Balon Wonosobo Membawa Saya ke London
Jika di kalangan penggemar mobil Jeep dikenal slogan “Eat, Sleep, Jeep”, maka di kalangan pewarta foto yang lebih diakrabi adalah “Eat, Sleep, Taking Photos”. Memotret sudah menjadi aktivitas rutin. Rutinitas yang tak jarang membuat layu kreativitas.
Pewarta foto dituntut harus mampu mempertahankan kualitas foto yang dihasilkannya agar tetap berkualitas, menarik secara visual, dan mampu menyampaikan pesan kepada pembaca. Namun begitu, setelah bertahun-tahun menekan tombol pelepas rana di kamera, rasa bosan terkadang sulit dihindari ketika menemui peristiwa yang terus berulang dan terkesan “itu-itu saja”.
Salah satu cara mempertahankan kreativitas dalam profesi ini adalah dengan selalu berusaha mencari hal baru. Maka, ketika menjelang pertengahan tahun 2018 saya mendapat informasi tentang lomba balon udara tambat di kawasan Wonosobo, Jawa Tengah, semangat saya pun seketika membuncah dan penuh harap bisa meliput acara itu.
Bayangan tentang balon udara berukuran besar dengan pancarona, langsung memenuhi ruang imaji saya. Saya membayangkan, foto saya tentang keindahan balon udara itu terpasang di halaman pertama Harian Kompas.
Beberapa tahun sebelumnya, foto balon udara tradisional karya Amir Sodikin, wartawan senior saya, menghiasi halaman pertama Kompas beberapa hari setelah Lebaran. Saya pun bertekad mencetak prestasi serupa melalui acara yang akan saya datangi.
Menerbangkan balon udara berukuran besar menjadi tradisi perayaan Lebaran di kalangan warga kawasan Wonosobo dan Pantura. Balon-balon itu dibuat dari kertas minyak yang dilekatkan pada kerangka bambu. Ukuran diameternya rata-rata lima meter dengan tinggi sepuluh meter.
Saat diterbangkan, tingginya dapat mencapai puluhan ribu kaki. Hal ini tentu membahayakan karena balon-balon tersebut tidak terpantau radar. Padahal, kawasan udara di atas Wonosobo dan Pantura merupakan jalur penerbangan yang ramai.
Selain berisiko tertabrak bahkan tersedot mesin pesawat yang melintas, balon udara yang kehilangan kekuatan layangnya dapat jatuh menimpa rumah dan menimbulkan kebakaran.
Setelah sempat dilarang, penerbangan balon udara diperbolehkan kembali dengan syarat balon yang diterbangkan harus diikat dengan tali dan ditambatkan ke tanah. Bahkan, AirNav Indonesia selaku penyedia jasa navigasi pesawat udara menyelenggarakan lomba balon udara sebagai sarana kampanye pentingnya keselamatan penerbangan yang kemudian diikuti 110 kelompok.
Jauh hari sebelum pelaksanaan acara yang berlangsung 19 Juni 2018, saya kulonuwun kepada P Raditya Mahendra Yasa, pewarta foto Kompas yang bertugas "menjaga" kawasan Wonosobo dan sekitarnya. Kebetulan "penguasa" wilayah Jawa Tengah itu akan cuti pada tanggal tersebut sehingga saya berkesempatan meliput acara itu.
Perjalanan menuju lokasi merupakan salah satu perjuangan tersendiri karena acara digelar tiga hari sesudah puncak hari raya Idul Fitri. Seluruh ruas jalan utama dipadati oleh pemudik yang menyebabkan waktu tempuh semakin panjang.
Saya memperkirakan butuh waktu empat jam untuk mencapai Wonosobo dari rumah saya di Salatiga. Padahal, acara akan dimulai pukul 05.00. Untuk meminimalkan risiko terlambat tiba di lokasi akibat macet, saya memutuskan untuk menginap di hotel di kawasan Kledung.
Sehari sebelumnya saya meluncur menggunakan mobil pribadi ke arah Wonosobo dengan harapan dapat menyesuaikan diri dengan suhu dingin kawasan itu, sekaligus memperkirakan waktu tempuh agar tidak terlambat datang ke acara.
Arus lalu lintas ternyata padat merayap di kawasan Parakan, Temanggung. Saya berusaha menyibak kemacetan dan berhasil mencapai pusat kota Wonosobo dan melanjutkan perjalanan melewati tanjakan terjal menuju obyek wisata Kawah Sikidang dengan harapan dapat memotret di sana.
Jalan yang sempit dan pengguna kendaraan yang jumlahnya jauh berlipat ganda dibanding hari biasa membuat perjalanan menuju puncak Dieng terasa sangat berat. Kemacetan total terjadi di beberapa titik. Akibatnya, pengguna mobil harus berhenti dalam waktu lama, sedangkan pengguna sepeda motor terus membanjir di sela-sela antrean mobil.
Hari menjelang sore. Saya terpaksa mengurungkan niat memotret Kawah Sikidang dan Candi Arjuna akibat macet total yang terjadi beberapa ratus meter menjelang gerbang kompleks obyek wisata Dieng. Setelah berupaya bergerak maju dan mencari tempat memutar, saya pun mengarahkan mobil kembali turun ke arah kota Wonosobo.
Beruntung upaya saya berhasil sehingga bisa sampai di tempat penginapan guna persiapan liputan balon udara yang menjadi tujuan utama. Sambil beristirahat, tak lupa saya mengisi penuh baterai kamera, drone, serta remote drone agar siap digunakan tanpa kendala.
Pukul 04.00 saya meluncur dari penginapan menuju lokasi acara di pusat kota Wonosobo. Saya datang lebih pagi agar dapat merekam imaji langit yang belum tersentuh cahaya matahari serta berbagai kesibukan peserta lomba saat menyalakan api untuk menerbangkan balon.
Setelah cukup memotret beragam aktivitas peserta dari darat, saya bersiap menerbangkan drone untuk memperoleh visual yang menggambarkan kemegahan acara itu. Cuaca saat itu sebenarnya agak mendung, namun untungnya keindahan warna-warni tetap terlihat.
Drone saya termasuk yang pertama terbang saat itu. Sekitar setengah jam kemudian baru bermunculan drone-drone lain. Saya harus berhati-hati dalam bermanuver agar tidak menabrak drone lain yang terkadang susah tertangkap pantauan mata.
Saat matahari menyingsing, balon-balon udara yang diterbangkan semakin nampak keindahannya dikelilingi kabut pagi. Balon berbentuk tokoh kartun Doraemon adalah salah satu yang menarik perhatian saya.
Saya merasa beruntung bisa tiba sepagi mungkin karena ternyata acara tersebut tidak berlangsung berjam-jam seperti tertera dalam susunan acara. Tentu akan sangat mengecewakan jika saya tiba di sana, balon-balon sudah diturunkan karena kehabisan tenaga layang.
Foto saya dari kamera drone kemudian ditayangkan di halaman Nusantara keesokan harinya. Meski tidak tampil pada halaman pertama, namun saya cukup puas dengan hasil foto tersebut. Setidaknya saya sudah mendapatkan sudut berbeda dari foto-foto yang pernah ada sebelumnya dan itu menjadi penghiburan tersendiri.
Baca juga:
Diteror "Voldemort" Saat Liputan
Foto-foto saya kemudian tampil bersama foto-foto karya Agus Susanto untuk rubrik Foto Pekan Ini. Agus meliput acara serupa di Pekalongan. Tampil satu halaman bersama pewarta foto senior juga merupakan kebanggaan tersendiri bagi saya.
Meski harapan tampil pada halaman pertama Kompas belum terwujud, namun foto saya berhasil terpilih sebagai juara pertama lomba foto yang diselenggarakan AirNav. Sebagai hadiah lomba adalah sejumlah uang dan kesempatan meliput kegiatan AirNav di London dan Manchester, Inggris selama sepekan.
Foto-foto saya kemudian tampil bersama foto-foto karya Agus Susanto untuk rubrik Foto Pekan Ini. Fotografer senior Kompas ini meliput acara serupa di Pekalongan. Tampil satu halaman bersama pewarta foto senior juga merupakan kebanggaan tersendiri bagi saya.
Meski harapan tampil pada halaman pertama Kompas belum terwujud, namun foto saya berhasil terpilih sebagai juara pertama lomba foto yang diselenggarakan AirNav Indonesia. Sebagai hadiah lomba adalah sejumlah uang dan kesempatan meliput kegiatan AirNav di London dan Manchester, Inggris selama sepekan.
Lomba sebenarnya baru saya ketahui beberapa minggu setelah liputan. Saat meliput, tentunya belum ada bayangan foto saya kelak akan memenangkan lomba.
Dalam bekerja, saya selalu berpegang teguh pada prinsip, menghasilkan karya foto jurnalistik yang bagus itu wajib. Jika karya yang dihasilkan kelak menjadi juara lomba, maka bagi saya hal itu adalah bonus tersendiri. Foto bagus itu wajib, menang lomba itu bonus.