NU di Pusaran Pilpres 2019
Artikel Kompas berjudul ”Muhammadiyah di Tahun Politik” (2/1/2019) tulisan Ahmad Najib Burhani menjelas- kan, setelah reformasi, Muhammadiyah selalu menjaga netralitasnya dalam politik.
Lalu Najib mengutip pendapat Haedar Nashir bahwa Muhammadiyah memilih menjadi ”jembatan” di tengah politik di Indonesia yang dikotomis dan saling menafikan, jangan sampai semua ormas dan lembaga Islam masuk dalam ranah politik.
Membaca sikap politik Muhammadiyah memang lebih ”mudah” karena gaya dan orkestra kebijakannya sudah dalam ”irama” yang ”koordinatif”.
Hal ini berbeda saat membaca sikap politik Nahdlatul Ulama (NU). Dalam kaitan ini, relevan menyimak pernyataan Robert Hefner dalam pengantar untuk buku karya Andree Feillard bahwa selama 10 tahun hingga saat ini, NU terlibat dalam inisiatif politik dan ekonomi. Bukan malah menghindari risiko, cari aman, dan cari peluang, tetapi justru upaya NU banyak ditandai dengan kontroversi dan eksperimentasi yang berani. Kata kunci menghindari risiko, eksperimentasi dan kontroversi tampaknya relatif tepat untuk menggambarkan suasana pilpres dari internal warga NU.
”Cancut taliwondo”
Realitas sejarah NU dan secara khusus para elitenya, banyak bersentuhan dengan hal yang seakan eksperimental dan kontroversial. Suatu waktu pada era Orde Lama, NU lekat dengan Soekarno, bahkan bisa dikategorikan dalam lintasan yang vivere pericoloso terkait dengan akomodasi ide Nasakom, yakni campuran antara theis, nasionalis dan sosialis ala Bung Karno seperti ditulis oleh Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU.
NU Melalui Kiai Wahab Chasbullah akhirnya duduk dalam DPR-GR dan juga dalam Kabinet Nasakom yang hal ini menjadikan Kiai Wahab dilabeli oleh lawan politiknya sebagai ”Kiai Nasakom” (Saifullah Ma’shum ed, Karisma Ulama). Saat itulah dikenal jargon ”enter first; leaving is easy” (Masuk dulu, keluar mudah) terkait dengan partisipasinya dalam DPR-GR (Greg Fealy dalam Nahdlatul Ulama,Traditional Islam and Modernity in Indonesia).
Di saat lain pada era Orde Baru, seperti ditulis Andree Feillard dalam NU vis a vis Negara, NU menjadi oposisi. NU secara terbuka dan tanpa tedeng aling-aling mengkritik Soeharto, bahkan KH Mahrus Ali, pengasuh Pesantren Lirboyo Kediri, mengatakan secara bloko suto bahwa penyerahan kekuasaan kepada Soeharto adalah ”fajar dalam kegelapan”.
Pungkasannya, saat Muktamar terpanas NU di Cipasung 1994, elite NU dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai tokohnya membikin Soeharto kelimpungan karena kesulitan memahami karakter dan strategi elite NU sehingga gagal menyingkirkan Gus Dur dari tampuk kepemimpinan di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Strategi Gus Dur ini bukan model lempang yang mudah dibaca (predictable), tetapi zigzag, ibaratnya zaman sekarang, ”sein ke kanan, tapi belok ke kiri”, wujud strategi yang sulit ditebak dan dijebak.
Demikian juga dalam pilpres kali ini, arus besar elite NU juga menunjukkan eksperimen yang menantang. Jajaran tertinggi dalam hierarki kepemimpinan di PBNU maju menjadi calon wakil presiden. Namun, apakah tidak ada pro dan kontra dari kalangan internal NU terkait pencalonan tersebut?
Tentu dan pasti ada. Bagi yang tak setuju pencalonannya beralasan bahwa KH Ma’ruf Amin adalah Rais Syuriah PBNU yang kedudukannya lebih tinggi daripada jabatan politik. Dengan demikian, tidak tepat jika dicalonkan, apalagi ”sekadar” wakil presiden. Lebih dari itu, dalam sejarah NU, tidak ada rais syuriah yang melepas kedudukannya untuk selanjutnya menjadi calon wakil presiden.
Adapun bagi yang setuju dengan pencalonannya berargumen karena situasi saat ini muncul kelompok radikal yang turut serta memainkan isu agama di arena pilpres, dengan bukti saat terjadi demo, kelompok ini turut menumpang untuk mencapai kepentingannya. Untuk itu, KH Ma’ruf Amin rela ”menurunkan” posisinya dengan menjadi cawapres.
Lebih dari itu, mencalonkan diri menjadi cawapres tidak menyalahi khitah atau aturan yang ada di AD/ART NU karena KH Ma’ruf Amin mengundurkan diri sebagai Rais Am PBNU setelah dicalonkan sebagai cawapres. Tentu argumen yang pro maupun yang kontra tidak hanya terbatas di atas dan setiap argumen bisa diperdebatkan.
Tampaknya para kiai sepuh NU pun juga bergerak pada aras yang sama dengan menyatakan dukungan baik secara tertutup maupun terbuka kepada KH Ma’ruf Amin. Para kiai sepuh NU tersebut di antaranya, KH Anwar Manshur (pengasuh pesantren Lirboyo), KH Zainuddin Djazuli (pengasuh pesantren Al Falah), KH Anwar Iskandar (Pengasuh Pesantren Al Amin), KH Abuya Muhtadi Dimyathy (pengasuh pesantren Raudlatul Ulum), serta KH Miftahul Akhyar (saat ini menjadi Rais Am PBNU menggantikan KH Ma’ruf Amin).
Pertimbangan politik
Keputusan yang bagi pihak eksternal akan dianggap berani dan kontroversial yang biasanya akan dibuat pengandaian, bagaimana jika KH Ma’ruf Amin kalah. Tampaknya masalah hasil (kalah dan menang) menjadi hal lain karena bagi mereka, kondisi saat ini mengharuskan turun cancut taliwondo dengan pertimbangan politik kebangsaan dan keumatan yang wasatiyyah (moderat). Inilah point of view yang tidak bisa diabaikan dari sekian pertimbangan politik yang ada.
Konsiderans misi politik keumatan dan kebangsaan yang wasatiyyah ini terafirmasi dengan konfirmasi KH Ma’ruf Amin setelah ada sinyalemen Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) bahwa kelompok radikal sudah masuk ke salah satu pasangan capres-cawapres pada Pilpres 2019.
KH Ma’ruf Amin lalu menegaskan bahwa pasangan Jokowi-KH Ma’ruf tidak menampung kelompok radikal tersebut, bahkan menyatakan bahwa Pilpres 2019 sebagai momentum pertaruhan menjaga ideologi Pancasila dan keutuhan bangsa karena adanya gerakan radikalisme dan gerakan transnasional yang ingin mengganti sistem politik. Entah terkait dengan isu di atas atau tidak, baru-baru ini Hashim Djojohadikusumo mengatakan bahwa menerima seluruh dukungan untuk kakaknya, Prabowo Subianto, termasuk anak turunan simpatisan PKI.
Ainur Rofiq Al Amin Dosen UIN Sunan Ampel dan Pengasuh Al Hadi 2 PP Bahrul Ulum