JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membuka keran pelaksanaan pembangunan oleh kelompok masyarakat melalui dana swakelola. Pengucuran ini perlu disertai mekanisme dan instrumen pengawasan ketat guna mencegah penyelewengan anggaran.
Pengucuran dana swakelola ini didasarkan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Dalam Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 8 Tahun 2018 tentang pedoman swakelola disebutkan pengadaan baran dan jasa swakelola adalah cara memperoleh barang dan jasa yang dikerjakan lembaga pemerintah atau perangkat daerah, organisasi kemasyarakat (Ormas), atau kelompok masyarakat.
Swakelola dilaksanakan manakala barang atau jasa yang dibutuhkan tidak dapat disediakan atau tidak diminati oleh pelaku usaha. Swakelola juga disebutkan dapat digunakan dalam rangka peningkatan peran atau pemberdayaan Ormas dan kelompok masyarakat.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, dalam mekanisme ini, Ormas atua kelompok masyarkat merupakan pelaksana program pembangunan. Mereka menjalankan kewajiban untuk memenuhi target-target yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. “Cuma kalau dulu yang mengerjakan hanya pemerintah sendiri atau swasta. Kalau sekarang ada unsur organisasi kemasyarakatan,” katanya di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (13/2/2019).
Anggaran yang disediakan merupakan anggaran yang saat ini sudah ada dalam pos-pos anggaran di anggaran penerimaan dan belanja daerah (APBD) DKI Jakarta. Program pembangunan yang dulu hanya bisa dikerjakan oleh pihak swasta lewat proses tender, dengan mekanisme ini bisa dikerjakan oleh organisasi kemasyarakatan yang harganya, standar pelayanan masyarakat, dan seluruh parameter sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Ia memberi contoh, apabila dalam sebuah kampung ibu-ibu sudah bisa memasak dengan standar yang ditetapkan pemerintah, maka mereka bisa menjadi pelaksana dalam menyediakan makanan dalam suatu acara atau kegiataan yang dibiayai anggaran daerah.
Contoh lainnya adalah proyek pengerasan jalan untuk kampung. “Misalnya ada dua gang nih, ada yang satu gang dikerjakan oleh swasta, yang satu gang dikerjakan oleh organisasi kemasyarakatan. Anggarannya tetap sama, cuma yang satu yang mengerjakan adalah organisasi kemasyarakatan. Standarnya sama,” kata Anies menambahkan.
Anies mengatakan soal penggunaan dana swakelola ini dalam pameran penataan kampung dengan konsep community action plan (CAP) pekan lalu.
Untuk pelaksanaannya, kata Anies, harus dirancang aturannya. Untuk itu, diperlukan peraturan gubernur yang akan diterbitkan untuk mengatur secara detail. Saat ini, peraturan gubernur soal dana swakelola di DKI itu tengah dalam proses.
Anies mengatakan, target dari pengucuran dana swakelola ini adalah banyak dana bisa dikelola oleh masyarakat supaya APBD DKI Jakarta bisa ikut menggerakkan perekonomian masyarakat.
Pengawasan ketat
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah mengapresiasi langkah DKI Jakarta untuk mulai mengucurkan dana swakelola ini. Sebab langkah ini dinilai merupakan peluang bagi masyarakat sipil untuk mengelola anggaran-anggaran yang selama ini tak maksimal di bawah pengelolaan pemerintah sendiri.
Namun, diperlukan pengawasan yang sangat kuat guna mencegah penyelewengan atau kesan mekanisme hanya untuk bagi-bagi anggaran.
Untuk itu, sebelum pengucuran harus ada penguatan kapasitas kelompok masyarakat untuk mengelola program dengan anggaran pemerintah. Dari situ kemudian dikembangkan mekanisme pengawasan. Diperlukan tim khusus untuk pengawasan serta instrumen aturan untuk mencegah peluang penyelewengan anggaran swakelola tersebut.
Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan seleksi ketat terhadap organisasi massa (ormas) dan kelompok masyarakat pelaksana swakelola ini. Seleksi ini termasuk melihat rekam jejak organisasi.
Sementara itu, Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengkritik rencana tersebut. Mekanisme swakelola ini bisa membuka peluang penyelewengan, baik yang disengaja maupun tak disengaja karena kurangnya pengetahuan kelompok masyarakat mengelola anggaran pemerintah.
“Jangan sampai lalu justru menjerumuskan masyarakat yang tak tahu kepada masalah hukum. Seperti dana desa, berapa banyak lurah tersandung masalah hukum karena dugaan korupsi dana desa,” katanya.
Menurut Gembong, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya lebih mengoptimalkan organisasi perangkat daerah yang sudah pasti memiliki kemampuan dalam mengelola anggaran APBD dan kemampuan dalam pelaksanaannya.
Aturan
Peraturan Lembaga LKPP Nomor 8 Tahun 2018 telah mengatur secara ketat mekanisme dana swakelola ini. Aturan itu meliputi persiapan, syarat, penggunaan, pengawasan hingga laporan dana swakelola oleh Ormas maupun kelompok masyarakat.
Salah satu syarat Ormas maupun kelompok masyarakat yang dapat menerima dana swakelola itu harus memiliki kemampuan teknis untuk melaksanakan program tersebut.
Peraturan itu tak memberi batasan barang dan jasa yang bisa menggunakan mekanisme swakelola. Namun, terdapat sejumlah contoh yang bisa dikerjakan. Di antaranya adalah barang dan jasa yang tidak diminati oleh pelaku usaha.
Contohnya pemeliharaan rutin skala kecil dan sederhana, penanaman gebalan rumput, pemeliharaan rambu suar, pengadaan barang atau jasa di lokasi terpencil atau renovasi rumah tidak layak huni.
Selain itu juga barang dan jasa yang pelaksanaan pengadaannya memerlukan partisipasi masyarakat yang dapat berupa pekerjaan konstruksi berbentuk rehabilitasi, renovasi, dan konstruksi sederhana. Adapun konstruksi bangunan baru yang tidak sederhana dibangun oleh kementerian atau lembaga pemerintah daerah penanggung jawab anggaran untuk selanjutnya diserahkan kepada kelompok masyarakat penerima sesuai dengan peraturan perundang-undangan.