Problem Rekrutmen Paling Banyak Dilaporkan
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan dalam rekrutmen atau seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum di daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota, merupakan isu yang paling banyak dilaporkan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
DKPP mencatat, Komisi Pemilihan Umum telah 26 kali dilaporkan ke DKPP, sepanjang Januari-Februari 2019. Dari jumlah itu, hanya delapan aduan yang terkait tahapan Pemilu 2019, sedangkan sisanya menyangkut rekrutmen anggota KPU di daerah.
Problem dalam seleksi anggota KPU daerah ini di satu sisi merupakan persoalan kompleks, dan berpotensi mengganggu jalannya pemilu serentak bila tidak segera tuntas ditangani oleh KPU. Mekanisme sengketa dan persidangan di DKPP memerlukan perhatian dan waktu KPU, karena persoalan seleksi menjadi salah satu konsen DKPP. Terpilihnya penyelenggara pemilu yang kompeten menjadi salah satu faktor penting untuk menjamin pemilu yang berlangsung dengan bersih.
“DKPP sangat konsen dengan persoalan ini karena rekrutmen adalah titik awal dari pencarian penyelenggara pemilu yang berintegritas. Kalau rekrutmen yang dilakukan salah, hal ini menjadi problem serius bagi etik penyelenggara pemilu. Kendati laporan yang kami terima bervariasi, tetapi rekrutmen menempati posisi tertinggi sebagai alasan pelaporan,” kata Alfitra Salam, anggota DKPP, Selasa (12/2/2019) di Jakarta.
Alasan lain dilaporkannya KPU selain rekrutmen, antara lain mengenai kepatuhan terhadap putusan Badan Pengawas Pemilu, profesionalitas atau netralitas penyelenggara, dan integritas anggota KPU.
Alfitra mengatakan, dari banyak kasus yang ditangani DKPP menunjukkan adanya pola tertentu yang berulang. Misalnya, calon anggota KPU yang dinyatakan terpilih oleh tim seleksi di KPU daerah yang akhirnya dicoret oleh KPU karena dinilai tidak memenuhi syarat-syarat tertentu. Pola ini banyak ditemui dari berbagai laporan yang diterima oleh DKPP. Mereka yang dicoret akhirnya melaporkan hal itu kepada DKPP lantaran KPU dinilai tidak profesional dalam melakukan rekrutmen.
“Kami melihat belum adanya pemahaman yang sama antara timsel dengan KPU RI terhadap regulasi yang berkaitan dengan rekrutmen komisioner di daerah. KPU RI yang memilih timsel, tetapi pada kenyataannya, banyak calon anggota KPU di daerah yang dipilih oleh timsel itu akhirnya dicoret atau tidak disetujui oleh KPU RI karena alasan persyaratan yang tidak terpenuhi,” kata Alfitra.
Pola ini menunjukkan pengawasan dalam rekrutmen yang kurang ketat dilakukan oleh KPU RI. Selama proses wawancara, dan seleksi di lapangan kurang dipantau secara optimal, sehingga terjadi perbedaan persepsi dalam memaknai regulasi. “Hal ini perlu dicermati, dan sebaiknya KPU segera melakukan evaluasi atas rekrutmen,” katanya.
Persidangan di DKPP juga di sisi lain menyita waktu anggota KPU, karena mereka harus menghadapi laporan atau gugatan terkait persoalan-persoalan yang sebenarnya di luar tahapan pemilu yang smereka siapkan. Problem regulasi atau UU Pemilu yang menyatakan rekrutmen KPU daerah kini sepenuhnya di tangan KPU RI, menurut Alfitra, juga menjadi pemicu terjadinya hal ini. Berbeda dengan UU Pemilu sebelumnya, UU Nomor 7 Tahun 2017 menyatakan rekrutmen dan pelantikan anggota KPU daerah dilakukan secar sentralistik, bukan berjenjang.
Anggota KPU Ilham Saputra mengatakan, pihaknya hanya bisa menghadapi gugatan di DKPP itu, karena bagaimana pun persidangan di DKPP adalah mekanisme yang sah diatur oleh UU untuk setiap gugatan yang terkait dengan etik penyelenggara pemilu. “Tidak ada jalan lain, ya kami hadapi. Sebagian besar dari laporan itu kalau dicermati memang terkait dengan rekrutmen. Mereka yang melapor adalah pihak-pihak yang dinyatakan tidak memenuhi syarat, lalu melapor ke DKPP. Kami tentu akan menghadapi laporan itu di persidangan,” katanya.
KPU, menurut Ilham, telah mengikuti ketentuan dan prosedur yang berlaku dalam melakukan rekrutmen itu. Soal ada pihak-pihak yang melaporkan KPU ke DKPP karena mereka tidak terpilih itu boleh saja, dan mekanismenya diatur oleh UU.
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Sigit Pamungkas mengatakan, tingginya laporan mengenai rekrutmen itu dipicu oleh dua hal. Pertama, terkait dengan pemilihan timsel yang tidak terbuka. KPU RI perlu mengumumkan nominasi tentang siapa saja timsel yang lolos di depan publik. Sayangnya, selama ini nominasi itu tidak diumumkan, sehingga tidak ada ruang bagi publik untuk berpartisipasi melahirkan timsel yang kredibel. Hal itu perlu dievaluasi oleh KPU.
“Kedua, persoalan itu terkait dengan aturan main soal seleksi yang tidak cukup komprehensif. Ada ruang kosong yang menjadikan seleksi itu mudah dipersoalkan. Salah satunya ialah mengenai ambang batas bagi calon untuk bisa dinyatakan lolos. Ambang batas itu debatable, atau menyisakan persoalan, kalau ternyata tidak ada yang bisa memenuhi ambang batas itu lalu bagaimana jalan keluarnya. Ruang kosong itu antara lain yang memicu timsel memilih calon berdasarkan alasan di luar kompetensi,” kata Sigit. (rek)