TANGERANG SELATAN, KOMPAS – Pencegahan stunting belum dilakukan secara terpusat pada suatu masalah oleh multisektor kepentingan. Program yang dijalankan selama ini kurang terarah sehingga belum berdampak siginifikan. Butuh perubahan yang sistematis dan terukur dari semua pihak jika ingin menuntaskan persoalan stunting di Indonesia.
Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Doddy Izwardy di sela-sela Rapat Kerja Kesehatan Nasional 2019 di Serpong, Tangerang Selatan, Rabu (13/2/2019) menyampaikan, pemahaman lintas sektor kepentingan, termasuk pemerintah daerah mengenai stunting sudah baik. Namun, implementasi program terkait pencegahan stunting belum optimal.
Hal itu, tambahnya, disebabkan karena konvergensi (pemusatan) program di masing-masing sektor kepentingan belum terwujud. “Konvergensi bisa menjadi kunci dalam penanganan stunting. Jadi ini yang kami latih ke daerah. Bupati atau Walikota harus tahu apa penyebab stunting di daerahnya. Aspek itulah yang diprioritaskan sehingga pokok masalahnya bisa teratasi. Perencanaan anggaran pun bisa difokuskan,” ujarnya.
Spesifik
Stunting atau gizi buruk kronis merupakan masalah kompleks yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Penyelesaiannya pun perlu dilakukan secara spesifik.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Doddy, faktor utama yang menentukan terjadinya stunting pada anak Indonesia adalah status ekonomi yang rendah, kelahiran prematur, ibu yang pendek, usia ibu terlalu muda, dan tingkat pendidikan orangtua rendah. Selain itu, fasilitas jamban yang buruk, air minum yang tidak layak, serta rendahnya akses pelayanan kesehatan berkaitan dengan kejadian stunting.
Doddy menyampaikan, jika salah satu masalah itu sudah ditemukan di suatu daerah, pemerintah setempat seharusnya langsung peka dan memberikan perhatian khusus pada warganya. Program yang dijalankan oleh setiap unit kerja perangkat daerah (UKPD) pun terpusat untuk menyelesaikan masalah tersebut.
“Kalau sudah begitu, komitmen pemerintah daerah untuk memprioritaskan stunting berarti sudah terbukti. Saat ini, sudah ada beberapa daerah yang mulai menjadikan stunting sebagai isu prioritas,” katanya.
Salah satu daerah yang bisa menjadi contoh dalam penanganan stunting adalah Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Wilayah ini berhasil menurunkan stunting dari 35,6 persen pada 2013 menjadi 31,5 persen pada 2018. Pemerintah setempat memfokuskan penanganan stunting sejak masa prapernikahan.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banggai Anang S Otoluwa menyampaikan, komitmen kepala daerah sangat berperan menentukan keberhasilan penanganan stunting. Setiap upaya yang diajukan yang terkait dengan penanganan stunting menjadi prioritas utama.
Adapun program unggulan yang dijalankan saat ini adalah posyandu prareproduksi. Posyandu ini secara intensif memerhatikan kesehatan reproduksi perempuan, mulai dari persiapan pernikahan, masa kehamilan, sampai melahirkan dan membesarkan anak.
Menurutnya, pencegahan stunting harus dilakukan dari hulu, yakni dari calon ibu. Bahkan, pemerintah juga meminta calon pengantin dengan usia muda untuk menunda memiliki anak. Berbagai penjelasan mengenai risiko kehamilan muda dipaparkan agar mereka paham dampak buruk yang bisa dialami.
Pemerintah ingin menjangkau masyarakat secara spesifik. Bahkan, pemerintah membuat grup Whatsapp tersendiri yang berisi sekitar 200 ibu muda dan calon ibu, beserta para ahli untuk mengkonsultasikan kondisi gizi dan kesehatan secara langsung.
“Kami juga bekerjasama dengan KUA dalam memberikan kursus calon pengantin. Jadi kami pastikan calon pengantin ini siap ketika nanti menikah dan memiliki anak. Kami pastikan pula calon ibu ini sudah memenuhi gizi yang dibutuhkan agar anak yang dilahirkan nanti sehat,” ucapnya.