Butuh waktu satu bulan bagi Rahma Fauziah untuk terbiasa mengakhiri setiap jawaban dengan kata ”siap”. Itu baru satu hal. Ditambah lagi, dia tak bisa seenaknya jeprat-jepret foto diri dan mengunggahnya ke media sosial. Ia harus menahan diri dari tren remaja seusianya.
”Siap! Ingin mencari pekerjaan.” Tak butuh waktu lama bagi Rahma untuk menjawab pertanyaan mengapa ia ingin jadi polisi. Jawaban polos itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Kalimat itu disusul dengan posisi badan berdiri tegak.
Rahma merupakan salah satu dari 400 siswa Sekolah Bintara (Seba) di Sekolah Polisi Wanita yang terletak di Jalan Ciputat Raya, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Pada Kamis (14/2/2019), Rahma dan 30 kawannya melakukan latihan kerja di Polres Tangerang Selatan. Di sini, mereka magang selama sembilan hari.
Perempuan berusia 19 tahun ini menjadi komandan peleton. Ia sigap menyiapkan pasukan. Sesekali, pasukan barisan bagian belakang cekikikan dengan teman sebelah. Pasukan itu kembali tertib setiap ada petugas polisi yang lewat. ”Siap!" kata mereka serempak.
Rahma bercerita, awalnya dirinya tak terbiasa menggunakan kata siap. Maklum, ia bukan lahir dari keluarga aparat. Orangtuanya bekerja sebagai pedagang beras Solok, salah satu beras premium yang hanya ada di Solok, Sumatera Barat.
Dia anak pertama dari tujuh bersaudara. Selepas SMA, tekadnya bulat untuk jadi polisi. Ia ingin ditempatkan di bagian reserse kriminal (reskrim). Menurut dia, bagian itu penuh tantangan. Ia ingin terlibat dalam kasus-kasus kriminal rumit dan susah diungkap.
”Tidak khawatir sama begal?”
”Siap! Tidak. Tujuh bulan saya ditempa di Sekolah Polisi Wanita,” katanya mantap.
Selain itu, ia turut memikirkan nasib enam adiknya. Dengan menjadi polisi, ia bisa turut membantu biaya sekolah adik-adiknya.
”Kalau polisi, kan, pendidikan tujuh bulan langsung kerja, langsung dapat gaji,” katanya sambil tersipu.
Pada awal Maret mendatang, Angkatan Polwan yang ke-47 ini akan dilantik. Fauziah mengatakan siap ditempatkan di wilayah mana pun.
”Kalau boleh memilih?”
”Siap! Kembali ke wilayah asal,” ujar Rahma. Teman-temannya yang lain mengamini.
Selama tujuh bulan, Rahma dan kawan-kawan ditempa. Dua bulan pertama, fisik mereka digembleng. Lalu, mereka mempelajari pelajaran untuk menjadi seorang bintara.
Perwira pendamping Seba, Ajun Komisaris Tetik Yulita, menyatakan, materi kurikulum polwan tidak berbeda dengan polisi laki-laki. Hanya saja, mereka diberi materi tambahan tentang etika polwan.
Siswa polwan boleh berdandan, tetapi tidak boleh terlalu menor. Di samping itu, mereka harus menggunakan media sosial secara bijak. ”Misalnya, kami beri tahu agar tidak selfie berpakaian dinas sambil monyongin bibir,” kata Tetik.
Puasa gawai
Pembatasan belum berakhir. Selama masa pendidikan, siswa polwan juga dibatasi dalam menggunakan gawai.
Deysi Warong (20), siswa polwan, menceritakan, gawai mereka disita selama pendidikan. Gawai hanya diberikan ketika mereka mendapat izin bermalam di luar saat akhir pekan.
Kesempatan bermalam di luar inilah yang bisa mereka gunakan untuk menelepon keluarga di kampung halaman. Bagi Deysi, izin bermalam di luar juga digunakan untuk mengabari sang kekasih yang berada di Sulawesi Utara. Kebetulan, pacarnya juga lulus Seba pada tahun yang sama. Setelah melepas rindu, mereka akan bercerita tentang pendidikan masing-masing.
Batasan gawai ini tak menjadi soal bagi Ajeng Prameswari (20). Ia sudah terbiasa berjarak dengan orangtua. Sewaktu SMA di Banjarmasin, ia tinggal di asrama. Sejak kecil, ayahnya yang berprofesi sebagai tentara selalu mengajari Ajeng untuk mandiri. Anak semata wayang ini digembleng untuk melanjutkan profesi sang ayah sebagai aparat.
Selain itu, Ajeng merasa tak harus menelepon teman spesial karena memang tak punya pacar. Ia pernah dekat dengan seorang lelaki. Namun, hubungan itu berakhir dengan perkawanan saja. ”Saya takut dimarahi ayah,” kata Ajeng, berbisik. (INSAN AL FAJRI)