Serapan Garam Rakyat Rendah
CIREBON, KOMPAS - Petani dan pedagang garam di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mengeluhkan rendahnya serapan garam rakyat. Pada saat yang sama, harga garam menurun meskipun masa panen sudah berakhir dua bulan lalu.
Pantauan Kompas, Rabu (13/2/2019), garam petani menumpuk dalam gudang di Kecamatan Mundu dan Kecamatan Pangenan yang merupakan sentra garam di Cirebon. Garam yang telah terbungkus karung juga dibiarkan di pinggir jalan. Garam tersebut hanya dilindungi terpal agar tidak rusak saat hujan.
Truk yang biasanya mengangkut garam dari gudang siang itu tidak tampak lagi. Sementara sebagian lahan garam petani dibiarkan menganggur. Petani garam di Cirebon umumnya masih menggunakan metode tradisional yang mengandalkan terik matahari. Saat musim hujan, produksi garam terhenti. Ada pula lahan yang dijadikan tambak ikan bandeng atau udang.
"Garam petani tidak laku. Saya masih menyimpan 50 ton hasil produksi tahun lalu. Padahal, biasanya jumlah sebanyak itu sudah dibeli," ujar Bakri (62), petani garam Desa Bendungan, Pangenan. Dari lahan seluas 7.000 meter persegi, ia mendapatkan 60 ton garam musim lalu, selama produksi lima bulan.
Garam petani tidak laku. Saya masih menyimpan 50 ton hasil produksi tahun lalu. Padahal, biasanya jumlah sebanyak itu sudah dibeli
Harga garam di tingkat petani juga turun. Saat ini, harga garam kualitas III Rp 750 per kilogram. Jumlah itu belum termasuk biaya angkut ke gudang dan pengepakan. Di tingkat pedagang, harga garam siap kirim tercatat Rp 850 per kg untuk kualitas III dan Rp 1.000 untuk kualitas I.
"Padahal, pada September 2018 saat puncak panen harga garam kualitas III di gudang sampai Rp 1.100 per kilogram," ujar Bakri. Kondisi tersebut, lanjutnya, tidak biasa karena sudah dua bulan masa panen berakhir. Artinya, produksi tidak lagi bertambah.
Padahal, pada September 2018 saat puncak panen harga garam kualitas III di gudang sampai Rp 1.100 per kilogram
Dia berharap, hasil produksi petani kembali terserap karena mereka membutuhkan modal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi, tidak semua petani beralih ke tambak ikan bandeng.
Masa produksi garam juga masih sekitar 4 bulan, menunggu datangnya kemarau. Petani juga harus menyewa gudang sekitar Rp 1 juta dan menyiapkan modal menggarap lahan musim selanjutnya, sekitar Rp 2,5 juta per hektar.
"Oleh karena itu, banyak petani yang akhirnya menjual produksinya dengan harga berapa pun ke pedagang untuk mendapatkan uang. Petani terima uang dulu, tetapi jualnya enggak boleh ke pedagang lain," ujarnya.
Oleh karena itu, banyak petani yang akhirnya menjual produksinya dengan harga berapa pun ke pedagang untuk mendapatkan uang. Petani terima uang dulu, tetapi jualnya enggak boleh ke pedagang lain
Pedagang garam Oman Abdurahman mengaku terpaksa menolak membeli garam petani karena stok garam sebanyak 500 ton di gudangnya juga masih menumpuk. "Permintaan garam rakyat sepi. Biasanya, saya sudah mengirim garam empat sampai lima mobil per hari. Sekarang, pengiriman hanya tiga kali sehari. Satu mobil bisa mengangkut 20 sampai 30 ton garam," lanjutnya.
Selama ini, ia kerap mengirim garam ke pabrik makanan dan minuman serta industri tekstil di Bandunga, Jabar hingga sejumlah daerah di Jawa Tengah. "Saya tidak tahu mengapa permintaan garam rendah. Yang jelas, kalau begini pedagang dan petani garam ikut terdampak," ujarnya.
Ketua Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia Jabar Mohammad Taufik mengatakan, saat ini, masih ada 57.513 ton garam petani di Cirebon dan Indramayu yang belum terserap. Jumlah tersebut belum termasuk garam yang berada di gudang pedagang.
"Jabar mendapatkan kuota garam konsumsi untuk diserap oleh PT Garam (Persero) sebesar 30.000 ton. Saat ini, sudah ada 26.000 ton yang terserap. Padahal, produksi melimpah. Kuota tersebut kurang," ujar Taufik.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, produksi garam tahun lalu mencapai 483.000 ton. Jumlah ini melonjak dibandingkan 2017 sebesar 350.000 ton. Bahkan, jumlah itu melebihi produksi tahun 2015 ketika kemarau panjang yang mencapai 440.503 ton.
Secara nasional, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi garam per Desember 2018 mencapai 2.719.256 ton. Jumlah tersebut melonjak dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 1,11 juta ton. (Kompas, 21/1/2019).
Di sisi lain, lanjutnya, impor garam industri sebanyak 3,7 juta ton tahun lalu juga turut memicu minimnya penyerapan garam rakyat. "Pada saat yang sama, garam di Cirebon dan Indramayu belum memenuhi kualitas garam industri," lanjutnya.
Permintaan garam rakyat sepi. Biasanya, saya sudah mengirim garam empat sampai lima mobil per hari. Sekarang, pengiriman hanya tiga kali sehari. Satu mobil bisa mengangkut 20 sampai 30 ton garam
Kepala Bidang Pemberdayaan DKP Kabupaten Cirebon Yanto mengakui, kualitas garam di Cirebon masih rendah. Lahan petani umumnya masih berupa tanah, tidak dilapisi terpal dan masa panen hanya tiga hari. Kondisi ini membuat kualitas garam menurun.
"Dari produksi 483.000 ton tahun lalu, hanya 20 persen yang memenuhi garam kualitas I dengan kadar NaCl di atas 94 persen. Kami memiliki keterbatasan anggaran untuk menyediakan sarana dan prasaran bagi petani untuk meningkatkan kualitas produksinya," ujarnya.
Baca juga Panen Garam di Cirebon Meningkat, tetapi Kualitas Masih Rendah