Polisi Lanjutkan Proses Hukum Kasus Penganiayaan Siswa Berkebutuhan Khusus
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Proses hukum kasus dugaan penganiayaan terhadap JMH (10), siswa berkebutuhan khusus di Sekolah Dasar Al Fajri, Kota Bekasi, Jawa Barat, berlanjut. Pengumpulan informasi juga dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dugaan penganiayaan itu bermula dari laporan Muhammad Sugih (43), warga Bekasi Selatan, Kota Bekasi, kepada Kepolisian Resor Metro Bekasi Kota Sabtu pekan lalu. Sugih menduga telah terjadi penganiayaan terhadap anaknya, JMH, siswa Sekolah Dasar Al Fajri, Kota Bekasi, oleh wali kelas III-B, HM. Berdasarkan pengakuan JMH, dirinya ditendang dan dicubit karena tidak membawa buku Matematika.
Wakil Kepala Kepolisian Resor Metro Bekasi Kota Ajun Komisaris Besar Eka Mulyana di Bekasi, Rabu (13/2/2019), mengatakan telah memeriksa enam saksi terkait dengan dugaan penganiayaan terhadap JMH. Keenam saksi itu di antaranya Ketua Yayasan Pendidikan Islam Al Fajri, Kepala SD Al Fajri, dan wali kelas III-B. Polisi juga memeriksa tiga siswa kelas III-B, teman sekelas JMH.
”Menurut rencana, kami juga akan memeriksa JMH dan ayahnya pada Kamis (14/2/2019),” kata Eka. Pemeriksaan terhadap JMH membutuhkan pendampingan dari orangtua karena ia merupakan anak berkebutuhan khusus, yaitu tergolong autis.
Eka menambahkan, pihaknya tengah mengevaluasi hasil pemeriksaan dari keenam saksi. Selain itu, mereka juga berkomunikasi dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk menyediakan pemulihan trauma atas kejadian yang mungkin dialami JMH.
”Untuk sementara belum ada barang bukti yang kami amankan,” ujar Eka. Ia menuturkan, seluruh hasil pemeriksaan dan visum akan dievaluasi dan didalami kembali hingga menemukan titik terang atas dugaan itu.
Di samping kepolisian, pemerintah juga mengumpulkan informasi dan mengklarifikasi dugaan itu. Tiga perwakilan Direktorat Pendidikan Khusus Layanan Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan datang ke SD Al Fajri menemui Kepala SD dan Direktur Pendidikan Yayasan.
”Kami datang untuk memonitoring sekolah ramah anak,” kata Ahmad Yusuf, salah satu perwakilan. Selain ke sekolah, mereka juga mengklarifikasi dugaan penganiayaan kepada orangtua JMH dan Dinas Pendidikan Kota Bekasi.
Menurut Ahmad, klarifikasi dari semua pihak dibutuhkan untuk dilaporkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Menteri sendiri telah berkomunikasi langsung dengan Muhamad Sugih melalui program berita di sebuah media massa pada Selasa lalu. ”Pimpinan yang akan mengambil kebijakan atas kasus ini,” katanya.
Janggal
Muhamad Sugih mengatakan tetap teguh di jalur hukum untuk menuntaskan dugaan penganiayaan terhadap anaknya. Sebelumnya ia telah meminta klarifikasi dari pihak sekolah dan khususnya terduga penganiaya secara kekeluargaan, tetapi tidak diindahkan.
”Saya tidak ingin persoalan dugaan ini dianggap sepele karena menyangkut keselamatan anak,” kata Sugih. Bahkan, saat pihak sekolah mendatangi rumahnya pada Selasa lalu, ia pun enggan menyepakati ajakan untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan.
Menurut Sugih, terdapat kejanggalan dalam dugaan penganiayaan itu. Mulanya ia menemukan lebam di kedua kaki JMH pada Kamis (7/2/2019). Sehari setelahnya, ia mendapatkan klarifikasi dari sekolah bahwa tidak ada kekerasan terhadap anaknya.
Saat itu, ia meminta terduga penganiaya untuk menjelaskan secara langsung dalam waktu 1 x 24 jam, tetapi tidak ada tanggapan. Oleh karena itu, ia pun melaporkan dugaan itu serta melampirkan hasil visum dari Rumah Sakit Umum Daerah dr Chasbullah Abdulmadjid.
”Saya diminta datang ke sekolah lagi pada Senin, tetapi saya menolak karena permintaan penjelasan sebelumnya tidak diindahkan. Saat ini lebih baik diselesaikan di jalur hukum,” kata Sugih.
Pada hari yang sama, JMH masih masuk ke sekolah. Ia bercerita diminta untuk menuliskan pengalaman tentang kekerasan fisik yang pernah dilakukan, dialami, atau disaksikan di buku agenda harian. Tulisan mengenai pengalaman itu ditandatangani oleh Direktur Pendidikan SD Al Fajri Delfi tertanggal 11 Februari 2019.
Pada buku itu JMH menuliskan tujuh poin, di antaranya pernah dipukul benda keras oleh teman sekelasnya. Ia juga pernah memukul temannya. Selain itu, JMH menulis pernah dicubit oleh ayahnya dan pernah terjatuh di tangga.
”Ketika sampai di rumah, JMH mencoret poin pernah dicubit oleh saya. Ia meminta maaf, merasa sudah berbohong karena saya tidak pernah mencubit dia,” ujar Sugih.
Kepala SD Al Fajri Siti Sjahrianti mengatakan, penulisan pengalaman itu memang dipicu oleh kasus dugaan penganiayaan terhadap JMH. Semua anak diminta menuliskannya di agenda harian mereka.
Meski demikian, kata Siti, kebiasaan menuliskan kekerasan fisik yang dialami, dilihat, atau dilakukan siswa bukan hal baru bagi mereka. Materi serupa memang diberikan setiap pekan, yaitu setiap Rabu.
Namun, di agenda harian JMH, penulisan pengalaman kekerasan itu hanya ada satu kali. Tulisan pertama di buku tertanggal 11 Juli 2018 berisi tentang kegiatan yang dilakukan dirinya dalam satu hari di sekolah. Begitu juga pada tulisan-tulisan selanjutnya isinya sama, yaitu urutan kegiatan yang dilakukan di sekolah.