JAKARTA, KOMPAS — Masalah tingginya harga avtur yang dikeluhkan maskapai penerbangan kembali dibahas pemerintah. Harga avtur dan dominasi maskapai penerbangan dituding sebagai penghambat pertumbuhan pariwisata Indonesia.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, penjualan avtur bisa dilakukan perusahaan selain Pertamina. ”Kalau dibutuhkan bisa saja, tetapi ini investasi di bandara,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (12/2/2019).
Dalam acara Gala Dinner Peringatan HUT Ke-50 Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) di Jakarta, Senin (11/2/2019), yang dihadiri Presiden Joko Widodo, Ketua Umum PHRI Hariyadi B Sukamdani menyampaikan keluhan-keluhan para pengusaha.
Menurut Hariyadi, masalah yang saat ini benar-benar menghantam dunia pariwisata adalah melambungnya harga tiket pesawat udara sejak Januari 2019. Hal ini dipicu maskapai Garuda Indonesia yang menghilangkan tiket promo, padahal tiket-tiket di kelas tersebut mencapai 50 persen dari kapasitas tempat duduk. Maskapai Lion Group juga menerapkan bagasi berbayar. Hal ini membuat harga tiket naik 40 persen.
Dia juga menyampaikan, apabila ditanyakan pada manajemen maskapai soal alasan harga tiket tinggi, mereka akan menjadikan harga avtur tinggi sebagai alasan. Harga avtur Indonesia dianggap lebih tinggi 20 persen daripada harga internasional karena dimonopoli Pertamina. Akibatnya, harga tiket maskapai luar lebih rendah dan masyarakat lebih memilih berlibur ke luar negeri. Devisa negara pun ikut keluar.
Dalam acara tersebut, Presiden mengatakan akan meminta Pertamina agar menjadikan harga avtur di bandara di Indonesia sama dengan harga internasional. Jika hal itu tak bisa dilaksanakan, Presiden akan membuka ruang untuk perusahaan lain sebagai penyedia avtur. Dengan demikian, akan terjadi kompetisi.
Presiden Jokowi meyakini, Pertamina mampu mewujudkan hal itu karena tahun lalu Presiden mendapat laporan bahwa perusahaan itu mendapatkan keuntungan Rp 20 triliun. Karena itu, kendati Pertamina masih harus menyubsidi penyediaan bahan bakar di daerah terpencil, penurunan harga bisa diterapkan.
Selain masalah avtur, dominasi kelompok maskapai penerbangan juga disampaikan Hariyadi. Bergabungnya Sriwijaya Air dengan manajemen Garuda Indonesia dan Citilink menyebabkan hanya ada dua kelompok maskapai besar yang menguasai dunia penerbangan di Indonesia, yakni kelompok Garuda Indonesia dan kelompok Lion.
”Sehingga sebetulnya kondisi ini sudah membentuk kartel dan merugikan masyarakat untuk mendapatkan harga tiket yang kompetitif,” ujarnya.
Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan seusai rapat mengenai investasi di Kantor Wapres, Jakarta, Selasa (12/2/2019) sore, menilai, monopoli avtur masih dicari solusinya. Namun, menurut Luhut, semestinya harga avtur di Indonesia tak bisa dibandingkan begitu saja dengan harga avtur di Singapura. Sebab, di Indonesia, Pertamina juga harus menyediakan avtur di puluhan bandara, termasuk di daerah terpencil, bukan hanya di satu daerah.
Terkait kemungkinan monopoli dihapus, ia mengatakan masih akan melihat kemungkinan tersebut. Namun, Presiden Jokowi biasanya lebih menyukai persaingan sehat ketimbang monopoli.
Hitung biaya tetap
Terkait kartel maskapai yang juga dikeluhkan pengusaha hotel dan restoran, Wapres Kalla menilai, perusahaan penerbangan tetap harus menghitung biaya tetap penerbangan. Sebanyak 35 persen dari harga tiket pesawat dialokasikan untuk bahan bakar. Selain itu, masih ada faktor perawatan dan pengelolaan lain.
”Kalau kita tekan (harga tiket) terlalu murah, dia punya (harga) bagus, tetapi (cuma untuk) jangka pendek. Jangka panjang, kalau mereka tidak bisa beli pesawat, akhirnya kita juga yang kena,” ujar Kalla.
Wapres Kalla juga mencontohkan beberapa maskapai yang pernah ada di Indonesia dan akhirnya bangkrut, seperti Batavia Air, Adam Air, Merpati, Mandala, dan Sempati Air. Justru, menurut Kalla, maskapai penerbangan yang ada mati bukan karena ada desain untuk membentuk kartel, melainkan karena mencoba masuk sebagai maskapai bertarif murah.