar.
Pemkab Majalengka juga mengalokasikan lahan 321 ha untuk kapling industri di Kecamatan Palasah, sekitar 8 kilometer dari pusat pemerintahan Majalengka. Kawasan itu diperuntukkan bagi industri TPT, agrokimia, logam, mesin, transportasi, dan telematika.
Namun, semuanya bukan tanpa pekerjaan rumah. Daerah industri baru itu butuh perbaikan mutu pekerja. Tak hanya asal menyerap tenaga kerja berpendidikan rendah.
Secara nasional, industri TPT disebut-sebut tumbuh dan memberikan harapan. Tetapi, tanpa strategi dan inovasi mumpuni, buka-tutup pabrik di tempat lain sejatinya hanya memindahkan harapan.