UU Pemajuan Kebudayaan Vs RUU Permusikan, ”Satu Darah” Beda Kebijakan
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Munculnya draf Rancangan Undang-Undang Permusikan ke publik bulan ini mengagetkan para musisi dan pekerja musik. Draf RUU yang disusun sejak 15 Agustus 2018 ini cenderung menyuguhkan banyak larangan serta pembatasan yang berpotensi memberangus kebebasan berekspresi musisi.
Jika melihat pasal-pasal dalam draf RUU Permusikan, begitu masuk ke Pasal 5, RUU tersebut langsung menyodorkan larangan bagi setiap orang dalam berkreasi untuk: (a) mendorong khalayak melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya; (b) memuat konten pornografi, kekerasan seksual, dan eksploitasi anak; (c) memprovokasi pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan; (d) menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai agama; (e) mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; (f) membawa pengaruh negatif budaya asing; dan/atau (g) merendahkan harkat dan martabat manusia.
Dengan keberadaan pasal ini, musisi akan mudah sekali dikait-kaitkan dengan tindakan-tindakan di atas meski karya-karya yang dibuat atau dinyanyikannya tidak ada hubungannya sama sekali. Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menyebut pasal ini sebagai ”pasal karet” yang sangat provokatif.
Draf RUU Permusikan, khususnya Pasal 10, juga banyak dipersoalkan karena meminggirkan musisi-musisi independen dengan tidak memberi ruang kepada mereka untuk mendistribusikan karya secara mandiri. Menurut pasal itu, distribusi hanya dilakukan oleh label rekaman dan penyedia konten untuk produk musik digital. Bahkan, pada Pasal 12 disebutkan, distributor wajib memiliki izin usaha.
Draf RUU Permusikan, khususnya Pasal 10, juga banyak dipersoalkan karena meminggirkan musisi-musisi independen.
Hal yang lebih mengagetkan lagi, Pasal 31 bahkan mengatur adanya uji kesetaraan bagi musisi otodidak agar bisa dihargai setara dengan musisi jalur pendidikan formal. Tentu saja usulan ini ditolak mentah-mentah oleh para musisi dan pekerja musik karena ide uji kesetaraan/uji kompetensi ini sangat mendiskriminasikan musisi otodidak.
Koalisi Nasional Tolak Rancangan Undang-Undang Permusikan menemukan begitu banyak masalah di hampir keseluruhan pasal draf RUU Permusikan. Permasalahan tersebut meliputi hal-hal substansial, disharmoni dengan perundang-undangan lain, potensi-potensi munculnya penafsiran ganda, hingga ketidakcermatan dalam perancangan pasal. Setelah dikaji lebih lanjut, dalam draft RUU ini hanya ada empat pasal dari total 54 pasal yang tak terindikasi masalah, yaitu Pasal 44, Pasal 52, Pasal 53, dan Pasal 54.
Bertolak belakang dengan konstitusi
Jika ditarik kembali kepada amanat konstitusi, Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945 tegas sekali menyebutkan, ”Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” Jaminan kebebasan negara dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya (dalam hal ini musik) justru tidak muncul pada draf RUU Permusikan.
Jaminan kebebasan negara dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya (dalam hal ini musik) justru tidak muncul pada draf RUU Permusikan.
Polemik serupa pernah terjadi saat muncul ide penyusunan RUU Kebudayaan pada 1982. Awalnya, ketika nuansa RUU Kebudayaan lebih kepada upaya pengendalian praktik-praktik kebudayaan, penolakan dan protes bermunculan, terutama dari kalangan seniman dan budayawan.
Memasuki 2016, akhirnya RUU Kebudayaan diubah secara substansial menjadi RUU Pemajuan Kebudayaan. Setelah 35 tahun dibicarakan, pada 27 April 2017 DPR baru bisa mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Pada akhirnya, yang diatur UU ini bukan nilai-nilai kebudayaan, melainkan upaya-upaya pemajuan kebudayaan melalui perlindungan, pengembangan, dan pembinaan.
UU Pemajuan Kebudayaan mengamanatkan bahwa dalam menjalankan usaha pemajuan kebudayaan, pedoman yang digunakan adalah serangkaian dokumen yang disebut Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) kabupaten/kota, PPKD provinsi, Strategi Kebudayaan dan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan. Penyusunan PPKD kabupaten/kota dan provinsi dilakukan dengan melibatkan semua kalangan, mulai dari akar rumput sampai perguruan tinggi, pemerintah maupun nonpemerintah.
Dalam Pasal 3 UU Pemajuan Kebudayaan disebutkan, pemajuan kebudayaan berasaskan toleransi, keberagaman, kelokalan, lintas wilayah, partisipatif, manfaat, berkelanjutan, kebebasan berekspresi, keterpaduan, kesederajatan, dan gotong royong. UU Pemajuan kebudayaan ini terasa sekali menjadi sistem pendukung bagi pelaku kebudayaan, termasuk di dalamnya musisi dan pekerja musik. Namun, RUU Permusikan justru memagari musisi dan pekerja musik.
”UU Pemajuan Kebudayaan sebenarnya sudah bagus banget. Sayangnya, RUU Permusikan justru semangatnya sangat bertolak belakang dengan UU Pemajuan Kebudayaan,” kata penyanyi Kartika Jahja yang juga tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan.
UU Pemajuan Kebudayaan sebenarnya sudah bagus banget. Sayangnya, RUU Permusikan justru semangatnya sangat bertolak belakang dengan UU Pemajuan Kebudayaan.
Sebelum muncul draf RUU permusikan, wacana yang muncul di kalangan musisi dan pekerja musik adalah rencana pembentukan RUU Tata Kelola Musik. Namun, di tengah jalan tiba-tiba muncul draf RUU yang justru mengatur permusikan, bukan lagi tata kelola permusikan.
Menyikapi persoalan ini, Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan dalam salah satu rekomendasinya menilai perlunya pengkajian akademik dari awal yang melibatkan perwakilan pekerja musik dari berbagai latar belakang, termasuk musisi independen, tradisi, daerah, jalanan, dan lain-lain, sesuai dengan amanat UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Tujuannya, agar UU yang akan disusun benar-benar memahami dan merumuskan kebutuhan dan tantangan permusikan hari ini.
Kajian ini akan menelisik bagaimana pemerintah dapat menjadi fasilitator bukan pengontrol, yang melibatkan organisasi-organisasi yang memiliki kompetensi dan pengalaman di permusikan Indonesia sejak awal, bukan saja pemain-pemain besar di industri musik hari ini. Ini penting sebab musik yang lahir dari komunitas dan masyarakatlah yang akan menghidupkan kebudayaan.