JAKARTA, KOMPAS – Pembahasan sejumlah rancangan undang-undang di DPR tetap membutuhkan partisipasi aktif dari pemerintah. Kesibukan kampanye dalam menghadapi Pemilu 2019 diperkirakan turut menekan intensitas pembahasan oleh DPR dan pemerintah sehingga membuat target legislasi sulit terpenuhi
Masa Persidangan III 2018-2019 berakhir dalam Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Demokrat Agus Hermanto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (13/2/2019). Rapat yang dihadiri 281 orang dari 560 anggota DPR tersebut menandakan dimulainya masa reses hingga 3 Maret 2019.
Dalam kesempatan itu, ada 3 rancangan undang-undang (RUU) yang disahkan DPR bersama pemerintah, yakni RUU Kebidanan, RUU Pengesahan Persetujuan Kerja Sama Industri Pertahanan Indonesia-Belarus, dan RUU Pengesahan Perjanjian Bantuan Timbal Balik (mutual legal assistance) antara Indonesia-Uni Emirat Arab.
Di sisi lain, ada 24 RUU yang pembahasannya ditunda hingga masa persidangan selanjutnya. RUU tersebut antara lain, RUU Mahkamah Konstitusi, RUU Persaingan Usaha, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh, RUU Masyarakat Hukum Adat, dan RUU Aparatur Sipil Negara. Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2019, sebetulnya ada 55 RUU yang dijadwalkan untuk dibahas tahun ini.
Dengan penundaan itu, pembahasan sejumlah RUU telah diperpanjang hingga belasan kali masa sidang. RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), misalnya, sudah dibahas dalam 15 kali masa sidang atau RUU Wawasan Nusantara yang sudah melalui 14 kali masa sidang (sekitar 3 tahun).
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, jumlah RUU yang disahkan tersebut merupakan hasil kerja anggota DPR di tengah kesibukan berkampanye di masyarakat. Kinerja pembahasan RUU yang rendah disebutnya terkendala oleh komitmen pemerintah yang kurang serius.
“Sungguh sangat disayangkan, upaya yang sungguh-sungguh (DPR) tersebut tidak diiringi dengan komitmen yang sama dari pemerintah. Seringkali rapat-rapat yang dilaksanakan DPR bersama dengan pemerintah terkendala karena ketidakhadiran pemerintah,” kata Bambang dalam pidato rapat paripurna penutupan masa sidang.
Dari sisi DPR, kesibukan anggota dewan dalam berkampanye menjadi penyebab utama rendahnya kinerja legislasi. Terlebih lagi, 94 persen anggota DPR mengajukan dirinya kembali dalam pemilihan legislatif.
“Masalah di DPR itu kan sibuk kampanye dan kampanye Pilpres,” kata Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Partai Gerindra Desmond Junaidi Mahesa.
Pesimistis
Desmond pesimistis 24 RUU yang ditunda pembahasannya itu dapat diselesaikan seluruhnya sebelum periodenya berakhir pada September 2019 kelak.
“Melihat dari kesibukan hari ini hingga selesai periode ini, mungkin paling banyak lima RUU yang selesai. Semua bergantung pada apakah pasca (pemilu) anggota DPR itu serius membahas atau tidak. Kalau anggota tidak berkonsentrasi penuh, mungkin kurang dari 5 yang selesai. Kita harus melihat apa adanya,” kata Desmond.
Untuk itu, anggota panitia kerja sejumlah RUU telah berkomitmen untuk serius menyelesaikan pembahasan rancangan undang-undang sesuai pemungutan suara pada 17 April 2019. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengatakan, Panja RUU KUHP, RUU Mahkamah Konstitusi, dan RUU Jabatan Hakim telah sepakat untuk melanjutkan pembahasan setelah pemilu.
“Saya kira, RUU KUHP bisa diselesaikan sebelum periode ini selesai. RUU Mahkamah Konstitusi juga tidak ada yang perlu banyak yang direvisi, jadi seharusnya bisa selesai cepat,” kata Arsul.
Secara terpisah, Deputi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Sekretariat Kabinet Fadlansyah Lubis mengatakan, komitmen DPR diperlukan untuk juga menyelesaikan pembahasan RUU. “Kami juga berharap, DPR dapat menuntaskan pembahasan RUU lainnya,” ucapnya.
Jangan menyalahkan
Menurut peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, DPR tidak bisa terus-terusan menyalahkan pemerintah atas rendahnya kinerja legislasi anggota dewan. Alasan itu pun sudah berkali-kali digunakan, kata dia.
“Ini hanya mencari-cari alasan, saya kira. (Lembaga) yang diperintahkan Undang-Undang Dasar untuk berkoordinasi di bidang legislasi dan pembuat undang-undang, itu, kan DPR. Pemerintah hanya pembahas bersama DPR,” kata Lucius.
Sementara itu, rapat pembahasan undang-undang juga banyak tertunda oleh tingkat kehadiran anggota DPR yang rendah dan tidak dapat memenuhi kuorum rapat, kata Lucius.
Janji-janji anggota DPR untuk menyelesaikan RUU setelah pemilu pun tidak dapat dipegang, menurut Lucius. Baik anggota tersebut terpilih kembali ataupun tidak, pembahasan RUU tidak akan dilakukan sungguh-sungguh.
“Kalau sudah terpilih, mereka akan santai, karena ternyata tidak ada pengaruh dari kinerja yang buruk itu terhadap keterpilihan mereka. Kalau tidak terpilih, mereka akan sibuk mencari pekerjaan baru, sambil mengumpulkan apa yang bisa dikumpulkan di sisa hari-hari mereka sebagai anggota DPR. Jadi sulit sekali untuk dipercaya janji itu,” kata Lucius.
Terkait dengan penundaan pembahasan sejumlah RUU tersebut, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia M Nur Sholikin berpendapat, DPR baru akan efektif membahasnya pada 2020.
“Pada tahun ini, anggota DPR RI disibukkan dengan pemilihan legislatif. Kemudian, mereka masuk dalam masa transisi dan adaptasi,” ucapnya.
Oleh sebab itu, Sholikin mengimbau, pembahasan 23 RUU tersisa nantinya tidak mulai dari nol. Penyelesaiannya pun harus berorientasi pada kepentingan publik dan pembangunan nasional, bukan kepentingan politik pribadi anggota DPR.