JAKARTA, KOMPAS - Dewan Akademik Akademi Kepolisian Negara RI memberhentikan tidak dengan hormat 13 taruna yang terlibat dalam penganiayaan yang menyebabkan kematian seorang taruna Akpol, yaitu Muhammad Adam, pada 2017. Polri menegaskan tak akan menoleransi kekerasan yang terjadi pada masa pendidikan di lingkungan kepolisian.
Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Komisaris Jenderal Arief Sulistyanto mengungkapkan, melalui sidang Dewan Akademik Akpol, Senin (11/2/2019), pihaknya memutuskan memberhentikan 13 taruna yang terlibat dalam peristiwa tewasnya Adam. Keputusan itu, kata Arief, merupakan ikhtiar untuk menjaga marwah Akpol sebagai pencetak pemimpin masa depan Polri.
”Jangan lagi ada pemukulan dan tradisi kekerasan senior terhadap yunior. Senior harusnya mengayomi, membimbing, dan menanamkan budaya asih, asah, dan asuh. Sebab, negara akan rugi apabila Akpol meluluskan perwira yang berkarakter pro-kekerasan,” ujar Arief dalam keterangan tertulisnya yang diterima Kompas, Selasa (12/2).
Para taruna yang diberhentikan itu ialah MB, GJN, GCM, RLW, JEDP, RAP, IZPR, PDS, AKU, CAEW, RK, EA, dan HA. Pada akhir 2017, mereka juga telah divonis pidana penjara selama 6 bulan atas kasus itu.
Selain 13 orang itu, satu pelaku lain, yakni CAS , telah divonis 1 tahun penjara dan telah diberhentikan tidak dengan hormat dari Polri, Juli 2018.
Arief juga mengingatkan 1.134 taruna Akpol untuk menghentikan budaya kekerasan. Ia menegaskan, tidak akan segan memberikan tindakan tegas kepada individu-individu yang terbukti melanggar kebijakan itu.
Dihubungi terpisah, komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, berharap putusan pidana dan keputusan Dewan Akademik Akpol itu bisa memberi efek jera. Dengan begitu, diharapkan tidak ada lagi kekerasan di lingkungan pendidikan Polri, terutama Akpol.
Menurut dia, reformasi kultural Polri harus dilaksanakan sungguh-sungguh sehingga taruna Akpol belajar menjadi anggota kepolisian yang humanis untuk melayani, mengayomi, melindungi masyarakat serta menegakkan hukum.